PENERAPAN METODE PERMAINAN SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI NO.1 BANJAR TEGAL SINGARAJA

29 12 2009

Oleh : Arifuddin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa dan juga merupakan sasaran pembelajaran berbahasa Indonesia. Keterampilan berbicara dapat meningkat jika ditunjang oleh keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak, membaca, dan menulis. Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Pentingnya keterampilan berbicara bukan saja bagi guru, tetapi juga bagi siswa sebagai subjek dan objek didik.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut terampil berbicara. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Suyoto (2003:32) bahwa seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di masyarakat. Dia juga cenderung memiliki keberanian untuk tampil menjadi pemimpin pada kelompoknya. Orang yang pandai berbicara umumnya mudah bergaul, memiliki rasa percaya diri, dan dapat memengaruhi orang lain.
Sekolah dasar sebagai sekolah awal untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sudah tentu siswa-siswanya harus diberikan pengetahuan yang lebih, khususnya dalam pembelajaran keterampilan berbicara, sehingga bisa diaplikasikan ke jenjang selanjutnya. Pembelajaran berbicara di sekolah dasar belum memuaskan dan belum memenuhi tuntutan berbicara seperti yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyoto (2003:32) menyebutkan bahwa “Pembelajaran berbicara di sekolah belum dapat memenuhi tuntutan kegiatan berbicara yang dibutuhkan masyarakat. Pembelajaran berbicara di sekolah umumnya kurang mendapatkan simpati dari para siswa”. Jika demikian, wajarlah kalau siswa sekolah dasar belum memiliki bekal yang memadai untuk terampil berbicara. Hal ini sangat memengaruhi keberanian siswa untuk menyampaikan ide, gagasan atau pendapat mereka kepada guru secara lisan. Hal senada juga dikatakan oleh Bukian (2004:1) dalam penelitiannya tentang metode pengajaran berbicara di kelas VI Sekolah Dasar No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, menyebutkan bahwa buku ajar yang digunakan guru sekolah dasar memperlihatkan bahwa pembelajaran keterampilan membaca dan menulis lebih banyak porsinya dibandingkan dengan keterampilan berbicara.
Melihat kondisi sekarang, kegiatan di luar jam pelajaran masih dianggap suatu aktivitas yang menyenangkan oleh sebagian siswa. Sementara dalam proses belajar-mengajar di kelas, sekolah adalah aktivitas yang membebani. Belum ada penelitian khusus yang menyajikan tentang hal tersebut, tetapi sepanjang pengamatan peneliti, jika para siswa berada di dalam kelas, mereka ingin keluar kelas atau pulang. Salah satu penyebabnya adalah pengggunaan metode yang monoton, sehingga siswa merasa tidak betah jika berada di dalam kelas. Ada pepatah Yunani (dalam Somantri, 2002:1) mengatakan bahwa non scolae sed vitae discamus yang bisa diartikan secara bebas bahwa sekolah itu tujuannya bukan mencari skor atau angka-angka, tetapi sekolah itu belajar untuk kehidupan, bahkan hidup itu sendiri. Hal serupa juga sering terjadi pada guru. Peneliti sering mendengar keluhan guru bahwa pergi ke sekolah rasanya bukan lagi sebagai kegiatan yang diidam-idamkan ketika pertama kali melamar menjadi guru, tetapi sudah cenderung menjadi rutinitas.
Apa yang peneliti amati sepertinya cocok dengan karakter guru yang dikemukakan Zamroni, bahwa ada lima karakter kerja guru. Kelima karakter tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pekerjaan guru bersifat individualistic non collaborative; kedua, dilakukan dalam ruang terisolir dan menyerap seluruh waktu; ketiga, kemungkinan terjadinya kontak akademis antarguru rendah; keempat, tidak pernah mendapatkan umpan balik; dan kelima, pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung kerja di ruang kelas (Zamroni, 2000:76). Jadi, keadaan tersebut memungkinkan kurang maksimalnya penyampaian, dan kurang berhasilnya proses belajar-mengajar.
Senada dengan itu, Paul Suparno mengemukakan alasan tentang kesulitan guru sulit melakukan perubahan. Pertama, guru sering tidak mengerti isi kurikulum baru atau pun perubahan yang diinginkan. Kedua, banyak guru yang meragukan perubahan atau pembaharuan yang ada. Ketiga, banyak guru lama yang bertahun-tahun terbiasa dengan cara mereka yang mapan dan sudah merasa enak. Keempat, moral guru sebagai tukang yang pasif dan menanti. Kelima, penghargaan terhadap guru sangat kecil. Keenam, pendidikan guru yang statis. Ketujuh, tugas guru dipahami sebagai konservatif. Kedelapan, menjadi guru karena terpaksa (Suparno, 2002:4).
Pada sisi lain, peneliti melihat kelemahan atas kondisi kemampuan berbicara siswa sekolah dasar. Umumnya, para siswa mengalami kesukaran ketika diminta untuk bercerita, bercakap-cakap, berpidato, bahkan sekadar bertanya pun banyak di antara siswa yang tidak mampu. Padahal, siswa sekolah dasar sebenarnya memiliki kemampuan dasar berbicara. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh D.Mcneill, salah seorang pengikut Chomsky (dalam Sumarsono, 61) bahwa “Setiap anak normal memiliki perabot yang bersifat bawaan. Perabot ini disebut perabot pemerolehan bahasa atau Language Acquisition Device (LAD) yang dispekulasikan harus menguasai bahasa apa pun.” Bukti nyata kalau anak-anak SD memiliki kamampuan berbicara dapat kita lihat ketika mereka bermain di luar kelas. Di sana, mereka saling berkomunikasi secara lisan dengan lancar tanpa hambatan. Siswa-siswa itu begitu mudah menuturkan isi hati mereka. Ide, gagasan, dan pengalaman dengan mudah disampaikan dengan bahasa lisan. Ini menunjukkan bahwa siswa-siswa SD memiliki kemampuan dasar berbicara.
Berpijak pada fakta di atas, maka pengajaran berbicara harus diupayakan lebih bermakna bagi siswa. Selain memberikan teori tentang berbicara kepada siswa dalam proses belajar-mengajar, perlu juga diberikan pelatihan yang dapat merangsang siswa agar berani berbicara. Hal ini ditegaskan oleh Badudu (dalam Karolina, 2001:2) bahwa pengajaran berbicara sangat penting untuk melatih siswa menggunakan bahasa itu secara aktif. Untuk mengaktifkan itulah, guru perlu memberikan pelatihan dan pembinaan. Pelaksanaan pelatihan dan pembinaan keterampilan berbicara dapat dilakukan melalui metode yang dipilih dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Metode yang akan diterapkan harus sesuai dengan materi yang akan disajikan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Begitu pun dengan pengajaran berbicara, pemilihan metode yang akan digunakan dalam pengajaran berbicara tidak sembarangan. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, materi atau bahan dan keadaan siswa. Pemilihan metode yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan dapat menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran (Furqanal, dkk. 1995:5). Jadi, memilih metode yang tepat dan melaksanakannya dengan benar akan dapat meningkatkan minat serta keantusiasan siswa dalam mengikuti proses belajar-mengajar, sehingga siswa aktif dalam proses belajar-mengajar dan berani berbicara dalam mengikuti pelajaran apa pun.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti, proses belajar-mengajar yang berlangsung di kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran berbicara belum mencapai hasil yang maksimal. Hal ini sejalan dengan informasi guru bahasa Indonesia di SD tersebut yang mengatakan bahwa siswa malas mengemukakan pendapat atau pertanyaan, dan siswa sering takut atau malu berbicara pada saat belajar di kelas. Jika disuruh berbicara, siswa tidak mampu menyampaikan ide dengan benar, grogi, berdialek, dan tidak lancar. Kondisi tersebut juga didukung oleh latar belakang sebagian besar bahasa keseharian siswa adalah bahasa Bali. Praktis, siswa mengalami kesulitan jika disuruh menggunakan bahasa Indonesia pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Proses belajar yang kurang efektif ini menyebabkan rendahnya daya serap siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan aspek berbicara. Ketuntasan belajar siswa belum tercapai. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 bahwa nilai rata-rata kelas untuk keterampilan berbicara adalah 65, daya serap siswa 65%, dan ketuntasan belajar 60%. Selain itu, motivasi siswa rendah, akhirnya, hal ini berujung pada rendahnya hasil belajar siswa itu sendiri dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Di dalam proses belajar-mengajar, siswa terlihat kurang aktif. Hanya sebagian kecil siswa yang merespons pertanyaan guru. Keadaan ini sungguh kontras manakala siswa berada di luar kelas. Di luar kelas, siswa bermain dan berekspresi secara bebas. Pembicaraan mereka mengalir apa adanya. Terlebih lagi ketika mereka berinteraksi antarsesama siswa dalam bermain. Dalam sebuah permainan inilah, siswa mengejahwantahkan kemampuan berbicaranya yang tak terbatas. Keadaan ini menyebabkan peneliti mencoba menerapkan sebuah metode yang memungkinkan siswa bermain dan berperan seperti berada dalam dunia nyata. Apa pun yang dilakukan anak cenderung mengandung nilai edukatif, baik dalam kelas maupun ketika sedang bermain. Artinya, secara tidak sadar dalam diri anak sedang berlangsung proses pembelajaran. Anak-anak adalah manusia pembelajar sejati (Somantri, 2003:2). Tugas guru dan orang tua menjadi fasilitator agar proses pendidikan alamiah tersebut memiliki tujuan jelas dan berlangsung efektif. Dengan pemahaman semacam ini, proses pembelajaran bisa menjadi luas dan terbuka, tidak sebatas ruang kelas dan ceramah guru.
Metode permainan adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai permainan (Depdikbud, 1994:53). Permainan yang ditawarkan adalah berupa simulasi yang dapat dibuat oleh guru. Subana (tt:208) menyatakan bahwa “Permainan adalah suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan.” Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah. Metode ini dapat bermanfaat karena dapat mengembangkan motivasi intrinsik, memberikan kesempatan untuk berlatih mengambil keputusan, dan mengembangkan pengendalian emosi bila menang atau kalah, serta lebih menarik dan menyenangkan sehingga memudahkan siswa untuk memahami bahan pelajaran yang disajikan.
Kondisi siswa di tempat lain juga menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda melalui hasil penelitian-penelitian mahasiswa, di antaranya Ketut Disna (1998) dalam penelitiannya mengenai penguasaan keterampilan berbicara siswa kelas III SLTP N 2 Bangli untuk meningkatkan efektivitas diskusi; Putu Ariana (1998) yang meneliti mengenai penceritaan pemahaman feature oleh siswa untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SLTP Negeri Sidemen Karangasem; Yoca Carolina (2001) dalam penelitiannya tentang strategi guru dalam mengajarkan keterampilan berbicara; dan Bukian (2004) melakukan penelitian di kelas VI SD No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng tentang metode pengajaran berbicara. Bahkan, kemampuan berbicara pada tingkat mahasiswa pun masih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud (2005) dalam tesisnya yang berjudul, “Penerapan Pendekatan Komunikatif-Integratif dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara II: Suatu Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara (Mahasiswa Semester II Program Studi PBSID STKIP Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2003/2004).” Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa kualitas keterampilan berbicara siswa pada tingkat SD, SMP, SMA maupun mahasiswa masih rendah. Keadaan seperti ini dialami juga oleh siswa yang ada di SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.
Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran berbicara dan menghilangkan ketakutan siswa dalam berbicara di kelas, guru perlu menerapkan metode pembelajaran secara selektif, sehingga keempat keterampilan berbahasa bisa terpadu dalam satu pembelajaran. Keberhasilan siswa dalam menguasai keterampilan kebahasaan khususnya keterampilan berbicara sangat bergantung kepada kemampuan guru itu sendiri dalam membelajarkan siswa melalui metode yang digunakan.
Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, peneliti mencoba membantu meningkatkan aktivitas berbicara siswa kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara melalui penerapan model pembelajaran simulasi. Dalam permainan simulasi, peneliti membuat media bantu yang murah. Media bantu tersebut adalah berbentuk papan simulasi yang sederhana yang bisa dibuat secara manual atau dengan komputer, dari karton, atau papan. Selain itu, dibutuhkan dadu dan beberapa asesoris sebagai identitas, dan yang lebih penting adalah kumpulan pertanyaan atau instruksi yang sesuai dengan tema yang dibawakan di kelas. Media tersebut tidak hanya bisa difokuskan pada berbicara, tetapi juga bisa digabungkan dengan bermain peran dalam bentuk instruksi. Bermain peran bisa juga dalam bentuk hukuman yang ditentukan oleh kelompok. Pembelajaran ini menitikberatkan tindakan yang sifatnya langsung. Tindakan atau mengerjakan adalah belajar yang lebih bermakna. Hal ini sejalan dengan pepatah Cina yang berbunyi “saya dengar dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, saya kerjakan dan saya mengerti” (dalam Somantri, 2002:2).
Model pembelajaran permainan simulasi merupakan salah satu model pembelajaran yang memperhatikan pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi untuk keterampilan berbicara, model ini dapat menyesuaikan permasalahan dengan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa model ini belum pernah diterapkan di kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja. Siswa kurang dapat menghubungkan pelajaran yang mereka dapat di kelas dengan dunia nyata. Hal ini menyebabkan mereka tidak mengerti dan kurang aktif dalam berbicara yang mengakibatkan rendahnya prestasi belajar mereka.
Model pembelajaran permainan simulasi ini merupakan model yang tepat dipilih dan dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dalam model pembelajaran ini, siswa permainan simulasi seperti yang dialami dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga dengan penerapan model pembelajaran permainan simulasi ini siswa lebih aktif dalam mengikuti pelajaran.
Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Penerapan Metode Permainan Simulasi untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berikut ini.
1. Apakah penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas V SD No. 1 Banjar Tegal Singaraja pada pembelajaran keterampilan berbicara?
2. Apakah penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja pada pembelajaran keterampilan berbicara?
3. Bagaimana respons siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja terhadap penerapan metode permainan simulasi pada pembelajaran keterampilan berbicara?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah berikut ini.
1. Mengetahui dapat tidaknya meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
2. Mengetahui dapat tidaknya meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
3. Mengetahui respons siswa terhadap penerapan metode permainan simulasi pada pembelajaran keterampilan berbicara.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah berikut ini.
1. Bagi siswa, sebagai alternatif dalam belajar untuk meningkatkan keterampilan berbicara.
2. Bagi guru, sebagai masukan dalam menemukan alternatif pembelajaran untuk memperoleh prestasi belajar yang lebih baik.
3. Bagi sekolah, penerapan metode permainan simulasi dapat memperkaya model pembelajaran yang ada di sekolah dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi atau bahan perbandingan untuk melakukan penelitian yang lain berkaitan dengan keterampilan berbicara.

BAB II
LANDASAN TEORETIS

2.1 Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Sejak lama telah diketahui bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah agar para siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik lisan maupun tertulis (Diknas, 2003:11). Hal ini terkait dengan fungsi utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, setiap warga negara dituntut untuk terampil berbahasa. Bila setiap warga negara sudah terampil berbahasa, komunikasi antarwarga pun akan berlangsung dengan baik.
Ilmu bahasa seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya, merupakan ilmu yang memiliki disiplin tersendiri dan diajarkan di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa secara umum dilaksanakan di sekolah-sekolah berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa. Dalam pengajaran, keempat keterampilan berbahasa itu berhubungan erat satu sama lain. Keempat keterampilan itu meliputi: keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Komunikasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang lain dengan menggunakan saluran tertentu. Kaswanti Purwo mengemukakan bahwa “Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang lebih mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan mengenai bahasa sebagai sistem yang melekat pada otak manusia.” Sementara Richard, dkk. (dalam Slamet, 2003:41) mengatakan bahwa pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang mengarahkan siswa tidak semata-mata kepada penguasaan struktur, tetapi justru lebih mengarahkan siswa kepada penguasaan kompetensi komunikatif, sehingga siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi secara efektif. Kompetensi komunikatif yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan keseluruhan aspek komunikasi dalam konteks komunikasi nyata.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan komunikatif merupakan salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang lebih menekankan kebermaknaan fungsi bahasa dalam arti lebih mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan tentang bahasa untuk mencapai kelancaran komunikasi melalui pembelajaran komunikatif, yaitu pembelajaran yang lebih berfokus pada komponen komunikatif dengan melibatkan secara langsung para siswa ke dalam situasi bahasa yang pragmatis, otentik, dan fungsional atau situasi bahasa sebenarnya.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD (Sekolah Dasar) dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang terkait dengan keterampilan berbicara yaitu mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan pesan, mendeskripsikan, dan bermain peran (Diknas, 2003:32).
Adapun materi berbicara yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di antaranya, yaitu:
a. menyapa orang
b. memperkenalkan diri
c. menjelaskan isi gambar
d. menceritakan pengalaman
e. mendeskripsikan benda; tumbuhan; binatang; tempat
f. melakukan percakapan sederhana
g. bertanya
h. melakukan percakapan melalui telepon
i. menjelaskan urutan
j. menjelaskan petunjuk
k. menceritakan kembali isi dongeng
l. berwawancara dengan nara sumber

(Suyoto, 2003:32)

Di muka telah diuraikan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Siswa dilatih lebih banyak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bukan dituntut lebih banyak untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini merupakan kerangka tentang standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus diketahui, dilakukan, dan dimahirkan oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini disajikan dalam lima komponen utama, yaitu (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) hasil belajar, (4) indikator, dan (5) materi pokok. Standar kompetensi mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek-aspek tersebut dalam pembelajarannya dilaksanakan secara integratif.
Integratif artinya bersifat memadukan (KBBI, 2002:437). Dalam kaitannya dengan pendekatan pengajaran bahasa Indonesia, keterapaduan itu sangat penting. Dalam GBPP kurikulum 2004 dinyatakan bahwa pembelajaran berbahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu (Diknas, 2004:13).
Contoh:

Kompetensi ini disajikan secara terpadu dengan kompetensi dasar yang lainnya dengan menggunakan tema yang sama (Diknas, 2004:13). Pendekatan komunikatif bersifat tematis, kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari tema-tema yang ada pada program pembelajaran. Setiap materi yang diberikan selalu berpatokan pada tema. Jadi, pengajaran bahasa Indonesia, termasuk di sekolah dasar menggunakan pendekatan komunikatif tematis integratif. Pendekatan komunikatif melatih siswa untuk berkomunikasi secara praktis dan wajar baik lisan maupun tulisan. Pendekatan tematis mengarahkan pembelajaran pada suatu titik pokok materi yang dipelajari yang berada dalam lingkup tema tertentu, sedangkan pendekatan integratif merupakan upaya pembelajaran yang memadukan antara aspek keterampilan berbahasa dari keempat keterampilan berbahasa.

2.2 Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan yang dilakukan oleh manusia. Tarigan (1983:15) menjelaskan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pada tempat lain, Tarigan (1984:15) menyatakan bahwa berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, semantik, dan lingkungan sedemikian ekstensif secara luas sehingga dapat dikatakan sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Laksono (1982:25), bahwa berbicara atau bertutur adalah perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Berbicara adalah proses berpikir dan bernalar. Pembelajaran berbicara dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar. Pendapat lain mengemukakan, “Berbicara adalah keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan pada orang lain” (Mukhsin dalam Carolina, 2001:18).
Sabarti dkk. (dalam Bukian, 2004:15) menyatakan, “Berbicara adalah peristiwa atau proses penyampaian gagasan secara lisan.” Sejalan dengan itu, Tarigan (1991:132) menegaskan, “Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasan lisan.”
Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif lisan. Dikatakan produktif karena orang yang berbicara (pewicara) dituntut untuk menghasilkan paparan secara lisan yang merupakan cermin dari gagasan, perasaan, dan pikiran yang disampaikan kepada orang lain.

2.3 Ciri-ciri Berbicara
Kegiatan berbicara (wicara) mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak sama dengan kegiatan berbahasa yang lain. Ciri-ciri tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin (dalam Mas’ud, 2005:62-64), yaitu: (1) ciri-ciri manusia dalam berbicara, (2) ciri-ciri konvensional dalam berbicara, (3) ciri-ciri prosedural dalam berbicara, (4) c iri-ciri vitalitas dalam berbicara, dan (5) ciri-ciri penalaran dalam berbicara.

(1) Ciri-ciri manusia dalam berbicara
Yang dimaksud dengan ciri-ciri manusia dalam berbicara adalah keterlibatan unsur atau sifat yang hanya dimiliki manusia, baik berupa rasa cinta, perhatian maupun persahabatan. Tiga unsur yang terdapat dalam ciri-ciri manusia meliputi (1) perhatian, (2) keramah-tamahan, (3) rasa cinta yang akan melahirkan sifat keterbukaan, kerendahan hati, dan sifat sopan santun.
Perhatian merupakan perwujudan rasa cinta yang tercermin dalam perilaku pembicara yang berusaha memahami minat, situasi, kondisi maupun responssi pendengar serta berusaha menyesuaikan diri dengannya. Ramah tamah merupakan perwujudan sifat pembicara terhadap pendengar dengan penampilan yang ramah.

(2) Ciri-ciri konvensional dalam berbicara
Ciri-ciri konvensional dalam berbicara yaitu pembicara menggunakan bunyi-bunyi ujaran lingual dan lisan sebagai alatnya untuk menyampaikan gagasan dengan diperkaya aspek gerak dan mimik, baik dalam berkomunikasi searah maupun dua arah. Unsur-unsur konvensional dalam berbicara, yaitu (1) alat ucapan, (2) pita suara, (3) saluran pernapasan, (4) arus udara yang keluar masuk, dan (5) tubuh dengan segala unsurnya yang berfungsi dalam kegiatan berbicara.

(3) Ciri-ciri prosedural dalam berbicara
Ciri prosedural sebagai salah satu ciri berbicara adalah tahapan kegiatan yang merupakan persiapan seorang sebagai calon pembicara untuk melaksanakan kegiatan berbicara. Unsur-unsur dalam kegiatan berbicara sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan berbicara meliputi (1) perumusan atau perencanaan tujuan dengan memperhatikan beberapa faktor, (2) pemilihan dan penentuan bahan pembicaraan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, (3) pemaparan atau penguraian bahan yang telah ditetapkan secara langkap dan utuh, (4) penentuan garis besar isi gagasan yang akan disampaikan, dan (5) penyusunan bahan pembicaraan yang akan disampaikan pada saat mengawali dan mengakhiri bahan pembicaraan.

(4) Ciri-ciri vitalitas dalam berbicara
Vitalitas adalah semangat seseorang pembicara dalam menyampaikan suatu gagasan sebagai salah satu kekuatan yang tumbuh dari suatu keterlibatan pembicara dengan gagasan yang ditampilkan maupun pendangannya serta dari kedalaman emosi pembicara itu sendiri sehingga dapat lebih menarik minat pendengarnya. Unsur-unsur yang membangkitkan vitalitas pembicara meliputi (1) keterlibatan seseorang pembicara dengan gagasan yang disampaikan, (2) keterlibatan pembicara dengan pendengar, (3) pengaturan dan penguasaan emosi yang baik, (4) kekuatan dan kedalaman emosi pembicara, (5) kemauan atau karsa, (6) keikhlasan, dan (7) sikap positif pembicara terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Vitalitas ini akan memberikan peranan yang sangat besar dalam proses berbicara.

(5) Ciri-ciri penalaran dalam berbicara
Penalaran dalam berbicara adalah bentuk proses penjelasan suatu gagasan kepada pendengar, baik melalui kemampuan emosional maupun intelektual sesuai dengan tingkat kemampuan pendengarnya. Bentuk penalaran dalam berbicara meliputi (1) bentuk deduktif, yaitu penalaran yang berangkat dari suatu penalaran yang bersifat umum menuju ke penalaran yang khusus, (2) penalaran bentuk induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari penalaran yang bersifat khusus ke penalaran yang bersifat umum, (3) klasifikasi penghubung, yaitu penalaran yang dilaksanakan dengan cara memilah-milahkah kenyataan atau konsep dan berusaha menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menumbuhkan konsep atau gagasan yang baru, (4) jalinan sebab akibat, yaitu model penalaran yakni pembicara menjelaskan suatu gagasan secara runtut berdasarkan hubungan sebab akibat, (5) analisis perbandingan, yaitu bentuk proses penilaian yang berusaha membandingkan dua fakta yang bersifat kontradiktif, mengembangkan ciri-cirinya dan membentuk gagasan, konsep atau simpulan (Aminuddin, dalam Mas’ud, 2005:62-64).

2.4 Tujuan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi (Tarigan, 1990:15). Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya; dia harus mampu mengevaluasi efek dari komunikasinya terhadap para pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Pada dasarnya, berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu (1) memberitahukan, melaporkan (to inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade). Gabungan dari maksud-maksud itu pun mungkin saja terjadi. Dalam hal ini, Ocha dan Winker (dalam Mas’ud, 2005:65) mengemukakan bahwa suatu pembicaraan mungkin saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu. Begitu pula, mungkin saja sekaligus menghibur dan meyakinkan.
Menurut Jeffrey (dalam Mas’ud, 2005:65), manusia melakukan wicara dengan tujuan, yaitu (1) bersifat primer dan (2) bersifat sekunder. Tujuan yang bersifat sekunder dibedakan menjadi dua berdasarkan sudut pandangan yang berbeda: (a) sudut pandang psikologi, dan (b) sudut pandangan perspektif. Sedangkan tujuan primer adalah (a) menyampaikan pikiran, perasaan, pengalaman kepada orang lain, (b) memengaruhi orang lain, dan (c) sekadar mengekspresikan perasaannya yang bersifat individual.
Berdasarkan sudut pandangan psikologis, dengan berbicara seseorang dapat memperoleh dukungan (gaining acceptace), dan dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat (adjusting to society). Sementara tujuan sekunder dari sudut pandang perspektif yang lebih luas tampak bahwa dengan berbicara manusia (a) dapat mentransmisikan nilai-nilai kultural, (b) memelihara kohesi sosial, (c) mengestafetkan suatu generasi ke generasi lain, dan sebagainya.

2.5 Karakteristik Berbicara
Jeffery (dalam Mas’ud, 2005:66-68) mengatakan bahwa berbicara memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Karakteristik berbicara tersebut adalah (1) berbicara bersifat purposif, (2) berbicara bersifat interaktif, (3) berbicara bersifat fana, (4) berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu, (5) berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman, (6) berbicara alpa tanda baca, dan (7) berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif.
(1) Berbicara bersifat purposif
Dengan pemahaman yang baik tentang karakteristik ini, pembicara diharapkan tahu pasti bahwa bercerita dilakukan seseorang dengan tujuan tertentu, misalnya (a) memberi tahu, (b) meyakinkan orang lain, (c) memengaruhi orang lain, (d) menghibur, (e) memberikan inspirasi, (f) mendamaikan atau melerai, dan sebagainya.

(2) Berbicara bersifat interaktif
Pembicara sadar bahwa berbicara dilakukan karana ingin berhubungan dengan orang lain. Kita tiak perlu berbicara bila tidak ada lawan bicara (reicever).

(3) Berbicara bersifat fana
Berbicara memiliki sifat mudah berubah, cepat berlalu dan hilang. Sekali kata-kata yang mengandung pesan tertentu diucapkan, sekali itu pula ia berlalu. Berbicara secara alami tidak bisa didengar ulang. Ini berarti bahwa pada detik pesan disampaikan dengan simbol-simbol fonetis, pada detik itu pula pendengar harus memahaminya. Hal ini menyarankan kepada pembicara agar memaksimalkan kecerdasannya alam berbicara, mulai dari persiapan hingga pelaksanaannya. Kecermatan dan ketepatan sangat diperlukan mulai dari ucapan, pemilihan kata, penyusunan kelompok kata, struktur kalimat, paraton sampai dengan persendian, tekanan, dan intonasinya.

(4) Berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu
Berbicara tidak pernah terjadi dalam kevakuman. Berbicara selalu terjadi dalam tempat, waktu, situasi, dan kondisi tertentu. Berbicara yang efektif memperhitungkan and menyesuaikan diri dengan waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Tipe dan tindak komunikasinya sangat ditentukan oleh keempat faktor tersebut.

(5) Berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman
Pengalaman membuktikan bahwa kita sering mengalami kesulitan melakukan komunikasi berbicara dengan orang yang memiliki latar pengalaman yang berbeda. Sebuah kata yang sama bisa ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi karana mereka memiliki latar pengalaman dan kehidupan yang berbeda.

(6) Berbicara alpa tanda baca
Dalam komunikasi tertulis, pemahaman dapat dibantu dengan penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan indentasi. Dalam komunikasi berbicara, hal itu tidak didapatkan. Oleh karena itu, ketepatan dan kejelasan ucapan, persendian, intonasi, dan gerak-gerik fisik merupakan faktor penting dalam rangka memahami pesan yang disampaikan.

(7) Berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif
Pada umumnya, orang lebih banyak menangkap kosakata dari apa yang dibaca daripada yang didengarkan. Menyadari keadaan seperti ini, pembicara cenderung menyederhanakan kosakata yang dipakainya, baik secara kualitas maupun kuantitas.

2.6 Permainan Simulasi
2.6.1 Pengertian Permainan
Bermain atau permainan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000:1). Jika pengertian bermain dipahami dan sangat dikuasai, kemampuan itu akan berdampak positif pada cara kita dalam membantu proses belajar anak.
Montessori (dalam Sudono, 2000:3), seorang tokoh pendidikan menekankan bahwa ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Untuk itu, perencanaan dan persiapan lingkungan belajar anak harus dirancang dengan saksama sehingga segala sesuatu merupakan kesempatan belajar yang sangat menyenangkan bagi anak itu sendiri. Mayke (dalam Sudono, 1995) dalam bukunya “Bermain dan Permainan” menyatakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, mengeksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Di sinilah proses pembelajaran terjadi. Mereka mengambil keputusan, memilih, menentukan, mencipta, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat dan memecahkan masalah, mengerjakan secara tuntas, bekerja sama dengan teman, dan mengalami berbagai macam perasaan.
Bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif (Hughes dalam Sudono, 1995). Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas adalah kelancaran, fleksibel, pilihan, orisinal, elaborasi dengan latihan menjawab, luwes dalam menerima beragam jawaban, mampu memilih jawaban yang paling tepat, jawaban yang tidak menyontek. Untuk itu, perlu adanya kerja keras. Hal itu juga akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Proses ini bisa disebut dengan 4P, yaitu Pribadi, Pendorong, Proses, dan Produk (Utami Munandar dalam Sudono, 1991). Pengalaman-pengalaman itulah yang merupakan dasar dari berbagai tingkat perkembangan dan sangat membantu meningkatkan kemampuan anak.

2.6.2 Pengertian Permainan Simulasi
Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah. Kata simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura. Dengan demikian, simulasi dalam metode mengajar dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran) melalui perbuatan yang bersifat pura-pura atau melalui proses tingkah laku imitasi, atau bermain peranan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam kamus Bahasa Inggris karangan Echols dan Shadily (1992:527) bahwa simulasi berarti pekerjaan tiruan/meniru. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002:1068) bahwa simulasi merupakan metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya.
Pengertian model permainan simulasi (simulation game model) menurut Richard Kindsvatter (1996:269) adalah berikut ini.
A simulation is a dynamic model illustrating a physical (nonhuman) or social (human) system that is abstracted from reality and simplified for study purposes.
(Permainan simulasi adalah sebuah model penggambaran yang dinamis tentang suatu sistem sosial (manusia) atau fisik (bukan manusia) yang diabstraksi dari realita dan disederhanakan untuk alasan studi).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur pada model permainan simulasi adalah: sistem sosial atau fisik (physical or social system), abstraksi (abstracted), realitas (reality) dan penyederhanaan (simplified) dan alasan studi (study purposes).
Jadi, permainan simulasi adalah model yang mengilustrasikan atau menggambarkan baik sistem sosial maupun sistem fisik yang diabstraksi dari realitas dan disederhanakan. Berdasarkan peristiwa yang sebenarnya, dilakukan abstraksi (pemindahan) terhadap kondisi-kondisi yang mendukung terjadinya peristiwa tersebut, ditambah dengan penyederhanaan-penyederhanaan, kemudian menyusun ulang peristiwa tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi yang telah disederhanakan. Di samping itu, metode permainan simulasi cocok diterapkan pada semua tingkatan siswa, dari siswa taman kanak-kanak, sampai siswa pada tingkatan yang lebih tinggi. Pernyataan ini didukung oleh Richard Kindsvatter (1996:273).
The range of simulation available to teachers at all grade levels in all subject areas is impressive. Simulations have been used in classroom kindergaden through adult levels.
(Area simulasi yang diterapkan oleh guru pada semua tingkatan siswa. Simulasi sudah pernah diterapkan dari taman kanak-kanak sampai pada tingkatan yang lebih tinggi).
Simulasi adalah tiruan dinamis sebuah model nyata. Prinsip-prinsip simulasi: simulasi dilakukan oleh kelompok siswa; tiap kelompok mendapatkan kesempatan melaksanakan simulasi yang sama atau dapat juga berbeda; semua siswa harus terlibat langsung menurut peranan masing-masing; penentuan topik disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelas; dibicarakan oleh siswa dan guru; petunjuk simulasi diberikan terlebih dahulu; dalam simulasi hendaknya digambarkan situasi yang lengkap; hendaknya diusahakan terintegrasi dengan beberapa ilmu (Hasibuan dan Moedjiono, 1993:27).
Model permainan simulasi didesain untuk membantu siswa mempelajari dan menganalisis dunia nyata secara aktif. Siswa yang terlibat dalam simulasi mempunyai peranan masing-masing dan berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Siswa mengambil keputusan sendiri dan menanggung konsekuensi dari keputusannya. Metode pembelajaran yang seperti ini, tentunya memudahkan siswa memahamai konsep-konsep pelajaran, karena objek yang dipelajari siswa dapat mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

2.6.3 Pola Dasar Permainan Simulasi
Permainan simulasi merupakan gabungan antara bermain dan berdiskusi. Bermain dan diskusi di sini dilaksanakan dalam kelompok. Oleh karena itu, permainan merupakan suatu kegiatan kelompok. Sebagai suatu metode, maka pola dasar permainan simulasi adalah berikut ini.
a) Ada kelompok belajar atau kelompok siswa yang akan melaksanakan kegiatan permainan simulasi yang terdiri atas 10-15 orang. Jika dalam keadaan terpaksa, bisa dilaksanakan kurang atau lebih dari jumlah tersebut.
b) Setiap warga belajar (siswa) yang mengikuti permainan simulasi tersebut dinamakan peserta. Dari seluruh peserta ini, dapat dibagi-bagi penamaannya dalam kelompok itu, yakni ada yang dinamakan fasilitator, pemain, peneliti, pemegang peran, dan penonton.
c) Permainan simulasi mempunyai alat permainan yang disebut beberan lengkap dengan gaco dan alat penentu langkah, kartu berwarna, buku pegangan fasilitator, buku catatan fasilitator. Beberan berupa kertas manila yang dibentangkan sebagai media permainan.
Pesan-pesan permainan dituliskan pada beberan dan pada katu berwarna.
d) Bermain dan berdiskusi dilaksanakan berdasarkan aturan main dan menurut pesan-pesan yang ada dalam beberan atau kartu berwarna. Pada akhir permainan dibuatkan simpulan oleh fasilitator sebagai hasil simpulan diskusi.
(Tim BP7 Pusat, 1985:12-13)
2.6.4 Tujuan Permainan Simulasi
Simulasi sebagai metode mengajar bertujuan:
1) melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari,
2) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip,
3) melatih memecahkan masalah,
4) meningkatkan keaktifan belajar dengan melibatkan siswa dalam memelajari situasi yang hampir serupa dengan kejadian yang sebenarnya,
5) memberikan motivasi belajar kepada siswa,
6) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok,
7) menumbuhkan daya kreatif siswa,
8) melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
(Sudjana, 1989: 89-90)
2.6.5 Peranan Guru dalam Permainan Simulasi
Dalam pembelajaran menggunakan model yang menuntut siswa berpartisipasi secara aktif, peranan guru sangat minimal. Guru tidak lagi menjadi sumber pengetahuan bagi siswa, yang sepanjang jam pelajaran berceramah menumpahkan pengetahuan untuk siswanya. Guru hanyalah menjadi fasilitator yang mengatur dan menjaga agar pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan dan mencapai tujuan pembelajaran.
Sehubungan dengan model pembelajaran simulasi, peranan guru dalam pembelajaran dibagi atas empat bagian (Bruce Joyce dalam Sukmadewi, 2003:13). Keempat peranan dimaksud yaitu: (1) memberikan penjelasan (explaining), (2) pengawasan (controlling), (3) pembinaan (coaching), dan (4) diskusi (discussion). Keempat peranan guru tersebut dijelaskan di bawah ini.
(1) Memberikan Penjelasan
Memberikan penjelasan yang dimaksud di sini, bukanlah menjelaskan materi pelajaran, tetapi penjelasan yang dimaksud adalah memberikan siswa penjelasan tentang aturan-aturan permainan yang akan digunakan siswa dalam permainan simulasi. Dalam belajar simulasi, siswa memerlukan pengertian terhadap aturan-aturan yang digunakan dalam simulasi.
(2) Pengawasan
Sebelum pelaksanaan simulasi, guru perlu menyiapkan siswa, apakah perlu pengelompokan atau tidak, alat dan bahan pelajaran apa saja yang diperlukan. Dalam pelaksanaan simulasi, guru mempunyai tugas mengontrol jalannya simulasi agar berjalan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disiapkan. Guru mengawasi bagaimana aturan-aturan dalam permainan simulasi diikuti oleh siswa.

(3) Pembinaan
Guru berperanan sebagai pembina dalam permainan simulasi, memberikan beberapa saran jika diperlukan agar simulasi dapat berjalan dengan lebih baik. Mengeksploitasi seoptimal mungkin pembelajaran menggunakan model permainan simulasi agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi siswa.
(4) Diskusi
Setelah proses pembelajaran yang menggunakan model permainan simulasi, diperlukan adanya suatu diskusi tentang permainan simulasi dan hubungannya dengan dunia nyata. Termasuk juga kesulitan-kesulitan yang dialami siswa selama pelaksanaan simulasi.
Dengan melihat keempat peranan guru dalam permainan simulasi di atas, maka dapat dikatakan guru mempunyai fungsi manajerial. Seperti yang dikatakana Bruce Joyce (dalam Sukmadewi, 2003:13):
the teacher has an important role to play in raising student’s consciousness about the concepts and principles underpinning the simulation and their own reactions. In addition, the teacher has important managerial functions.
(Guru memiliki peranan yang penting dalam meluruskan ketidakpahaman siswa tentang konsep-konsep dan dasar-dasar simulasi dan reaksi mereka sendiri, dan guru mempunyai fungsi pengaturan yang penting).

2.6.6 Fase-fase dalam Permainan Simulasi
Fase-fase dalam model pembelajaran permainan simulasi telah dikembangkan oleh Bruce Joyce et al (Richard Kindsvatter dalam Sukmadewi, 2003:18). Fase-fase dalam model pembelajaran permainan simulasi dibagi atas empat bagian, yaitu: (1) orientasi (orientations), (2) penyiapan peserta, dalam hal ini siswa (participant preparations), (3) pelaksanaan simulasi (simulation/enactment operations), (4) diskusi hasil-hasil simulasi (debriefing discussion).
Paparan tentang fase-fase model pembelajaran permainan simulasi akan memberikan pedoman dalam operasional permainan.
(1) Orientasi
Fase ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. menjelaskan aturan permainan simulasi,
b. pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan,
c. penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Siswa memerlukan orientasi terhadap permainan simulasi yang akan diikuti. Fase ini bermanfaat bagi siswa jika sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan pembelajaran yang menggunakan simulasi. Perlu dijelaskan kepada siswa mengenai permasalahan yang akan disimulasikan, termasuk juga mengapa digunakan metode ini dalam pembelajaran.
Bagian terpenting dalam fase ini adalah penjelasan terhadap situasi simulasi. Siswa diberikan bayangan-bayangan dalam pelaksanaan simulasi. Hal lain yang perlu dijelaskan kepada siswa adalah tentang tujuan yang akan dicapai setelah permainan simulasi selesai. Penjelasan terhadap situasi permainan dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman dalam melakukan pembahasan terhadap hasil-hasil simulasi.
(2) Penyiapan peserta
Bagian-bagian dari fase ini adalah:
a. menyusun skenario simulasi
b. menetapkan prosedur
c. mengorganisasikan peserta
Pada fase ini, guru menyusun dan menjelaskan kepada siswa skenario simulasi, yaitu tentang apa saja yang akan dilakukan oleh peserta simulasi. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan yang harus diikuti siswa, prosedur dan keputusan-keputusan yang harus dilakukan siswa dalam simulasi.
Langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan peserta. Jika siswa perlu dikelompokkan, maka guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Berikutnya adalah pembagian peranan dalam permainan simulasi. Siapa atau kelompok mana yang mempunyai suatu peranan perlu dijelaskan kepada siswa. Juga, apa yang dilakukan oleh masing-masing pemegang peran.
(3) Pelaksanaan simulasi
Bagian-bagian fase ini terdiri atas simulasi, dan penutup simulasi. Fase pelaksanaan simulasi adalah bagian utama dari metode ini. Pada fase ini, semua komponen berinteraksi untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang disimulasikan, selanjutnya hal itu dipahami sebagai bagian dari pelajaran. Siswa menerapkan permainan, sementara guru memfasilitasi pelaksanaan simulasi. Fasilitasi yang dilakukan oleh guru sangat penting, karena guru menginginkan siswa mempunyai cukup kebebasan untuk menganalisis situasi, menyelesaikan permasalahan, dan membuat keputusan tanpa terlalu banyak campur tangan dari guru. Siswa akan mempunyai pengertian di dalam dirinya bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk memperoleh pengetahuan bagi mereka sendiri. Singkatnya, guru hanya mengarahkan jika perlu, khususnya menjaga siswa agar berada dalam perannya masing-masing. Akhirnya, guru menutup simulasi, jika permainan tersebut sudah berakhir.
(4) Diskusi
Bagian dari fase diskusi adalah berikut ini.
a. Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi,
b. Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata
Permainan simulasi bukanlah pengalaman belajar, tetapi pembelajaran yang sebenarnya baru ditentukan setelah diskusi. Setalah diskusi berakhir, barulah siswa memperoleh pelajaran yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa. Menurut Stadsklev, pada fase ini terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: pengalaman, identifikasi, analisis, dan generalisasi.
Pada fase ini, semua pengalaman yang diperoleh selama simulasi perlu direview agar nantinya dihubungkan dengan pelajaran dan dunia nyata. Identifikasi bermakna mendeskripsikan pengalaman dalam data-data yang terkumpul. Analisis dilakukan untuk melihat simulasi secara lebih mendalam dan bermakna, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik. Terakhir adalah generalisasi, yaitu membuat generalisasi dari hasil-hasil yang diperoleh selama simulasi untuk memperoleh pengetahuan yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa.
Fase-fase dalam model permainan simulasi di atas dapat diringkas dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1: Fase-fase permainan simulasi
FASE I FASE II
a) Menjelaskan aturan permainan simulasi.
b) Pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan.
c) Penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai. a) Menyusun skenario simulasi.
b) Menetapkan prosedur
c) Mengorganisasikan peserta
FASE III FASE IV
a) Simulasi
b) Penutup simulasi a) Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi.
b) Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata.

2.7 Metode Permainan Simulasi dalam Meningkatkan Aktivitas Belajar dan Hasil Belajar Siswa
Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan (Diknas, 2003:11). Hal itu dapat dirujuk dari fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat untuk berkomunikasi. Dalam kurikulum (baik di SD, SMP, maupun SMA), bahasa Indonesia mendapatkan alokasi waktu mengajar tiga kali dalam seminggu. Hal ini tidak lepas dari kompleksnya materi bahasa Indonesia yang meliputi keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), apresiasi sastra, serta komponen kebahasaan yang lain. Keterampilan maupun pengetahuan bahasa ini menuntut penguasaan siswa. Kompleksnya materi serta banyaknya alokasi waktu mengajar menyebabkan motivasi siswa menurun. Rendahnya motivasi siswa dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Kondisi ini terbukti dari data hasil observasi awal bahwa prestasi belajar siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 diperoleh bahwa nilai rata-rata kelas untuk keterampilan berbicara siswa adalah 65. Kondisi ini makin diperburuk oleh adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa sendiri, sehingga tidak terlalu penting untuk dipelajari.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemilihan metode yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan dapat menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran (Furqanal. Dkk., 1995:5). Penerapan metode permainan simulasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara. Metode bermain esensinya adalah suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan. Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah.
Bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif (Hughes, dalam Sudono, 1995). Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas akan muncul ketika anak bermain. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Belajar dan bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Sejatinya, di sinilah proses pembelajaran (Mayke, dalam Sudono, 1995).
Permainan yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah simulasi. Model permainan simulasi merupakan sebuah metode pembelajaran yang memperhatikan pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam permainan ini, siswa yang terlibat memiliki peranan masing-masing dan berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Model pembelajaran permainan simulasi merupakan model yang tepat dipergunakan untuk melatih sekaligus meningkatkan kemampuan berbicara siswa, karena model ini dapat menyesuaikan permasalahan dengan pengetahuan yang diperoleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa. Penelitian itu di antaranya adalah: 1) Soemanti (2003) tentang penerapan metode permainan simulasi tematis untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris siswa menunjukkan bahwa metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa; 2) Sukmadewi (2003) menunjukkan hasil yang sama bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada pelajaran Matematika pokok bahasan Aritmatika; dan 3) Reni (2004) tentang penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran Fisika untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa juga menunjukkan hasil yang sama. Hasil penelitian tersebut sekaligus memberikan penguatan bahwa penerapan metode pembelajaran permainan simulasi cocok diterapkan pada berbagai bidang ilmu, dan dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan teori, kemudian diperkuat oleh beberapa hasil penelitian di atas, peneliti mencoba menerapkan metode perminan simulasi dalam pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara. Pada hakikatnya, berbicara dan bermain, khususnya permainan simulasi berpotensi menumbuhkan motivasi siswa dalam berbicara, karena permainan memungkinkan siswa bebas berekspresi dan melakukan aktivitas apa pun Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan metode yang tepat (simulasi) akan menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran. Metode permainan simulasi jika diterapkan dengan baik dan tepat mampu meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

2.8 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Tindakan
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dituntut dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di masyarakat. Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Pentingnya keterampilan ini bukan saja bagi guru, tetapi juga penting dikuasai oleh siswa sebagai subjek didik.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru sudah tentu menggunakan beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran ialah dengan menerapkan metode permainan simulasi. Pada hakikatnya, bermain adalah kegiatan yang sangat disukai oleh anak-anak. Permainan pada umumnya menghadirkan suasana yang menyenangkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh. Kegiatan belajar sambil bermain banyak diterapkan di sekolah-sekolah dengan tujuan agar materi yang diajarkan dapat ditangkap dengan lebih baik oleh anak-anak tanpa rasa jenuh. Materi yang disajikan dikondisikan sedemikian rupa dalam permainan, sehingga materi menjadi menyenangkan untuk dipelajari. Bermain sambil belajar dapat memberikan rasa nyaman pada anak-anak karena mereka dengan leluasa berinteraksi dengan teman-temannya.
Model pembelajaran permainan simulasi merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok diterapkan pada siswa sekolah dasar. Kita ketahui, sekolah dasar merupakan masa yang didominasi oleh aktivitas bermain. Permainan merupakan suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan dan memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa. Metode simulasi dihadirkan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk bermain dalam konteks belajar. Pada permainan simulasi, siswa bebas berbicara, berimajinasi, berpendapat, dan berekspresi sesuai dengan keinginannya. Ketika berlangsung proses permainan, siswa dilibatkan secara langsung untuk berpikir bagaimana menanggapi, menyikapi, dan memecahkan masalah yang ditawarkan. Permasalahan yang dihadirkan adalah peristiwa faktual yang lekat dengan kehidupan mereka, maupun peristiwa yang terjadi sehari-hari. Model pembelajaran permainan simulasi sangat cocok diterapkan untuk keterampilan berbicara. Dalam metode ini, siswa turut berpartisipasi dan terlibat dan berani memberikan kontribusi, bukan sekadar dijejali informasi.
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat diajukan hipotesis tindakan yang dirumuskan berikut ini.
Penerapan metode permainan simulasi dengan tepat dapat meningkatkan pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan penelitian secara efektif, perlu adanya tahapan kerja yang sistematis. Dalam hal ini, perlu adanya pegangan metodologis mengenai tahapan kerja yang harus ditempuh. Metode penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting, karena berhasil tidaknya, demikian juga tinggi rendahnya kualitas hasil penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan peneliti dalam memilih metode penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas (Purwadi, dalam Sukidin, 2002). Tujuan PTK secara umum adalah memperbaiki pelaksanaan KBM.
Priyono (dalam Sukidin. dkk, 2002) menyatakan bahwa PTK adalah strategi pengembangan profesi guru, karena: (a) menempatkan guru sebagai peneliti, bukan sebagai informan pasif, (b) menempatkan guru sebagai agen perubahan, dan (c) mengutamakan kerja kelompok antara guru, siswa, dan staf pimpinan sekolah lainnya dalam membangun kinerja sekolah yang baik. Dalam penelitian ini, tindakan yang diberikan adalah penggunaan metode simulasi pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kemampuan berbicara.
Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa metode sesuai dengan tahapan kerja yang ditempuh. Metode-metode yang dimaksud berkaitan dengan (1) rancangan penelitian, (2) subjek penelitian, (3) instrumen penelitian, (4) pengumpulan data, dan (5) analisis data.

3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus.
3.1.1 Latar penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.
3.1.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2006/2007. Jadwal penelitian sesuai dengan kalender pendidikan dan jadwal mata pelajaran. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan mulai tanggal 20 Desember 2006 hingga 24 Januari 2007. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus.
3.1.3 Definisi Operasional
 Permainan simulasi dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa dengan cara memerankan atau menggambarkan, baik sistem sosial maupun sistem fisik yang abstraksi dari realitas dan disederhanakan.
 Keterampilan berbicara adalah: suatu keterampilan kebahasaan yang bersifat produktif yang dimiliki seseorang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, gagasan dengan menggunakan media bahasa berbentuk lisan.
 Hasil belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan berbicara siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran, berupa skor yang dicapai sesudah diadakan tes atau evaluasi.
 Aktivitas belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk terlibat secara optimal dalam proses pembelajaran, sehingga termotivasi, bergairah, dan berkonsentrasi dalam proses belajar mengajar.
3.1.4 Prosedur penelitian tindakan kelas
Prosedur kegiatan dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini mengacu pada teori Kemmis dan Tanggart. Kemmis dan Tanggart (1988:94) mengatakan bahwa action research adalah: “…a form of self-reflective inquiry undertaken by participant in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice: (1) their own social or educational practices, (2) their understanding of these practices, dan (3) the situations in which practices are carried out.” PTK merupakan suatu bentuk kajian reflektif oleh pelaku tindakan. PTK dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, dan memperbaiki kondisi praktik pembelajaran yang dilakukan.
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara siklikal, karena harus diuji beberapa kali sampai ditemukan tindakan terbaik untuk memperoleh kavalidan data. Pelaksanaan tindakan kelas pada penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap-tiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu: persiapan tindakan, implementasi tindakan, obervasi dan evaluasi, dan refleksi.
Siklus pertama dilakukan untuk mengidentifikasi masalah pada pembelajaran bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara pada siswa kelas V Sekolah Dasar No.1 Banjar Tegal Singaraja. Masalah yang timbul akan diberikan usaha pemecahan dengan menerapkan model pembelajaran pemainan simulasi.
Siklus kedua merupakan revisi dari tindakan siklus I. Pada dasarnya, prosedur atau langkah-langkah pada siklus II sama dengan pada siklus satu dan model pembelajaran dilakukan masih tetap model pembelajaran permainan simulasi. Segala macam kendala yang dialami pada siklus I diupayakan pemecahan dan perbaikannya pada siklus II. Revisi ini dilakukan pada perbaikan metode simulasi dan partisipasi pada individu siswa. Revisi dilakukan pada metode yang dianggap negatif, sementara yang positif tetap dipertahankan. Pelaksanaan observasi dan refleksi pada siklus II juga sama dengan siklus I.
Siklus penelitian tersebut digambar berikut ini.

Gambar 3.1: Siklus Penelitian Tindakan Kelas

3.1.5 Rincian Prosedur Tindakan
3.1.5.1 Persiapan Tindakan
Sebelum melakukan tindakan, peneliti melakukan persiapan demi kelancaran pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini. Permasalahan yang diidentifikasi pada pembelajaran bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara pada siswa SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja, diusahakan pemecahan dengan menerapkan model pembelajaran permainan simulasi. Sesuai dengan model pembelajaran yang dipilih, maka dilakukan persiapan-persiapan oleh peneliti bersama guru seperti berikut ini.
1. Menyusun persiapan mengajar (skenario pembelajaran) sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan pada setiap pertemuan. Setiap siklus terdiri atas 3-4 kali pertemuan.
2. Memberi penjelasan dan melatih guru mengenai penerapan metode permainan simulasi .
3. Mengadakan media bantu yang dibutuhkan, yaitu: papan ular tangga; sebuah dadu untuk masing-masing kelompok; dan daftar pertanyaan atau instruksi yang berkaitan dengan tema/sub tema tema.
4. Menyediakan identitas pemain
5. Menyediakan kartu kendali simulasi untuk mengecek apa yang terjadi di dalam kelompok apakah pertanyaan/instruksi dilakukan dengan tepat atau tidak.
6. Aturan permainan yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan selama permainan simulasi berlangsung.
7. Membuat tes hasil belajar untuk evaluasi siklus I.
8. Membuat lembar observasi
3.1.5.2 Implementasi tindakan
Urutan pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini adalah:
1) Guru membuka pelajaran, dengan mengabsensi kehadiran siswa, dan memberikan apersepsi terhadap materi yang akan disampaikan.
2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran permainan simulasi.
3) Guru menjelaskan aturan-aturan dalam permainan simulasi.
4) Guru mengarahkan siswa pada tema yang akan dibahas.
5) Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 5-6 orang siswa).
6) Guru memilih organizer atau pengatur dan pembagian kelompok berisi 5-6 siswa termasuk pengatur.
7) Organizer disuruh ke depan untuk menerima penjelasan lebih rinci.
8) Organizer tersebut akan menerima 1 papan simulasi dan perlengkapan lainnya seperti beberan dan dadu.
9) Setiap kelompok bermain simulasi dalam kelompoknya.
10) Guru dan peneliti memonitor jalannya simulasi.
11) Guru dan peneliti bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain guna melihat apakah simulasi berjalan sesuai prosedur atau tidak.
12) Observer lain (rekan peneliti) memantau aktivitas guru, peneliti, maupun siswa.
13) Guru melaksanakan tes hasil berbicara. Tes ini bersifat individual.
3.1.5.3 Observasi dan Evaluasi
Observasi dilakukan selama berlangsungnya pelaksanaan tindakan. Observasi terhadap aktivitas siswa dilakukan dengan daftar cek sedangkan hal-hal lain yang terjadi selama berlangsungnya proses pembelajaran dicatat pada jurnal.
Pada akhir siklus I siswa diberikan tes hasil belajar mengenai materi yang dipelajari. Tes ini dilakukan secara individual oleh siswa selama 1 jam pelajaran (1X40 menit). Siswa satu per satu disuruh berbicara di depan kelas dengan tema yang sudah ditentukan oleh guru. Kriteria evaluasi berbicara dimodifikasi dari Jakobovits dan Gardan (dalam Ariana, 1998:16). Yang dinilai pada tes berbicara sesuai dengan kriteria berikut ini.
Tabel 3.1: Kriteria tes keterampilan berbicara
No Aspek yang Dinilai Tingkatan Skala

1

2

3

4

5

6

7 Keberanian

Keakuratan informasi
(sangat buruk…….akurat sepenuhnya)

Hubungan antar informasi
(sangat sedikit…….berhubungan sepenuhnya)

Ketepatan struktur, kosakata
(tidak tepat…….tepat sekali)

Kelancaran
(terbata-bata…….lancar sekali)

Kewajaran urutan wacana
(tidak normal…….normal)

Gaya pengucapan
(kaku…….wajar) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nilai (N) yang diperoleh siswa dihitung dengan rumus:
Jumlah skor yang diperoleh
Nilai (N) = ———————————- X 10
Jumlah skor maksimal

Jumlah nilai seluruh siswa
Nilai Rata-rata (Mean) = ———————————-
Jumlah siswa

Kriteria penilaian hasil belajar berbicara siswa (Depdikbud dalam Ariana, 1998:17) adalah berikut ini.
Tabel 3.2: Kriteria penilaian hasil belajar keterampilan berbicara
No Rentangan Nilai
(Kuantitatif)
Rentangan Mutu
(Kualitatif)
1 2 3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 9,5 – 10
8,5 – 9,4
7,5 – 8,4
6,5 – 7,4
5,5 – 6,4
4,5 – 5,4
3,5 – 4,4
2,5 – 3,4
1,5 – 2,4
0 – 1,4 Istimewa (I)
Baik Sekali (BS)
Baik (B)
Lebih dari Cukup (LC)
Cukup (C)
Hampir Cukup (HC)
Kurang (K)
Kurang Sekali (KS)
Buruk (B)
Buruk Sekali (BS)

3.1.5.4 Refleksi
Mengadakan refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan berdasarkan hasil observasi dan tes. Refleksi ini dilakukan untuk menganalisis hambatan-hambatan yang muncul serta alternatif pemecahan yang terbaik. Kriteria yang digunakan untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan tindakan adalah berikut ini.
1) Adanya peningkatan aktivitas berbicara siswa yang ditunjukkan dengan peningkatan skor,dan
2) Adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dari siklus ke siklus.
3) Adanya respons positif siswa yang ditandai dengan pernyataan setuju dari sebagian besar siswa.
Bila hasil-hasil yang diperoleh pada tindakan siklus seperti yang tersebut di atas, peneliti mengambil keputusan bahwa penggunaan metode permainanan simulasi dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal dan tindakan dapat dihentikan.

3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sasaran yang akan dikenai dalam penelitian. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah seluruh siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal yang berjumlah 22 orang beserta guru yang mengajar. Adapun aspek-apek yang diteliti meliputi aktivitas belajar, hasil belajar, dan respons siswa terhadap penerapan metode pembelajaran permainan simulasi.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data (Arikunto, 1990:177). Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen yang disesuaikan dengan sifat data yang diambil, seperti: lembar observasi (check list), tes hasil belajar, jurnal atau catatan harian, dan angket respons siswa.

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Arikunto, 1990:135). Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui metode, seperti berikut ini.
1) Metode Observasi
“Metode observasi adalah suatu cara memperoleh atau mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang suatu objek tertentu” (Agung, 1996:68).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipertegas bahwa metode observasi pada prinsipnya merupakan cara memperoleh data yang lebih dominan menggunakan indera penglihatan (mata) dalam proses pengukuran terhadap suatu objek atau variabel tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam penelitian ini, metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data aktivitas belajar siswa yang disusun oleh peneliti dan praktisi sebelum pembelajaran berlangsung. Lembar observasi tersebut memuat aktivitas belajar siswa yang perlu diamati dari siswa.
2) Metode Tes
Metode tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I dan siklus II. Bukhari dalam Arikunto (1992:29) mengemukakan bahwa metode tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil belajar tertentu pada seseorang atau kelompok siswa. Dalam penelitian ini, metode tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam setiap siklusnya.
3) Metode Angket
Angket adalah kumpulan dari pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang (yang dalam hal ini disebut responsden), dan cara menjawab juga dilakukan secara tertulis (Arikunto, 1990:135). Angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang yang diberi angket tersebut bersedia memberikan responss sesuai dengan permintaan pengguna. Orang yang diharapkan memberikan responss ini disebut responsden.
Angket digunakan untuk mendapatkan data mengenai tanggapan atau responss siswa terhadap model pembelajaran permainan simulasi. Angket menggunakan model skala Lirchet dengan lima pilihan yang bersifat gradasi. Angket respons siswa akan diberikan pada akhir siklus II. Angket tidak disebarkan pada akhir siklus I, seperti halnya observasi dan tes. Hal ini didasari, bahwa angket disebarkan sebatas mengetahui responss siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan. Kajian refleksi hanya didasarkan pada hasil observasi dan hasil tes. Angket Pendapat siswa terhadap penerapan model pembelajaran permainan simulasi pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara dijaring dengan angket model skala Lirchet dengan pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Masing-masing pilihan pada tiap item diberi skor. Untuk pernyataan positif: SS = 5; S = 4; R = 3; TS = 2; dan STS = 1, sedangkan untuk pernyataaan negatif: SS = 1; S = 2; R = 3; TS = 4; dan STS = 5. Skor pendapat siswa diperoleh dengan menjumlah skor yang didapatkan siswa tersebut untuk tiap item.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dirangkum pada tabel di bawah ini.
Tabel. 3.3: Teknik pengumpulan data
No Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data
Waktu
1 Aktivitas Belajar Siswa Siswa Observasi Selama pembelajaran berlangsung.

2 Hasil Belajar Siswa Siswa Tes Setelah pembelajaran berlangsung pada masing-masing siklus.

3 Responss Siswa Siswa Angket Pada akhir siklus II (sesudah pelaksanaan tindakan).

3.5 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik berikut ini.
a) Data Aktivitas Belajar Siswa
Data tentang aktivitas belajar siswa dianalisis untuk memperoleh gambaran secara klasikal. Data tersebut dianalisis dengan cara deskriptif kuantitatif. Analisis didasarkan pada rata-rata skor aktivitas siswa (X) mean ideal dan (MI) dan standar deviasi ideal (SDI), yaitu:
Mi = ½ (skor tertinggi + skor terendah ideal)
Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal – skor terendah ideal)
(Nurkancana, dalam Sukmadewi, 2003:24)
Selanjutnya, untuk menggolongkan aktivitas siswa digunakan pedoman yang disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.4: Kriteria penggolongan aktivitas belajar siswa
Rentang skor Kategori
≥ Mi + 1,5 Sdi
Sangat aktif
Mi + 0,5 Sdi ≤ < Mi + 1,5 Sdi
Aktif
Mi – 0,5 Sdi ≤ < Mi + 0,5 Sdi
Cukup aktif
Mi – 1,5 Sdi ≤ < Mi – 0,5 Sdi
Kurang aktif
< Mi – 1,5 Sdi
Sangat kurang aktif
(Subaryati, 1997:20)
Untuk aktivitas siswa, skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal adalah 24 dan 0 dengan demikian dapat dihitung mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (Sdi), yaitu:
Mi = ½ (24 + 0) = 12 dan Sdi = 1/6 (24-0) =4
Dengan demikian, penggolongan aktivitas siswa di atas menjadi:
Tabel 3.5: Kriteria penggolongan aktivitas siswa berdasarkan Mi dan Sdi
Rentang Skor Kategori
≥ 18
Sangat aktif
14 ≤ < 18
Aktif
10 ≤ < 14
Cukup aktif
6 ≤ < 10
Kurang aktif
< 6
Sangat kurang aktif

Data aktivitas siswa yang terkumpul dihitung untuk memperoleh rata-rata aktivitas siswa ( ), yang selanjutnya dicocokkan dengan kriteria penggolongan di atas. Dengan demikian, dapat ditentukan aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang diterapkan. Aktivitas yang ditargetkan dalam penelitian ini tergolong aktif.

b) Data Hasil Belajar Siswa
Data hasil belajar siswa dianalisis dengan cara deskriptif kuantitatif. Rumusnya adalah berikut ini.
 Menentukan rata-rata

Jumlah nilai siswa
X = ————————
Jumlah siswa

 Menentukan ketuntasan individu
Nilai yang dicapai siswa
KI = —————————–
Nilai maksimum
 Menentukan ketuntasan klasikal
Jumlah siswa yang tuntas
KK = ——————————— X 100%
Jumlah seluruh siswa

Dari kriteria keberhasilan, kelas dianggap tuntas jika  85% siswa mendapatkan nilai 7,5 hingga 8,4 ke atas secara individual. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa penguasaan keterampilan berbiara siswa dianggap tuntas.
(Arikunto, 1990)
c) Data Respons Siswa
Data yang menyangkut respons siswa dianalisis untuk memperoleh respons siswa secara klasikal. Analisis ini didasarkan pada data rata-rata ( ) dari skor respons siswa, mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi).
Mi = ½ (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)
Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal – skor terendah ideal)
(Nurkancana dalam Sukmadewi, 2003:25)
Rata-rata kelas ( ) dari respons siswa kemudian dikategorikan dengan pedoman berikut ini.

Tabel 3.6: Kriteria penggolongan respons siswa
Rentang skor Kategori
≥ Mi + 1,5 Sdi
Sangat setuju
Mi + 0,5 Sdi ≤ < Mi + 1,5 Sdi
Setuju
Mi – 0,5 Sdi ≤ < Mi + 0,5 Sdi
Cukup setuju
Mi – 1,5 Sdi ≤ < Mi – 0,5 Sdi
Kurang setuju
< Mi – 1,5 Sdi
Sangat kurang setuju
(Subariyati, 1997:20)
Angket yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 item. Tiap item mempunyai skor maksimal 5 dan minimal 1. Dengan demikian, skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal adalah 30 dan 6, sehingga dapat ditentukan mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi), yaitu:
Mi = ½ (30+6) = 18
Sdi = 1/6 (30-6) = 4
Berdasarkan Mi dan Sdi dari skor respons siswa, maka kriteria penggolongan pendapat siswa di atas menjadi:

Tabel 3.7: Kriteria penggolongan respons siswa berdasarkan Mi dan Sdi
Rentang skor Kategori
≥ 27
Sangat setuju
23 ≤ < 27
Setuju
19 ≤ < 23
Cukup setuju
15 ≤ < 19
Kurang setuju
< 15
Sangat kurang setuju
Rata-rata kelas ( ) dari skor respons siswa yang diperoleh selanjutnya dicocokkan dengan kriteria penggolongan di atas. Dengan demikian, dapat ditentukan respons siswa terhadap pembelajaran yang diterapkan. Respons siswa yang ditargetkan dalam penelitian ini tergolong setuju.
Secara keseluruhan, penelitian ini dikatakan berhasil apabila hasil belajar siswa mengalami peningkatan, baik dari refleksi awal maupun dari siklus awal sebelumnya. Penelitian ini diselenggarakan dalam dua siklus, dan siklus penelitian akan dihentikan jika 85% siswa mendapatkan nilai 7,5 hingga 8,4 ke atas secara individual. Rentangan ini berada pada kategori baik. Skor ini sesuai dengan target kurikulum yang ditetapkan. Demikian pula dengan aktivitas belajar siswa minimal berkategori aktif dan respons siswa terhadap proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran permainan simulasi minimal berkategori setuju.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian sebagaimana tertera pada tujuan penelitian, diperlukan dua siklus. Siklus I memerlukan dua kali pertemuan dengan alokasi waktu dua jam pelajaran. Usai pertemuan kedua, guru menyelenggarakan tes berbicara untuk mengukur perkembangan kemampuan berbicara siswa. Siklus II juga memerlukan dua kali pertemuan dengan alokasi waktu dua jam pelajaran. Evaluasi kemampuan berbicara dilaksanakan pada akhir pertemuan kedua. Perkembangan hasil dari siklus ke siklus hingga diperoleh hasil akhir seperti diuraikan berikut ini.
4.1.1 Siklus I
Penelitian tindakan kelas ini melibatkan siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja yang berjumlah 22 orang sebagai subjek penelitian. Data yang dicari adalah data tentang aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan. Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti mendatangi sekolah bersangkutan untuk menjelaskan tujuan kedatangan peneliti. Dengan senang hati, para pengajar di sekolah dasar tersebut menerima kehadiran peneliti. Bersamaan dengan itu, peneliti menjelaskan bahwa tujuan kedatangan peneliti untuk menerapkan sebuah metode. Metode tersebut adalah permainan simulasi. Spontan guru bahasa Indonesia merespons, “Apakah metode permainan simulasi itu?” Peneliti menjawab bahwa metode permainan simulasi adalah semacam metode bermain peran dengan menggunakan media bantu berupa beberan yang berisi pertanyaan. Ada pula sebuah dadu sebagai penentu langkah dalam permainan. Permainan ini semacam ular tangga, hanya saja dalam permainan ular tangga tidak berisi pertanyaan. Sementara dalam permainan simulasi terdapat pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa sesuai dengan instruksi yang ada pada beberan. Simulasi adalah sebuah metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk semua tema, dan dapat dimulai pada tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar. Penentuan materi pada permainan simulasi bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku. Namun, peneliti mencoba menyatukannya dengan kurikulum dan menyesuaikannya dengan kemampuan siswa kelas V SD. Metode ini akan diterapkan di kelas V untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Guru mengangguk dan menawarkan kepada peneliti tentang kapan penelitian akan dimulai. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa penelitian akan dilaksanakan hari Senin, pukul 07.10—08.30; hari Selasa, pukul 11.30—12.50; dan hari Rabu, pukul 09.45—11.05. Sesaat, guru kelihatan belum puas dengan jawaban peneliti. Dia menegaskan kembali apakah guru atau peneliti yang akan menerapkan metode tersebut. Jika guru yang akan menerapkan, tentu akan mengalami kesulitan karena metode tersebut belum akrab dalam pengajaran dan tidak pernah diterapkan sama sekali. Akhirnya peneliti mengatakan bahwa metode tersebut akan disosialisasikan terlebih dahulu. Sebelum guru mengajar dengan metode permainan simulasi, guru diberikan pelatihan bagaimana cara menerapkannya di dalam kelas. Guru terlihat antusias dan siap untuk menerapkannya. Selama setengah jam, dialog mengenai seluk-beluk permainan simulasi terhenti, karena guru harus melanjutkan pengajaran. Peneliti mohon diri, dan kembali memastikan bahwa penelitian akan mulai dilaksanakan pada hari Rabu, 10 Januari 2007.
Pada pertemuan pertama, peneliti ke sekolah tujuan penelitian berbekal lembar observasi untuk memantau aktivitas siswa selama proses belajar-mengajar belangsung dengan menerapkan metode permainan simulasi. Ketika peneliti mulai memasuki kelas, situasi kelas agak gaduh karena ulah siswa yang belum terpenuhi oleh rasa ingin tahunya terhadap kehadiran peneliti. Ada yang bertanya, “Bapak mengajar di sini?” Ada pula yang berceloteh sambil lalu, “Apa yang ada dalam bungkusan itu, Pak!” Peneliti hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Nanti kalian akan melihat sendiri.” Guru menyuruh siswa agar segera kembali ke tempat duduk agar bersiap menerima pelajaran. Sebelum memulai pelajaran, guru memperkenalkan peneliti kepada siswa.
Pertemuan pertama, guru mengajarkan tema perhubungan, dengan kompetensi dasar memberikan pendapat tentang persoalan faktual. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit. Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan dengan menggunakan metode permainan simulasi. Ketika guru menjelaskan dan membahas tentang metode permainan simulasi, konsentrasi siswa tercurah penuh pada guru. Mereka tampak serius memperhatikan guru, tetapi tidak terdapat siswa yang menyela untuk bertanya tentang simulasi maupun langkah permainan simulasi itu sendiri yang belum dipahami. Pada konteks ini, guru lebih banyak berbicara untuk menjelaskan prosedur permainan simulasi yang akan diterapkan. Guru membutuhkan waktu lebih kurang 15 menit untuk menjelaskan tentang seluk-beluk permainan. Usai menjelaskan metode permainan simulasi, guru menjelaskan materi yang akan diajarkan. Mengawali pelajaran guru bertanya, “Siapa yang tahu, apa arti kata faktual?” Tidak ada satu pun yang merespons pertanyaan guru. Pertanyan guru tidak terhenti sampai di situ. Guru kembali bertanya, “Siapa yang tahu, apa itu faktual.” Salah seorang siswa menjawab sekenanya bahwa faktual adalah berita yang sering terdengar di televisi. Guru terus menggali keberanian siswa agar mau mengemukakan pendapat dengan cara meminta siswa yang lain untuk menanggapi atau memberikan pendapat versi lain. Siswa tetap apatis dan tutup mulut sambil melihat teman di sekitarnya. Akhirnya, guru menjawab sendiri tentang arti kata faktual. Selanjutnya, pertanyaan guru kembali bergema, “Apa saja yang termasuk dalam persoalan faktual?” Pertanyaan ini membuat siswa kelihatan berpikir keras untuk menemukan arti kata faktual. Ada yang berbisik pada teman sebelahnya. Entah apa yang sedang dibisikkan. Ada pula yang terus mengumpulkan ingatan untuk memecahkan pertanyaan tersebut. Suasana tetap tenang. Tidak ada seorang pun yang berpendapat. Merasa tidak direspons oleh siswa, akhirnya guru menjelaskan dan menjawab sendiri tentang persoalan faktual tersebut. Tampak siswa manggut-manggut seolah ikut mengiakan. Beberapa orang mencatat arti kata faktual yang disampaikan oleh guru.
Memasuki kegiatan inti pelajaran, guru membagi siswa ke dalam empat kelompok berdasarkan keanekaragaman gender dan perbedaan kemampuan akademik. Setiap kelompok berjumlah 5 hingga 6 orang siswa. Pada saat pengorganisasian kelompok belajar, siswa tampak ramai dan ribut. Ada siswa yang berlari ke sana ke mari menari anggota kelompoknya. Ada yang saling memperebutkan tempat duduk, dan ada pula siswa yang mendekati guru dan peneliti sekadar mananyakan tentang metode permainan simulasi yang diterapkan. Mereka sungguh antusias dan menyambut dengan riang gembira. Tanpa disadari, efek samping dari penerapan metode ini memungkinkan siswa berbicara walaupun terlepas dari topik yang diajarkan. Peranan guru dalam hal ini sungguh berarti untuk membimbing siswa pada pemahaman, terutama tentang permainan yang hendak dilaksanakan. Proses pengorganisasian kelompok cukup menyita waktu.
Setelah siswa berada dalam kelompok masing-masing, guru membagikan media permainan simulasi beserta perlengkapan permainan lainnya. Sebelum memulai permainan, guru memanggil dua orang siswa sebagai model untuk mendemonstrasikan permainan simulasi. Siswa begitu cermat memperhatikan cara bermain maupun instruksi yang dilontarkan oleh guru.
Usai pemodelan yang dilakukan oleh dua orang siswa, guru memerintahkan siswa agar segera bermain simulasi dalam kelompok masing-masing. Guru dan peneliti yang berperan sebagai fasilitator berkeliling untuk memantau situasi permainan yang dilakukan siswa. Guru dan peneliti mendatangi kelompok demi kelompok untuk menanyakan kesulitan yang dialami siswa. Jika ditemukan kesulitan dan ketidakpahaman siswa, maka guru maupun peneliti segera memberikan penjelasan terhadap masalah yang dialami siswa.
Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa mulai bermain simulasi. Salah seorang yang bertindak sebagai organizer mengocok lempengan yang berisi angka 1 sampai 15. Kemudian angka tersebut dicocokkan dengan daftar pertanyaan yang ada pada beberan yang tersedia. Siswa secara bergiliran mendapatkan pertanyaan. Guru dan peneliti tetap melanjutkan pemantauan terhadap situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. Belum genap sejam pembelajaran berlangsung, konsentrasi siswa terpecah oleh kehadiran siswa kelas lain. Mereka datang mengerumuni kelas V yang sedang belajar. Ada yang mendatangi dari arah belakang di balik gerawang, dan ada pula yang melihat situasi pembelajaran dari arah depan, yakni di pintu masuk. Siswa yang awalnya serius dan berkonsentrasi dalam permainan tiba-tiba menyahut untuk memberikan respons terhadap stimulus yang datang dari luar kelas. Suasana pembelajaran terganggu oleh kehadiran siswa-siswa tersebut. Guru dan peneliti berusaha mengembalikan konsentrasi siswa dengan cara menyuruh siswa yang dominan dari kelas rendah tersebut untuk meninggalkan ruangan kelas V. Sebagaian ada yang langsung angkat kaki meninggalkan ruangan, namun ada juga yang betah menonton proses pembelajaran. Rombongan anak-anak kelas lain terus-menerus mengalir. Akhirnya peneliti ke luar ruangan untuk mengajak mereka masuk ke kelasnya masing-masing.
Suasana kembali tenang. Permainan simulasi terus berlanjut dan berlangsung alot dan seru. Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa bermain simulasi. Beragam ekspresi yang ditunjukkan oleh siswa pada saat permainan simulasi. Ada siswa yang kelihatannya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ada pada beberan. Ada siswa yang menyela jawaban pertanyaan temannya diiringi dengan komentar yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Ada pula siswa yang ketika ditanya oleh temannya tentang sesuatu yang belum dipahami tidak dijawab sama sekali. Sementara pada kelompok yang lain terlihat bahwa siswa sungguh-sungguh bermain simulasi. Ada pula yang mengobrol sambil bermain. Tidak sedikit yang tertawa ngakak sambil bermain. Guru dan peneliti terus-menerus mengawasi siswa yang sedang bermain simulasi.
Aktivitas siswa begitu beragam ketika bermain simulasi. Berdasarkan data yang dianalisis melalui observasi didapatkan bahwa rata-rata aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada siklus I observasi I berada pada kategori cukup aktif, yaitu sebesar 11,8. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran belum memenuhi harapan ideal penelitian, sebab aktivitas siswa yang diharapkan dalam penelitian ini minimal berkategori aktif, yakni berada pada kategori 14 ≤ < 18.
Jam pelajaran akan segera berakhir. Begitu pula dengan permainan simulasi akan segera diakhiri. Siswa kembali pada tempat duduknya semula. Sebelum guru mengakhiri pembelajaran, terlebih dahulu guru meminta siswa untuk menyimpulkan matari yang telah selesai diajarkan. Guru memberikan kebebasan pada siswa untuk menyimpulkannya. Tidak tampak satu pun siswa yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Siswa kembali terpaku dan saling menunggu siapa yang lebih dahulu menyimpulkan materi pelajaran. Bel berdering hingga akhirnya guru yang menyimpulkan sendiri materi pelajaran tersebut. Proses pembelajaran yang berlangsung pada siklus I pertemuan I berakhir sesuai dengan perencanaan. Peneliti sengaja merancang pertemuan I hanya memfokuskan pada permainan simulasi, karena didasari oleh pemikiran bahwa waktu akan banyak digabiskan untuk menyosialisasikan metode tersebut kepada siswa.
Hari berikutnya peneliti melanjutkan siklus I pertemuan II. Peneliti melaksanakan pertemuan kedua pada hari Senin, 15 Januari 2007. Pertemuan ini membahas tema kesehatan, dengan kompetensi dasar menanggapi suatu persoalan atau peristiwa. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit.
Pada pertemuan kedua, peneliti merancang media permainan simulasi dengan tema yang lain, yakni kesehatan. Tema ini sesuai dengan petunjuk yang termuat dalam silabus. Kompetensi dasar pada pertemuan ini hampir sama dengan petemuan I. Jika pada pertemuan I memberikan pendapat tentang persoalan faktual, pada pertemuan II siswa menangapi suatu persoalan atau peristiwa. Sebelum mengawali pembelajaran, guru menjelaskan kembali tentang permainan simulasi. Permainan simulasi pada pertemuan II siklus I tetap mengacu pada prosedur permainan sebagaimana yang diterapkan dalam pertemuan I siklus I tanpa ada pemodifikasian. Guru kembali membentuk kelompok tanpa ada perubahan terhadap anggota kelompok.
Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran masih menggunakan metode permainan simulasi. Mengawali pelajaran, guru bertanya, “Apa saja persoalan yang pernah kalian alami dalam kehidupan sehari-hari?” Ketika guru bertanya tentang ini, banyak siswa yang tertarik untuk menjawab. Ada yang menjawab, “Kemarin, saya dikejar anjing tetangga.” Ada juga yang menjawab bahwa semalam diajak oleh bapak ke Hardy’s.
Memasuki kegiatan inti pelajaran, guru membagi siswa ke dalam empat kelompok berdasarkan format aggota kelompok sebelumnya. Setiap kelompok berjumlah 5 hingga 6 orang siswa. Pada saat pengorganisasian kelompok belajar, siswa tetap ribut walaupun mereka sudah tahu anggota kelompoknya masing-masing. Masih juga ditemukan siswa yang belari ke sana ke mari mencari, kemudian menarik tangan anggota kelompoknya agar segera melingkar dalam kelompok.
Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa mulai bermain simulasi dengan tema baru yang ditawarkan peneliti. Salah seorang yang bertindak sebagai organizer mengocok lempengan yang berisi angka 1-15. Kemudian angka tersebut dicocokkan dengan daftar pertanyaan yang ada pada beberan. Siswa secara bergiliran mendapatkan pertanyaan. Guru dan peneliti tetap melanjutkan pemantauan terhadap situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. Anak-anak kelas rendah masih saja mendatangi kelas V untuk menyaksikan proses permainan simulasi. Namun jumlah mereka tidak sebanyak waktu pertama kali peneliti memasuki ruangan kelas V. Walaupun jumlah mereka tidak seramai sebelumnya, tetap saja kehadiran mereka memecah konsentrasi siswa kelas V yang sedang belajar.
Aktivitas siswa yang masih menonjol pada pertemuan II siklus I adalah kurang pedulinya siswa terhadap pertanyaan atau pun tanggapan yang dilontarkan oleh temannya. Mereka kelihatan sibuk dengan dirinya sendiri, dan merasa dongkol jika ada temannya berpendapat.
Aktivitas siswa begitu beragam ketika bermain simulasi. Ada siswa yang berpikir keras untuk mengeluarkan pendapat. Ada juga yang berdiskusi sambil becanda dalam kelompok. Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa tidak jauh berbeda dengan aktivitas pertemuan pertama. Rata-rata skor hasil belajar yang dicapai siswa pada siklus I pertemuan II adalah 6,85, sementara ketuntasan klasikal mencapai 72,7%. Skor ini belum memenuhi tuntutan kurikulum, karena rata-rata kelas yang diharapkan dalam penelitian ini minimal 7,5 dan ketuntasan klasikal minimal 85%. Berdasarkan skor tersebut, ketuntasan klasikal yang dicapai siswa pada siklus I belum memenuhi tuntatan kurikulum.
Guru mengalokasikan pertemuan ini satu jam untuk permainan simulasi, sementara satu jam berikutnya untuk mengetes kemampuan berbicara siswa. Menjelang sejam pertama akan berakhir, guru segera mengakhiri permainan simulasi. Selanjutnya guru mengadakan evaluasi hasil belajar berupa pengetesan keterampilan berbicara secara individual di depan kelas. Guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk berbicara tentang peristiwa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Ketika guru menjelaskan tentang topik yang akan dibicarakan secara individual, seorang siswa menyahut, “Bolehkah saya bercerita tentang berbelanja pemainan di Hardy’s?. Guru menyerahkan sepenuhnya kepada siswa asalkan masih dalam konteks bercerita tentang peristiwa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika guru memanggil siswa satu per satu di depan kelas, beragam reaksi ditunjukkan oleh siswa. Ada siswa yang tanpa tedeng aling-aling langsung menuju ke depan kelas untuk bercerita. Sesampai di depan dia lupa tentang apa yang hendak dibicarakan. Kelakuan spontanitas siswa yang seperti ini mengudang derai tawa siswa lain. Ada siswa yang semangatnya berkobar-kobar seperti hendak berperang. Ada pula siswa yang menunggu berkai-kali dipanggil baru beranjak maju ke depan.
Pada sisi lain, ada siswa yang sibuk mengumpulkan kekuatan mental untuk tampil ke depan. Siswa yang menunggu giliran dipanggil memanfaatkan jeda waktu untuk menghafal apa yang ingin dibicarakan. Keadaan ini peneliti amati ketika mulut siswa terlihat berkomat-kamit seperti sedang menghafal konsep yang akan dibicarakan. Hanya beberapa orang yang kelihatan santai tanpa tekanan. Ada juga yang gugup ketika dipanggil. Reaksi siswa sekaligus menunjukkan betapa berbicara adalah sebuah aktivitas yang mencemaskan dan menakutkan. Evaluasi keterampilan berbicara pada siklus I menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kurang lancar berbicara. Kendati lancar berbicara, siswa kadang-kadang berdialek dan terkesan sepotong-potong. Bahkan banyak di antara siswa yang berbicara sambil tertawa. Satu hal yang dominan terjadi ketika siswa berbicara adalah kurang jelasnya suara siswa ketika berbicara. Berkali-kali guru melontarkan pertanyaan kepada siswa, “Apakah kalian bisa mendengar apa yang diceritakan oleh siswa tadi?” Teguran tersebut membuat siswa berbubah sikap. Mereka akhirnya bersuara nyaring walaupun dipaksakan.
Yang menarik adalah salah seorang siswa perempuan ketika berbicara seperti air mengalir. Ia bercerita tentang konflik yang terjadi antara dia dengan temannya. Dia berbicara melibatkan emosi, dan sungguh ekspresif. Peneliti bertepuk tangan, kemudian disusul oleh siswa untuk memberikan hal serupa. Evaluasi berbicara dihimpun dalam sebuah pedoman yang telah disusun sebelumnya. Hasil kemampuan berbicara pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Data hasil belajar siswa siklus I
Nama
Siswa Aspek yang Dinilai Jumlah
Nilai Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
1 8 8 6 7 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
2 8 8 7 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
3 8 7 4 6 6 6 5 6,0 Cukup
4 7 9 5 7 5 7 7 6,8 Lebih dari cukup
5 8 7 5 7 6 6 6 6,6 Lebih dari cukup
6 7 6 6 6 7 7 6 6,4 Cukup
7 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
8 9 8 6 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
9 8 7 4 6 6 5 6 6,0 Cukup
10 8 8 7 7 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
11 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
12 9 8 8 9 9 8 8 8,4 Baik
13 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
14 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
15 9 8 6 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
16 7 8 5 5 6 6 5 6,0 Cukup
17 8 9 7 6 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
18 9 8 6 7 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
19 7 4 4 7 5 4 4 5,0 Hampir cukup
20 7 8 5 5 6 6 5 6,0 Cukup
21 9 8 6 8 6 6 6 7,0 Lebih dari cukup
22 8 8 8 8 7 7 7 7,5 Baik
Jumlah 177 170 134 149 151 140 135 150,9
Rata-rata = 6,9

Keterangan:

1 = Keberanian
2 = Keakuratan informasi
3 = Hubungan antar informasi
4 = Ketepatan struktur dan kosakata
5 = Kelancaran
6 = Kewajaran uratan wacana
7 = Gaya pengucapan

Adapun persentase hasil belajar siswa siklus I sesuai data hasil belajar tersebut adalah berikut ini.
Banyaknya siswa yang memperoleh nilai baik sebanyak 4 orang (18,18%), yang mendapatkan nilai lebih dari cukup sebanyak 13 orang (59,09%), dan yang mendapatkan nilai cukup sebanyak 5 orang (22,72%). Secara klasikal, skor yang diperoleh siswa dominan berada pada ketegori lebih dari cukup.
Sementara kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa pada kriteria tes keterampilan berbicara berada pada rentangan cukup hingga baik. Adapun persentase kesalahan siswa dalam kriteria keterampilan berbicara adalah berikut ini.
Tabel 4.2: Persentase kesalahan siswa sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara siklus I
No Aspek yang Dinilai Persentase Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Keberanian
Keakuratan informasi
Hubungan antar informasi
Ketepatan struktur dan kosakata
Kelancaran
Kewajaran urutan wacana
Gaya pengucapan 80,45%
77,27%
60,90%
67,72%
68,63%
63,63%
61,36% Baik
Baik
Cukup
Lebih dari cukup
Lebih dari cukup
Cukup
Cukup

Berdasarkan persentase hasil kriteria penilaian keterampilan berbicara siswa di atas, kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa, yakni pada kategori hubungan antar informasi (60,90%), ketepatan struktur dan kosakata (67,72%), kelancaran (686,3%), kewajaran urutan wacana (63,63%), dan gaya pengucapan (61,36%). Secara umum, keberhasilan belajar siswa berada pada kategori cukup.

4.1.2 Refleksi Siklus I
Peneliti mengadakan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan siklus I. Berdasarkan temuan analisis hasil observasi dan tes, maka tindakan siklus I didaur ulang dan dimodifikasi karena tujuan penelitian ini belum tercapai. Tindakan yang dipandang positif pada siklus I dipertahankan, sementara tindakan yang perlu pemodifikasian dilakukan penyempurnaan. Pemodifikasian tindakan yang dilakukan pada siklus II difokuskan pada implementasi tindakan. Refleksi ini dilakukan agar hasil maupun aktivitas belajar siswa meningkat. Langkah-langkah yang dilakukan adalah berikut ini.
a) Guru harus memastikan bahwa kelas dalam keadaan aman dari gangguan kelas lain. Langkah yang diambil adalah segera menyuruh siswa kelas lain membubarkan diri jika sudah mulai berkerumunan di depan dan di belakang kelas untuk menghindari pecahnya konsentrasi siswa yang sedang belajar.
b) Membangkitkan semangat siswa untuk mengajukan pertanyaan lebih dari sekali dengan memberikan motivasi dan penguatan terhadap jawaban yang diberikan siswa.
c) Secara umum, respons siswa terhadap pertanyaan dari anggota kalompok sendiri maupun terhadap kelompok lain masih rendah. Guru mengadakan pendekatan yang lebih baik kepada siswa, dan menegaskan agar melayani jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami. Alternatif lain, guru menyuruh siswa segara bertanya jika menemui kendala atau masalah dalam belajar.
d) Merangsang siswa agar berani berbicara dalam konteks apapun, baik dalam menjawab pertanyaan, mengemukakan pertanyaan, mengajukan pendapat, maupun menyimpulkan. Di samping itu, guru menegaskan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan tes satu-per satu di depan kelas, tetapi juga aktivitas belajar siswa selama terjadinya proses belajar-mengajar.
e) Berkaitan dengan permasalahan dalam kelompok, guru mengingatkan kepada siswa supaya duduk dalam kelompoknya masing-masing menjelang proses pembelajaran atau ketika pelaksanaan permainan simulasi. Ketika guru memasuki ruangan kelas langsung mengarahkan permainan, tidak lagi mengurusi siswa di dalam kelompok.
f) Meningkatkan frekuensi monitoring terhadap kelompok bermain simulasi. Pemantauan yang intensif memungkinkan guru segera mengetahui dan segera memerbaiki jika terdapat kesalahan atau ketidakpahaman siswa terhadap materi atau pun permainan simulasi. Guru dan peneliti mengunjungi kelompok demi kelompok untuk memastikan bahwa permainan berjalan sesuai prosedur atau tidak.
g) Memotivasi siswa untuk berbicara dengan memperhatikan tepat tidaknya penggunaan kosakata, kelancaran, kewajaran urutan wacana, maupun gaya pengucapan. Caranya, ketika siwa berbicara, guru berdiri di sebelah siswa untuk memberikan pengutan, mengarahkan, dan memberikan semacam tanda atau ucapan-ucapan yang membantu siswa untuk menghubungkan dan menggali informasi yang disampaikan, serta mengomentari atau mengoreksi jika terdapat kesalahan. Pengoreksian diberikan secara langsung supaya siswa mengetahui letak kelamahannya dalam berbicara.
Berdasarkan langkah-langkah tersebut diharapkan dalam siklus II, aktivitas dan hasil belajar siswa meningkat.

4.1.3 Rencana Tindakan Siklus II
Rencana perbaikan tindakan yang akan dilakukan pada siklus II adalah berikut ini.
a) Guru mengingatkan siswa supaya duduk dalam kelompok masing-masing menjelang proses belajar-mengajar agar proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien.
b) Guru mengajukan pertanyaan lebih dari sekali kepada siswa, serta memberikan penguatan terhadap jawaban siswa untuk membangkitkan motivasi siswa dalam berbicara.
c) Guru mengadakan pendekatan yang lebih baik kepada siswa, dan menegaskan agar siswa mau melayani jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami.
d) Guru memotivasi siswa dengan mengemukakan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan tes satu per satu di depan kelas, tetapi juga aktivitas siswa selama proses belajar-mengajar.
e) Guru meningkatkan frekuensi monitoring pada saat permainan simulasi dengan cara mendatangi kelompok demi kelompok.
f) Guru berdiri di dekat siswa pada saat evaluasi berbicara untuk memberikan motivasi, penguatan, membantu siswa menghubungkan informasi, dan mengoreksi kesalahan siswa ketika berbicara di depan kelas.

4.1.4 Siklus II
Pada dasarnya, perencanaan hingga pelaksanaan penelitian sama dengan siklus I, yakni masih menggunakan metode permainan simulasi. Hanya saja, siklus II merupakan revisi dari pelaksanaan siklus I dengan mengacu pada pertimbangan hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Pertemuan pertama, guru mengajarkan tema transportasi. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit.
Ketika memasuki rungan kelas, guru tidak lagi menghabiskan waktu untuk mengatur siswa dalam kelompoknya. Siswa sudah berada dalam kelompok dan bersiap menerima pelajaran. Pada saat memasuki inti pelajaran, guru mengemukakan pertanyaan ringan untuk membangkitkan keberanian siswa untuk menjawab. Selanjutnya, guru melontarkan pertanyaan yang agak sukar hingga ke pertanyaan yang sukar. Mengawali pertanyaan yang agak sukar hingga pada pertanyaan yang sukar, guru secara simultan melontarkan semacam pernyataan untuk menghilangkan ketakutan siswa menjawab pertanyaan. Tampak bahwa siswa mulai aktif berbicara, khususnya menanggapi setiap pertanyaan guru. Pertanyaan tersebut berbunyi begini, “Siapa yang pernah melihat orang yang melakukan wawancara?” Beragam jawaban siswa terlontar. Ada yang menjawab bahwa pernah melihat orang yang sedang melakukan wawancara. Ada juga yang menjawab sering menyaksikan orang yang berwawancara. Peneliti tidak melihat adanya siswa yang diam ketika bertanya tentang persoalan seputar wawancara. Mereka lebih sering menjawab seretak. Ada beberapa siswa pria yang memanfaatkannya untuk berteriak sambil menjawab pertanyaan.
Melihat situasi yang mulai ribut, akhirnya guru mengelola kelas dengan menyuruh siswa agar mengangkat tangan jika hendak menjawab. Guru mengingatkan siswa agar tidak menjawab serampangan, kecuali siswa yang sudah ditunjuk langsung oleh guru. Situasi kembali hening. Selanjutnya guru bertanya tentang apa itu wawancara. Salah seorang yang ditunjuk oleh guru menjawab bahwa wawancara adalah pembicaraan yang dilakukan oleh dua orang di dalam televisi. Guru menawarkan pertanyaan sejenis kepada siswa yang lain tentang pengertian wawancara. Yang ditunjuk menjawab, “Wawancara adalah saling bertanya antara laki-laki dan perempuan untuk membicarakan sesuatu.” Guru memberikan penguatan kepada siswa tersebut tentang jawaban yang dikemukakan. Kembali guru melanjutkan, “Ada lagi yang lain?” Tidak ada seorang siswa pun yang berani berpendapat. Mereka ikut menyetujui terhadap dua jawaban rekannya tadi. Guru terus memotivasi siswa agar terus mengeluarkan gagasan. Reaksi siswa tetap nihil. Akhirnya guru melanjutkan pertanyaan, “Siapa yang bisa menyimpulkan pengertian berbicara sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh teman kalian tadi.” Salah seorang siswa memberanikan diri bahwa wawancara adalah kegiatan yang dilakukan oleh dua untuk membicarakan sesuatu. Guru mengatakan, “Bagus”. “Siapa yang memiliki pendapatan lain, atau yang ingin melengkapi jawaban teman kalian tadi?”, guru melanjutkan. Seorang siswa mengangkat tangan kemudian menjawab bahwa wawancara adalah pembicaraan yang dilakukan oleh dua orang tentang sesuatu, baik itu persoalan atau pun tentang prestasi yang diraih oleh seseorang. Guru terlihat puas mendengar jawaban salah seroang siswa tadi. Guru kembali bertanyan, “Siapakah dua orang yang melakukan wawancara tersebut?” Sebagian besar siswa menyahut, “Satu orang sebagai pewawancara, dan seorang lagi sebagai narasumber.” Bersamaan dengan jawaban tersebut ada juga siswa yang menjawab bahwa yang melakukan wawancara adalah manusia. Jawaban tersebut menghilang tanpa ada yang merespons.
Pertemuan pertama pada siklus II terlihat hampir semua siswa terlibat aktif dalam mengikuti pelajaran yang disampaikan. Selanjutnya, guru menggunakan metode permainan simulasi dalam proses pembelajaran dengan kompetensi dasar “Berwawancara dengan Narasumber.” Metode permainan simulasi mengalami sedikit pemodifikasian disesuaikan dengan tujuan dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Guru mengklasifikasikan siswa ke dalam beragam profesi (polisi, petani, pedagang, guru, dan sebagainya). Kemudian, siswa disuruh bermain peran sesuai dengan profesinya, tetapi masih dalam konteks berwawancara. Salah seorang siswa bertindak sebagai narasumber, sementara siswa yang lain bertindak sebagai pewawancara. Kegiatan ini berlangsung dalam kelompok masing-masing.
Siswa begitu antusias belajar dengan penerapan metode permainan simulasi. Pembicaraan mereka mengalir apa adanya ketika berperan, entah sebagai guru, polisi, pedagang, dan sebagainya. Keunikan siswa siswa seabgai individu tampak di sini. Hampir semunya kelihatan aktif dan kreatif bertanya maupun menjawab. Peneliti tertarik dengan wawancara yang dilakukan oleh siswa yang mendapatkan peran menjadi guru dan polisi. Ketika salah seorang siswa yang berperan sebagai pewawancara beranya kepada rekannya yang berperan sebagai guru, “Apa yang anda lakukan jika anda menjadi guru.” Ia menjawab dengan bangga, “Jika aku menjadi guru, aku akan membangun sekolah, dan membuat siswa menjadi pintar.” Sementara siswa yang mewawancarai rekannya yang berperan menjadi polisi bertanya, “Jika bertemu penjahat, apa yang anda lakukan!” Dia menjawab dengan lantang, “Saya akan mengikatnya dengan tali, kemudian membawanya ke penjara”. Peneliti melihat siswa all out memerankan seperti apa yang guru tawarkan. Aktivitas siswa semakin menunjukkan hasil yang signifikan dalam proses belajar-mengajar. Pada siklus II observasi I terlihat bahwa rata-rata aktivitas belajar siswa berada pada tataran 14,09. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas berbicara siswa berada pada kategori aktif. Skor ini tentu saja sudah memenuhi target penelitian. Guru dan peneliti pusat melihat aktivitas perkembangan siswa. Tidak terasa waktu bergulir mendekati pukul 08.30. Artinya, waktu pembelajaran akan segera berakhir. Guru segera mengakhiri pembelajaran, dan menyuruh siswa kembali kembali ke tempat duduk masing-masing.
Sebelum jam pelajaran berakhir, guru meminta siswa untuk menyimpulkan pelajaran. Banyak di antara siswa yang mengangkat tangan untuk menyimpulkan pelajaran. Terakhir, guru menyimpulkan pelajaran. Siswa serantak menuliskan simpulan yang dilontarkan oleh guru. Bel berdering, pelajaran pun berakhir.
Hari berikutnya peneliti melanjutkan siklus II pertemuan II. Peneliti melaksanakan pertemuan kedua pada hari Rabu, 24 Januari 2007. Pertemuan ini membahas tema kehidupan di laut, dengan kompetensi dasar mendeskripsikan benda atau alat. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit. Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar masih menerapkan metode permainan simulasi.

Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran masih menggunakan metode permainan simulasi yang telah dirancang. Guru menegaskan jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami agar menjelaskan semampunya. Siswa harus melayani dan membantu teman jika menuai kendala.
Aktvitas siswa sudah menunjukkan perubahan yang signifikan. Ketika guru memasuki ruangan kelas, siswa tidak lagi ribut dan bergerak ke sana ke mari untuk mencari anggota kelompoknya. Sebelum guru memasuki kelas, siswa sudah siap dalam kelompoknya masing-masing untuk menerima pelajaran. Guru membagikan media permainan simulasi kepada setiap kelompok. Siswa pun mulai bermain simulasi sesuai instruksi dari guru. Pembelajaran berjalan lancar dan efektif.
Pada saat pelaksanaan permainan simulasi, kemampuan berbicara dan kemampuan mengembangkan ide sudah memadai. Siswa tidak lagi acuh tak acuh dan peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh teman yang lain. Mereka terlihat menikmati bermain simulasi. Mereka tidak lagi membuat diskusi di atas diskusi. Permainan simulasi berlangsung selama sejam. Menjelang berakhirnya permainan simulasi, guru menyuruh siswa agar kembali ke bangku masing-masing.
Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa mengalami peningkatan pesat dibandingkan siklus sebelumnya. Hampir semua siswa aktif bertanya, berkomentar, maupun menanggapi. Semua indikator yang menjadi patokan dalam observasi menunjukkan keaktifan siswa di dalam proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada siklus II observasi ke II adalah sebesar 15,81. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa berada pada kategori aktif. Skor ini sekaligus menunjukkan bahwa target penelitan sudah tercapai
Sisa waktu sejam dimanfaatkan guru untuk mengevalusi perkembangan kemampuan berbicara siswa secara individual di depan kelas. Guru menawarkan topik mendeskripsikan tentang ruangan kelas, alat transportasi/permainan, dan mendeskripsikan teman. Tidak seperti siklus sebelumnya, siswa tidak lagi gugup dan takut jika dipanggil untuk berbicara di depan kelas. Mereka siap dengan apa yang hendak dibicarakan. Ketika siswa berbicara, guru berada di sebelah siswa untuk membantu siswa mengumpulkan informasi jika terjadi kemacematan dalam berbicara. Di samping itu, guru memberikan komentar jika terjadi kesalahan siswa, baik itu menyangkut kosakata, kewajaran urutan wacana, maupun gaya pengucapan. Data hasil belajar siswa dalam siklus II dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3: Data hasil belajar siswa siklus II
Nama
Siswa Aspek yang Dinilai Jumlah
Nilai Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
1 9 9 8 9 8 8 8 8,5 Baik sekali
2 10 9 8 9 8 8 9 8,8 Baik sekali
3 9 8 7 8 7 7 7 7,5 Baik
4 8 8 8 8 7 7 7 7,5 Baik
5 8 8 7 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
6 9 9 8 9 8 8 8 8,5 Baik sekal
7 9 9 8 9 9 8 8 8,6 Baik sekali
8 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
9 7 6 6 6 7 7 6 6,4 Cukup
10 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
11 10 10 10 10 10 10 9 9,8 Istimewa
12 10 10 10 10 10 10 9 9,8 Istimewa
13 9 9 9 9 8 8 8 8,8 Baik sekali
14 10 9 9 9 9 9 8 9,0 Baik sekali
15 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
16 8 7 4 6 6 6 5 6,0 Cukup
17 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
18 8 8 6 7 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
19 8 6 6 7 7 7 6 6,4 Cukup
20 9 8 7 8 7 7 7 7,5 Baik
21 8 8 8 9 8 7 8 8,0 Baik
22 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
Jumlah 191 183 166 178 189 168 160 173,9
Rata-rata = 7,90

Keterangan:

1 = Keberanian
2 = Keakuratan informasi
3 = Hubungan antar informasi
4 = Ketepatan struktur dan kosakata
5 = Kelancaran
6 = Kewajaran uratan wacana
7 = Gaya pengucapan

Rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 7,90, sementara ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa pada siklus II mencapai 86,3%. Skor ini sudah memenuhi tuntutan kurikulum yang menetapkan bahwa keberhasilan belajar-mengajar diukur dari hasil rata-rata kelas minimal 6,5, dan ketuntasan klasikal minimal 85%.
Adapun persentase hasil belajar siswa siklus II sesuai data hasil belajar tersebut adalah berikut ini.
Siswa yang memperoleh nilai istimewa sebanyak 2 orang (9,09%), yang mendapatkan nilai baik sekali sebanyak 6 orang (27,3%), yang mendapatkan nilai baik sebanyak 8 orang (36,3%), yang mendapatkan nilai lebih dari cukup sebanyak 3 orang (13,6%), dan yang memperoleh nilai cukup sebanyak 3 orang (13,6%). Secara klasikal, skor yang diperoleh siswa dominan berada pada ketegori baik.
Sementara kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa pada kriteria tes keterampilan berbicara berada pada rentangan cukup hingga baik. Adapun persentase kesalahan siswa dalam kriteria keterampilan berbicara adalah berikut ini.

Tabel 4.4: Persentase kesalahan siswa sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara siklus II
No Aspek yang Dinilai Persentase Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Keberanian
Keakuratan informasi
Hubungan antar informasi
Ketepatan struktur dan kosakata
Kelancaran
Kewajaran urutan wacana
Gaya pengucapan 86,81%
83,18%
75,45%
80,90%
85,90%
76,36%
72,72% Baik sekali
Baik
Baik
Baik
Baik sekali
Baik
Lebih dari cukup

Berdasarkan persentase hasil kriteria penilaian keterampilan berbicara siswa di atas, hasil belajar siswa dominan berada pada kategori baik, kecuali gaya pengucapan siswa yang masih berada pada kategori lebih dari cukup, yakni (72,72). Sementara keberanian (86,81%), dan kelancaran (85,90%) berada pada kategori baik sekali. Secara umum, keberhasilan belajar siswa berada pada kategori baik.
Di bawah ini akan disajikan perbandingan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II.

Tabel 4.5: Perbandingan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II
JENIS DATA SIKLUS I SIKLUS II
Skor aktivitas belajar siswa 13,5
(Cukup Aktif)
15,81
(Aktif)
Skor rata-rata hasil belajar 6,85 7,90
Ketuntasan klasikal 72,7%
(Belum Tuntas)
90,9%
(Tuntas)

Berdasarkan perbandingan hasil analisis data terhadap hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II dapat diketahui bahwa persentase banyaknya siswa yang mengalami peningkatan hasil belajar adalah 90,9%, yang mengalami penurunan hasil belajar 0%, sementara yang prestasi belajarnya tetap adalah 9,09%. Ini berarti, dengan menerapkan metode pembelajaran pemainan simulasi, maka akivitas belajar maupun hasil belajar siswa dalam keterampilan berbicara meningkat.
Angket respons siswa diberikan pada akhir sikus II setelah pelaksanaan tindakan. Data respons siswa mengenai pembelajaran yang diterapkan, yaitu model pembelajaran permainan simulasi disajikan pada lampiran 17. Berdasarkan skor siswa pada lampiran tersebut, maka rata-rata respons siswa adalah 25. Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, maka skor tersebut menunjukkan bahwa secara klasikal siswa setuju terhadap pembelajaran permainan simulasi. Siswa merasa senang mengikuti pembelajaran permainan simulasi, karena metode ini memungkinkan siswa belajar sambil bermain.

4.1.5 Refleksi Siklus II
Berdasarkan data yang terkumpul melalui observasi, tes, dan angket pada akhir tindakan, terlihat peningkatan aktivitas belajar, hasil belajar, dan respons siswa terhadap penerapan metode permainan simulasi. Pada siklus I diperoleh rata-rata aktivitas belajar siswa aalah 13,5 mengalami peningkatan sebesar 15,81 pada siklus II. Dengan kata lain, aktivitas belajar siswa yang semula berkategori cukup aktif menjadi aktif. Begitu pula dengan raa-rata hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 6,85 mengalami peningkatan sebesar 7.90 pada siklus II. Dengan kata lain, ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa pada siklus I sebesar 72,7% belum memenuhi target kurikulum, kemudian mengalami peningkatan sebesar 86,3% sudah memenuhi target kurikulum. Sementara respons siswa berada pada kategori setuju. Berdasarkan data tersebut terbukti bahwa penerapan metode simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan hail belajar siswa. Adanya peningkatan tersebut, maka siklus selanjutnya tidak perlu dilaksanakan lagi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran permainan simulasi, guru terlihat sangat senang dalam melaksanakannya. Secara tidak langsung, penerapan model pembelajaran permainan simulasi memberikan masukan terhadap model pembelajaran yang sudah dilaksanakan guru sebelumnya, sehingga dapat dijadikan pilihan dalam melaksanakan pembelajaran pada materi lain yang relevan.
Penerapan model pembelajaran permainan simulasi ternyata menghasilkan beberapa keuntungan, di antaranya dideskripsikan berikut ini.
 Metode simulasi dapat digunakan untuk semua tema, dan dapat dimulai dari tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar, karena metode ini bersifat fleksibel. Menurut Adi (dalam Somantri, 2002:60) bahwa metode simulasi sifatnya non-formal, sehingga penentuan materi pembelajaran bisa bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku.
 Meningkatkan rasa keakraban di antara siswa sehingga tumbuh rasa persatuan di antara mereka.
 Membuat suasana kelas terlihat lebih hidup, dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
 Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran. Dalam permainan ini, guru hanya sebagai fasilitator dan pengarah. Siswa berperan dan berekspresi sendiri.
 Siswa bebas berbicara apa adanya dan berekspresi sesuai keinginannya.
 Tumbuhnya motivasi siswa dalam belajar, karena model pembelajaran permainan simulasi memungkinkan mereka seolah-olah sedang bermain.
Walaupun penelitian ini dikatakan berhasil dan banyak keuntungannya, yaitu meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa, namun selama berlangsungnya penelitian ini juga dirasakan adanya kelemahan. Kelemahan metode ini antara lain: (1) Membuat kelas menjadi ramai, sehingga kadang-kadang sulit membedakan apakah keramaian itu memberikan suatu proses pembelajaran atau tidak; (2) Memerlukan pengawasan yang lebih daripada proses pembelajaran biasa; dan (3) Metode ini menyita waktu dan membutuhkan adaptasi siswa. Tersitanya waktu disebabkan oleh proses menjelaskan alur permainan, sementara adaptasi siswa dibutuhkan karena metode ini tergolong asing bagi siswa maupun guru. Hal tersebut menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Namun, seiring dengan pelaksanaan metode dari siklus ke siklus, kendala tersebut dapat diatasi.

4.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hughes dalam Sudono (1995) bahwa bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif. Belajar sambil bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, berekspresi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Belajar sambil bermain memberikan peluang kepada siswa untuk terlibat aktif secara fisik maupun mental. Peluang ini memberikan kontribusi pada tumbuhnya motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Konsekuensi logisnya sudah tentu dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Somantri (2002:50) juga menegaskan bahwa dalam pembelajaran dengan menggunakan metode permainan simulasi terjadi perubahan sikap pada diri siswa. Perubahan sikap ini khususnya terletak pada tumbuhnya motivasi siswa. Di samping itu, siswa belajar keterampilan emosional. Siswa berlatih untuk menahan diri, belajar bersabar mendengarkan pendapat orang lain, tidak mudah menyalahkan orang lain, dan bekerja sama dengan orang lain untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Hal tersebut sangat mendukung siswa mengembangkan kecerdasan emosional yang juga penting selain kecerdasan kognitif (Goleman, 2000:397-406).
Salah satu langkah dalam penerapan pembelajaran yang memberikan kontribusi terhadap hasil penelitian adalah pembentukan kelompok kecil sebagai wadah berdiskusi. Seorang dosen Akaba 17 Semarang, Suwandi, mengatakan bahwa siswa yang pasif dapat dibantu dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Diskusi kelompok kecil memudahkan guru mengetahui siswa mana yang aktif berbicara, dan siswa mana yang pasif. Diskusi kelompok kecil dilakukanoleh siswa dengan pengawasan dan bimbingan guru. Jika setiap kelompok memiliki seorang pembicara yang aktif, ia tentu akan mnengajak anggota lain dalam kelompoknya turut aktif dalam berbicara atau percakapan. Pengelompokkan merupakan cara yang efektif, dengan memilih pengatur yang dianggap lebih mampu dalam kelompoknya yang akan mendorong mereka untuk berbicara. Diskusi kelompok kecil diprediksikan akan membuat suasana kelas menjadi ramai (Tillit dan Bruder, dalam Somantri, 2002:76). Secara tidak langsung, keramaian tersebut memancing siswa untuk berbicara walaupun terlepas dari konteks atau topik yang dibicarakan. Kesuksesan permainan simulasi terletak pada pundak pengatur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas belajar dan hasil belajar siswa meningkat dengan menerapkan metode permainan simulasi. Siswa merespons setuju dan senang terhadap pembelajaran dengan menerapkan metode permainan simulasi. Pembelajaran ini berpusat pada siswa (student oriented). Siswa dalam proses pembelajaran berpeluang untuk aktif, baik secara fisik maupun mental. Melalui peluang ini, siswa merasa mendapatkan perlakuan istimewa sebagai sosok pelajar. Hal inilah yang membawa konsekuensi logis tumbuhnya keaktifan, meningkatnya hasil belajar, rasa senang, dan respons setuju terhadap pembelajaran. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soemantri (2002:82) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa penggunaan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan skor hasil belajar, aktivitas belajar, pemahaman terhadap konsep atau materi, dan perubahan sikap ke arah yang positif.
Yang menarik dalam metode permainan simulasi, bahwa metode ini mampu menghilangkan rasa nervous (gugup), dan membangkitkan keberanian terhadap siswa yang rendah rasa percaya dirinya. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang langsung secara teoretis, produktif, dan ekspresif. Apabila itu dirangsang oleh seorang guru, bagi siswa tertentu barangkali malah menghambat kelancaran berbicaranya. Lain halnya apabila stimulus tersebut diberikan oleh teman sebaya. Stimulus yang diberikan oleh teman sebaya juga mengembangkan kemampuan menyimak yang sifatnya juga langsung, apresiatif, reseptif, dan fisikal. Tidak semua stimulus yang bersumber dari teman sebaya dapat menghilangkan rasa gugup. Untuk itu diperlukan bantuan berupa alat peraga. Berbicara dengan bantuan alat peraga diyakini akan menghasilkan tangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak (Tarigan, 1983:5).

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari penelitian tersebut adalah berikut ini.
a) Penerapan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini terlihat dari skor aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi diterapkan. Siklus I rata-rata skor aktivitas belajar siswa sebesar 13,5 meningkat menjadi 15,81 pada siklus II. Pada siklus I aktivitas belajar siswa masih tergolong cukup aktif. Sementara pada siklus II aktivitas belajar siswa meningkat dengan kategori aktif.
b) Penerapan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini terbukti dari skor hasil belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi diterapkan. Siklus I rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 6,85 meningkat menjadi 7,90 pada siklus II. Dari siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 15,32%. Ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar 72,7% (belum memenuhi tuntutan kurikulum) meningkat menjadi 90,9% pada siklus II. Pada siklus II ini ketuntasan belajar klasikal yang dicapai sudah memenuhi tuntutan kurikulum.
c) Respons siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja terhadap penerapan metode pembelajaran permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara mencapai skor 25. Angka ini mengindikasikan bahwa secara klasikal siswa setuju terhadap metode pembelajaran yang diterapkan peneliti.

5.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan oleh peneliti adalah berikut ini.
a) Diharapkan kepada guru bahasa Indonesia agar menerapkan model pembelajaran permainan simulasi sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan rancangan tindakan yang telah dipaparkan dan dilaksanakan oleh peneliti.
b) Penerapan metode permainan simulasi sudah terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Diharapkan kepada peneliti lain agar mengadakan penelitian lebih lanjut tentang metode pembelajaran permainan simulasi bidang atau keterampilan yang lain.
c) Penerapan metode permainan simulasi dalam penelitian ini masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Diharapkan kepada peneliti lain agar penelitian dilanjutkan pada tingkat yang lebih tinggi, seperti SMP dan SMA. Merujuk pada pernyataan Kindsvatter bahwa permainan simulasi cocok diterapkan pada semua tingkatan, dari taman kanak-kanak hingga pada tingkatan yang lebih tinggi.
d) Pemanfaatan media dan teman sebaya dalam pembelajaran sudah terbukti mampu meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Diharapkan kepada guru agar memanfaatkan alat peraga dan teman sebaya dalam proses belajar-mengajar terutama dalam pembelajaran berbicara. Berbicara dengan bantuan alat peraga akan menghasilkan penangkapan informasi yang baik pada pihak penyimak. Sementara stimulus yang diberikan oleh teman sebaya dapat membangkitkan motivasi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A.A.Gede. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Singaraja. STKIP Singaraja

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang. YA3.

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bukian, Putu Ardana. 2004. Metode Pengajaran Berbicara di Kelas VI Sekolah Dasar No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Skripsi. (Tidak diterabitkan). Singaraja: IKIP Negeri Singaraja

Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK, dan SLB.

——-. 1994a. Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP Kelas I SD. Jakarta: Dirjendikdasmen

Diknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas

——-. 2004. Kurikulum 2004, Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas

——-. 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD dan MI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Furqanal. Dkk. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Goleman, Daniel. 2000. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hadiatmadja, Musman. 1982. Analisa Transaksional dalam Proses Belajar Mengajar dalam Kumpulan Pikiran-pikiran dalam Pendidikan. Jakarta: Rajawali.
Hasibuan dan Moedjiono. 1993. Proses Belajar-Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Karolina, Yoca. 2001. Strategi Guru dalam Mengajarkan Keterampilan Berbicara pada Siswa SLTP di Singaraja. Skripsi. (Tidak diterbitkan). IKIP N Singaraja.

Kemmis, Stephen dan Rubin Mc. Tanggart. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University.

Kindvatter, Richard et.al. 1996. Dynamics of Effective Teaching, Third Edition. New York. Longman Publisher.

Mas’ud, Lalu. 2005. Penerapan Pendekatan Komunikatif-Integratif dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara II Suatu Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara. (Mahasiswa Semester II Program Studi PBSID STKIP Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2003/2004). Thesis. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja. Program Pasca Sarjana.

Parera, J.D. 1996. Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Tindakan. Surabaya: SIC

Slamet. 2003. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada Uji Coba di SMU Negeri 4 Denpasar. Thesis. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja. Program Pasca Sarjana.

Somantri, Nurdin. 2003. Penerapan Metode Simulasi Tematis untuk Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Siswa. http://www.Pendidikan.Com.

Subana, M dan Sunarti tt. Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Subariyati, Ary. 1997. Pemantapan Konsep Prasyarat Setiap Pokok Bahasa dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Kalkulus sebagai Mata Kuliah Program Bersama (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika). Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Singaraja. STKIP Singaraja.

Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan (untuk Pendidikan Usia Dini). Jakarta: Grasindo

Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendekia

Sukmadewi, I.G.A.N. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Permainan Simulasi pada Pokok Bahasan Aritmatika Sosial sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar dan Aktivitas Siswa Kelas IC SLTPN 1 Rendang. Skripsi. (Tidak diterbitkan) Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Suparno, Paul. 2002. Kumpulan Artikel Pendidikan. http://www.Pendidikan.Com

Suryantini, Ni Wayan Sri. 2004. Penggunaan Metode Demonstrasi Langsung untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Puisi pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.4 Singaraja. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja.

Tarigan. Djago. 1991. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Buku Modul. Jakarta: Depdikbud.

Tarigan, Hendry Guntur. 1983. Berbicara sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tim BP-7 Pusat. 1985 Petunjuk Pelaksanaan Permainan Simulasi P-4 untuk Perguruan Tinggi. Jakarta

Trisuyoto, Imanuel. 2003. Melatih Siswa SD Terampil Berbicara. Fasilitator, Edisi V (hlm. 32-33).

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.





HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI DI KELAS XI IPS SMA NEGERI 2 SINGARAJA

28 10 2009

Oleh : Arifuddin

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Peningkatan kualitas sumber daya manusia sudah merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia apalagi pada era globalisasi yang menuntut kesiapan setiap bangsa untuk bersaing secara bebas. Pada era globalisasi hanya bangsa-bangsa yang berkualitas tinggi yang mampu bersaing atau berkompetisi di pasar bebas. Dalam hubungannya dengan budaya kompetisi tersebut, bidang pendidikan memegang peranan yang sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu wahana untuk menciptakan kualitas sumber daya manusia, oleh karena itu sudah semestinya kalau pembangunan sektor pendidikan menjadi prioritas utama yang harus dilakukan pemerintah.

Inovasi dan upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Berbagai inovasi dan program pendidikan juga telah dilaksanakan, antara lain penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui pelatihan dan peningkatan kualitas pendidikan mereka, peningkatan manajemen pendidikan dan pengadaan fasilitas lainnya. Semuanya itu belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Di samping itu juga banyak pendekatan pembangunan dalam pendidikan hanya memfokuskan pada masalah kuantitas, sehingga usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa cenderung dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan pembelajaran yang terbatas pada perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan kualitas. Implikasi dari kebijakan tersebut, walaupun sekarang ini telah dilancarkan pengembangan pendidikan yang menyangkut kualitas, produktivitas dan relevansi, namun masalah pendidikan terus berkembang makin rumit.

Salah satu indikator pendidikan berkualitas adalah perolehan hasil belajar yang maksimal oleh siswa, baik itu hasil belajar dalam bentuk kognitif, afektif maupun psikomotor. Hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kegiatan proses belajar mengajar yang didalamnya terdapat beberap faktor yang merupakan penentu lancar atau tidaknya kegiatan proses belajar mengajar. Faktor-faktor itu antara lain :

  1. Instrumen Input yaitu ; kurikulum, perpustakaan, guru dan sebagainya.
  2. Raw input yaitu ; siswa, motivasi, cara belajar dan sebagainya.
  3. Environmental input yaitu ; lingkungan fisik dan sosial budaya.

(Subagia dan Sudiana, 2002).6t

Dari ketiga faktor utama yang mempengaruhi lancar tidaknya proses pembelajaran tersebut di atas, dalam penelitian ini difokuskan pada usaha siswa meningkatkan motivasi belajarnya untuk mendapatkan prestasi belajar yang baik dan memuaskan yang sekaligus akan berpengaruh pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1991 dalam (http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/27) pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan tersebut diperoleh secara formal yang berakibat individu mempunyai pola pikir dan perilaku sesuai dengan pendidikan yang telah diperolehnya.

Sedangkan menurut Mortimer J. Adler dalam (http://sobatbaru.blogspot.com/2008/08/) “Pendidikan adalah dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistic dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu kebiasaan yang baik”

Dari kedua pendapat di atas, maka sudah jelas terlihat bahwa hanya dengan proses pendidikan yang baik, akan melahirkan manusia-manusia yang berkualitas yang sangat berguna bagi keberhasilan pembangunan. John C. Bock (dalam Zamroni, 2000 : 2), mengidentifikasi peranan pendidikan sebagai berikut : (a) memasyarakatkan idiologi dan nilai-nilai sosio kultural bangsa, (b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial dan (c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3, dirumuskan bahwa pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berorientasi pada fungsi dan tujuan pendidikan Nasional tersebut, maka sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan (formal), mempunyai misi dan tugas yang cukup berat. Selanjutnya dikatakan bahwa sekolah berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam arti menumbuhkan, memotivasi dan mengembangkan nilai-nilai budaya yang mencakup etika, logika, estetika, dan praktika, sehingga tercipta manusia yang utuh dan berakar pada budaya bangsa (Sumidjo, 1999 : 71).

Tercapainya tujuan pendidikan tadi, akan ditentukan oleh berbagai unsur yang menunjangnya. Makmun (1996 : 3-4) menyatakan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam Proses Belajar Mengajar (PBM) yaitu :”(1) Siswa, dengan segala karakteristiknya yang berusaha untuk mengembangkan dirinya seoptimal mungkin melalui kegiatan belajar, (2) tujuan, ialah sesuatu yang diharapkan setelah adanya kegiatan belajar mengajar, (3) guru, selalu mengusahakan terciptanya situasi yang tepat (mengajar) sehingga memungkinkan bagi terjadinya proses belajar.”

Dari pendapat tersebut tersirat bahwa dalam meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari peran guru sebagai pihak yang mengajar dan membimbing siswa. Hal ini mengimplikasikan bahwa Proses Belajar Mengajar (PBM) merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa yang didasari oleh hubungan yang bersifat mendidik dalam rangka pencapaian tujuan (Surakhmad, 1994 : 52).

Dalam proses belajar mengajar, motivasi merupakan salah satu faktor yang diduga besar pengaruhnya terhadap hasil belajar. Siswa yang motivasinya tinggi diduga akan memperoleh hasil belajar yang baik. Pentingnya motivasi belajar siswa terbentuk antara lain agar terjadi perubahan belajar ke arah yang lebih positif. Pandangan ini sesuai dengan Pendapat Hawley (Prayitno, 1989:3) : “Siswa yang termotivasi dengan baik dalam belajar melakukan kegiatan lebih banyak dan lebih cepat, dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam belajar. Prestasi yang diraih akan lebih baik apabila mempunyai motivasi yang tinggi.”

Begitu pula halnya bila kita lihat dalam proses belajar mengajar geografi. Siswa yang memiliki motivasi yang tinggi dalam mempelajari geografi  akan melakukan kegiatan lebih cepat dibandingkan dengan siswa yang kurang termotivasi dalam mempelajari geografi. Siswa yang yang memiliki motivasi yang tinggi dalam mempelajari geografi maka prestasi yang diraih juga akan lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut menjadi landasan bagi penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul” Hubungan Antara Motivasi dengan Prestasi Belajar Geografi Siswa Studi Kasus Pada Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja.”

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan  latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1.1.1        Seberapa besarkah motivasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja?

1.1.2        Seberapa besarkah tingkat prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja?

1.1.3        Apakah terdapat hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi di Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Singaraja?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1.      Untuk mengetahui besarnya motivasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja .

1.3.2.      Untuk mengetahui tingkat prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja.

1.3.3.      Untuk mengetahui hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi di Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Singaraja.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1.4.1        Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan yang positif bagi pelaksanaan proses pembelajaran, dikaitkan dengan hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa di SMA.

1.4.2        Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti sendiri guna meningkatkan profesionalisme di bidang penelitian dan pengajaran.

1.4.3        Hasil penelitian ini berguna untuk memenuhi tugas dan persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Motivasi Belajar Siswa

2.1.1.1 Pengertian Motivasi Belajar Siswa

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan. Untuk memahami tentang motivasi, kita akan bertemu dengan beberapa teori tentang motivasi, antara lain : (1) Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan); (2) Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi); (3) Teori Clyton Alderfer (Teori ERG); (4) teori Herzberg (Teori Dua Faktor); (5) teori Keadilan; (6) Teori penetapan tujuan; (7) Teori Victor H. Vroom (teori Harapan); (8) teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku; dan (9) Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi. (Sondang P. Siagian, 286-294; Indriyo Gitosudarmo dan Agus Mulyono,183-190, Fred Luthan,140-167). Diambil dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/06/teori-teori-motivasi/

1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)

Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.

Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat psikologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.

Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.

Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa : (a) Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang; (b) Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. (c) Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.

Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.

2.  Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)

Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi, mencapai performa puncak untuk diri sendiri, mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain, serta meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”

Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu : (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.

3. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG)

Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu : E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan). Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa : (a) Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya; (b) Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan; (c) Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.

Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia, artinya karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan salah satunya memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.

4. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)

Ilmuwan ketiga yang diakui telah memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi ialah Herzberg. Teori yang dikembangkannya dikenal dengan “ Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang.

Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan sekerjanya. Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat ekstrinsik.

5. Teori Keadilan

Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima, artinya apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu : (a) Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau (b) Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu : (a) Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya; (b) Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri; (c) Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis; (d) Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai.

Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.

6. Teori penetapan tujuan (goal setting theory)

Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni : (a) tujuan-tujuan mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan.

7. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Hal ini bermaksud apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.

8. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku

Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut. Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi eksternal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.

Dalam hal ini berlakulah apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.

Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru ketik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru ketik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru ketik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.

Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagai konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.

9. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.

Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu .

Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah : (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah : (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.

Istilah ”motif” dan ”motivasi” keduanya sukar dibedakan secara tegas. Dijelaskan bahwa motif menunjukan suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi adalah ”pendorongan” suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. (Purwanto, 2002: 71).

Berdasarkan hal tersebut di atas motivasi dapat diartikan sebagai sesuatu dorongan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu (tujuan) yang terdiri dari faktor internal seperti: (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja; (g) prestasi kerja yang dihasilkan.

Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain: (a) jenis dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c) organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya. Diambil dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/06/teori-teori-motivasi/

2.1.1.2 Fungsi Motivasi

Motivasi mempunyai fungsi yang penting dalam belajar, karena motivasi akan menentukan intensitas usaha belajar yang dilakukan siswa. Hawley (Yusuf 1993 : 14) menyatakan bahwa para siswa yang memiliki motivasi tinggi, belajarnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang motivasi belajarnya rendah. Hal ini dapat dipahami, karena siswa yang memiliki  motivasi belajar tinggi akan tekun dalam belajar dan terus belajar secara kontinyu tanpa mengenal putus asa serta dapat mengesampingkan hal-hal yang dapat  mengganggu kegiatan belajar yang dilakukannya.

Sardiman (1988 : 84) mengemukakan ada tiga fungsi motivasi, yaitu :

  1. Mendorong manusia untuk berbuat. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
  2. Menuntun arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai, dengan demikian motivasi dapat memberi arah, dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
  3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Syaodih (dalam Riduwan, 2005 : 200) menyatakan fungsi dari motivasi adalah:

  1. Mendorong anak dalam melaksanakan sesuatu aktivitas dan tindakan
  2. Dapat menentukan arah perbuatan seseorang
  3. Motivasi berfungsi dalam menyeleksi jenis-jenis perbuatan dan aktivitas seseorang.

Prayitno (dalam Sardiman, 1988) mengatakan bahwa fungsi dari motivasi dalam Proses Belajar Mengajar adalah :

  1. Menyediakan kondisi yang optimal bagi terjadinya belajar.
  2. Menguatkan semangat belajar siswa.
  3. Menimbulkan atau menggugah minat siswa agar mau belajar.
  4. Mengikat perhatian siswa agar mau dan menemukan serta memilih jalan/ tingkah laku yang sesuai untuk mencapai tujuan belajar maupun tujuan hidup jangka panjang.

Hamalik (2000 : 175) menyatakan fungsi motivasi adalah :

  1. Mendorong timbulnya kelakuan atau suatu perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul perbuatan seperti belajar.
  2. Sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan kepada pencapaian tujuan yang diinginkan.
  3. Sebagai pengerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Kuat lemahnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan seseorang.

Aspek motivasi dalam keseluruhan proses belajar mengajar sangat penting, karena motivasi dapat mendorong siswa untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu yang berhubungan dengan kegiatan belajar. Motivasi dapat memberikan semangat kepada siswa dalam kegiatan-kegiatan belajarnya dan memberi petunjuk atas perbuatan yang dilakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka harus dilakukan suatu upaya agar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi. Dengan demikian siswa yang bersangkutan dapat mencapai hasil belajar yang optimal.

2.1.1.3 Peranan Motivasi dalam Belajar

Motivasi adalah dorongan yang menyebabkan terjadinya suatu perbuatan atau tindakan. Perbuatan belajar pada siswa terjadi karena adanya motivasi untuk melakukan perbuatan belajar. Motivasi dipandang berperan dalam belajar karena motivasi mengandung nilai-nilai sebagai berikut :

  1. Motivasi menentukan tingkat berhasil atau kegagalan perbuatan belajar siswa. Belajar tanpa motivasi kiranya sulit untuk berhasil.
  2. Pengajaran yang bermotivasi pada hakikatnya adalah pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, dorongan, motif, minat yang dimiliki oleh siswa.
  3. Pengajaran yang bermotivasi membentuk aktivitas dan imaginitas pada guru untuk berusaha secara sungguh-sungguh mencari cara-cara yang sesuai dan serasi guna membangkitkan dan memelihara motivasi belajar siswa. Guru senantiasa berusaha agar siswa-siswa pada akhirnya memiliki (self motivation) yang baik.
  4. Berhasil atau tidak berhasilnya dalam membangkitkan penggunaan motivasi dalam pengajaran sangat erat hubungan dengan aturan disiplin dalam kelas. Ketidakberhasilan dalam hal ini mengakibatkan timbulnya masalah disiplin dalam kelas.
  5. Azas motivasi menjadi salah satu bagian yang integral dari asas-asas mengajar. Penggunaan motivasi dalam mengajar bukan saja melengkapi prosedur mengajar, tetapi juga menjadi faktor yang menentukan pengajaran yang efektif. Demikian pengajaran yang berasaskan motivasi adalah sangat penting dalam proses belajar dan mengajar.(http://pakdesofa.blog2.plasa.com/archives/50)

Siswa dalam belajar hendaknya merasakan adanya kebutuhan psikologis yang normatif. Siswa yang termotivasi dalam belajarnya dapat dilihat dari karakteristik tingkah laku yang menyangkut minat, ketajaman, perhatian, konsentrasi, dan ketekunan. Siswa yang memiliki motivasi rendah dalam belajarnya menampakkan keengganan, cepat bosan, dan berusaha menghindar dari kegiatan belajar. Disimpulkan bahwa motivasi menentukan tingkat berrhasil tidaknya kegiatan belajar siswa. Motivasi menjadi salah satu faktor yang menentukan belajar yang efektif.

2.1.1.4 Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa

Mengingat demikian pentingnya peranan motivasi bagi siswa dalam belajar, maka guru diharapkan dapat membangkitkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa-siswanya. Agar siswa dapat mencapai hasil belajar yang optimal, maka siswa harus memiliki motivasi belajar yang tinggi, namun pada kenyataannya tidak semua siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi dalam belajar. Di sekolah tidak sedikit siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Untuk membantu siswa yang memiliki motivasi belajar rendah perlu dilakukan suatu upaya dari guru agar siswa yang bersangkutan untuk dapat meningkatkan motivasi belajarnya.

Dalam rangka mengupayakan agar motivasi belajar siswa tinggi, seorang guru menurut Winkel (1991 ) hendaknya selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

(1)         Seorang guru hendaknya mampu mengoptimalisasikan penerapan prinsip belajar. Guru pada prinsipnya harus memandang bahwa dengan kehadiran siswa di kelas merupakan suatu motivasi belajar yang datang dari siswa. Sehingga dengan adanya prinsip seperti itu, ia akan menganggap siswa sebagai seorang yang harus dihormati dan dihargai. Dengan perlakuan semacam itu, siswa tentunya akan mampu memberi makna terhadap pelajaran yang dihadapinya;

(2)         Guru hendaknya mampu mengoptimalisasikan unsur-unsur dinamis dalam pembelajaran. Dalam proses belajar, seorang siswa terkadang dapat terhambat oleh adanya berbagai permasalahan. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kelelahan jasmani ataupun mental siswa.  Untuk itu upaya yang dapat dilakukan  seorang guru (Dimyati, 1994 : 95) adalah dengan cara ;

  1. memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan hambatan belajar yang di alaminya.
  2. meminta kesempatan kepada orang tua siswa agar memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktualisasi diri dalam belajar.
  3. memanfaatkan unsur-unsur lingkungan yang mendorong belajar.
  4. menggunakan waktu secara tertib, penguat dan suasana gembira terpusat pada perilaku belajar. Pada tingkat ini guru memperlakukan upaya belajar merupakan aktualisasi diri siswa.
  5. merangsang siswa dengan penguat memberi rasa percaya diri bahwa ia dapat mengatasi segala hambatan dan pasti berhasil.

(3)         Guru mengoptimalisasikan pemanfataan pengalaman dan kemampuan siswa. Perilaku belajar yang ditunjukkan siswa merupakan suatu rangkaian perilaku yang ditunjukkan pada kesehariannya. Untuk itu, maka pengalaman yang diberikan oleh guru terhadap siswa dalam meningkatkan motivasi belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (1994) adalah dengan cara ;

  1. siswa ditugasi membaca bahan belajar sebelumnya, tiap membaca hal-hal penting dari bahan tersebut dicatat.
  2. guru memecahkan hal yang sukar bagi siswa dengan cara memecahkannya.
  3. guru mengajarkan cara memecahkan dan mendidik keberanian kepada siswa dalam mengatasi kesukaran.
  4. guru mengajak serta siswa mengalami dan mengatasi kesukaran.
  5. guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mampu memecahkan masalah dan mungkin akan membantu rekannya yang mengalami kesulitan.
  6. guru memberi penguatan kepada siswa yang berhasil mengatasi kesulitan belajarnya sendiri.
  7. guru menghargai pengalaman dan kemampuan siswa agar belajar secara mandiri.

Yusuf (1992 : 25) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan motivasi siswa, guru mempunyai peranan sebagai berikut :

  1. Menciptakan lingkungan belajar yang merangsang anak untuk belajar.
  2. Memberi reinforcement bagi tingkah laku yang menunjukkan motif.
  3. Menciptakan lingkungan kelas yang dapat mengembangkan curiosity dan kegemaran siswa belajar.

Dengan adanya perlakuan semacam itu dari guru diharapkan siswa mampu membangkitkan motivasi belajarnya dan tentunya harapan yang paling utama adalah siswa mendapatkan hasil belajar yang optimal sesuai dengan kemampuannya. Tentunya untuk mencapai prestasi belajar tersebut tidak akan terlepas dari upaya yang dilakukan oleh guru dalam memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar dapat meningkatkan motivasi belajarnya.

2.1.2 Prestasi Belajar SMA

2.1.2.1 Hakekat Belajar

Belajar menurut Slameto dalam (http://www.infoskripsi.com) secara psikologis adalah ”Suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya atau belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan sesorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan  lingkungannya”.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu yang diperoleh melalui latihan dan pengalaman. Jadi belajar itu ditunjukan oleh adanya perubahan tingkah laku atau penampilan, setelah melaui proses membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan mengalami langsung.

2.1.2.2 Hakikat Pretasi Belajar

Pengertian belajar dari Cronbach (dalam Djamarah, 2000:12) mengemukakan bahwa learning is shown by change in behaviour as a result of experience (belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman). Sementara menurut Wittig (dalam Syah, 2003 : 65-66), belajar sebagai any relatively permanen change in an organism behavioral repertoire that accurs as a result of experience (belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/ keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman).

Belajar lebih ditekankan pada proses kegiatannya dan proses belajar lebih ditekankan pada hasil belajar yang dicapai oleh subjek belajar atau siswa. Hasil belajar dari kegiatan belajar disebut juga dengan prestasi belajar. Hasil atau prestasi belajar subjek belajar atau peserta didik dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui sejauh mana peserta didik dapat menguasai bahan pelajaran yang sudah dipelajari. Menurut Woodworth dan Marquis (dalam Sri, 2004 : 43) prestasi belajar adalah suatu kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan tes.

Dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar merupakan kemampuan aktual yang dapat diukur dan berwujud penguasaan ilmu pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang dicapai oleh siswa sebagai hasil dari proses belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai siswa dari perbuatan dan usaha belajar dan merupakan ukuran sejauh mana siswa telah menguasai bahan yang dipelajari atau diajarkan.

2.1.2.3 Prestasi Belajar

Menurut Djalal (1986: 4) bahwa “prestasi belajar siswa adalah gambaran kemampuan siswa yang diperoleh dari hasil penilaian proses belajar siswa dalam mencapai tujuan pengajaran”. Sedangkan menurut Kamus bahasa Indonesia Millenium (2002: 444) ”prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai atau dikerjakan”. Prestasi belajar menurut Hamalik (1994: 45) adalah prestasi belajar yang berupa adanya perubahan sikap dan tingkah laku setelah menerima pelajaran atau setelah mempelajari sesuatu. Ada banyak pengertian tentang prestasi belajar. Berdasarkan pengertian di atas maka yang dimaksudkan dengan prestasi belajar adalah hasil belajar/ nilai pelajaran sekolah  yang dicapai oleh siswa berdasarkan kemampuannya/usahanya dalam belajar.

Prestasi belajar merupakan hasil yang telah dicapai dari suatu proses belajar yang telah dilakukan, sehingga untuk mengetahui sesuatu pekerjaan berhasil atau tidak diperlukan suatu pengukuran. “Pengukuran adalah proses penentuan luas/kuantitas sesuatu” (Nurkancana, 1986: 2). Dalam kegiatan pengukuran hasil belajar, siswa dihadapkan pada tugas, pertanyaan atau persoalan yang harus dipecahkan/dijawab. Hasil pengukuran tersebut masih berupa skor mentah yang belum dapat memberikan informasi kemampuan siswa. Agar dapat memberikan informasi yang diharapkan tentang kemampuan siswa maka diadakan penilaian terhadap keseluruhan proses belajar mengajar sehingga akan memperlihatkan banyak hal yang dicapai selama proses belajar mengajar. Misalnya pencapaian aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Prestasi belajar menurut Bloom meliputi 3 aspek yaitu ”kognitif, afektif dan psikomotorik”. Dalam penelitian ini yang ditinjau adalah aspek kognitif yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, dan penerapan.

Prestasi belajar ditunjukkan dengan skor atau angka yang menunjukkan nilai-nilai dari sejumlah mata pelajaran yang menggambarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa, serta untuk dapat memperoleh nilai digunakan tes terhadap mata pelajaran terlebih dahulu. Hasil tes inilah yang menunjukkan keadaan tinggi rendahnya prestasi yang dicapai oleh siswa.

Prestasi belajar sebagai hasil dari proses belajar siswa biasanya pada setiap akhir semester atau akhir tahun ajaran yang disajikan dalam buku laporan prestasi belajar siswa atau raport. Raport merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau prestasi belajar (Suryabrata, 1984). Prestasi belajar mempunyai arti dan manfaat yang sangat penting bagi anak didik, pendidik, wali murid dan sekolah, karena nilai atau angka yang diberikan merupakan manifestasi dari prestasi belajar siswa dan berguna dalam pengambilan keputusan atau kebijakan terhadap siswa yang bersangkutan maupun sekolah. Prestasi belajar merupakan kemampuan siswa yang dapat diukur, berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dicapai siswa dalam kegiatan belajar mengajar.

Benyamin S. Bloom (dalam Nurman, 2006 : 36), prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah kognitif terdiri atas : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Saifudin Azwar (1996 :44) prestasi belajar merupakan dapat dioperasionalkan dalam bentuk indikator-indikator berupa nilai raport, indeks prestasi studi, angka kelulusan dan predikat keberhasilan.

Melihat dari pengertian prestasi atau hasil belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang berwujud perubahan ilmu pengetahuan, keterampilan motorik, sikap dan nilai yang dapat diukur secara aktual sebagai hasil dari proses belajar.

Prestasi belajar adalah hasil dari pengukuran serta penilaian usaha belajar (Tirtonegoro, 1984 : 43). Dalam setiap perbuatan manusia untuk mencapai tujuan, selalu diikuti oleh pengukuran dan penilaian, demikian pula halnya dengan proses pembelajaran. Dengan mengetahui prestasi belajar, dapat diketahui kedudukan anak di dalam kelas, apakah anak termasuk kelompok pandai, sedang atau kurang. Prestasi belajar ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf maupun simbol pada periode tertentu, misalnya tiap caturwulan atau semester. Nasution (2001 : 439) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah penguasaan seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajaran, yang lazim diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Bila angka yang diberikan guru rendah, maka prestasi seseorang dianggap rendah. Bila angka yang diberikan guru tinggi, maka prestasi seorang siswa dianggap tinggi sekaligus dianggap sebagai siswa yang sukses dalam belajar. Ini berarti prestasi belajar menuju kepada optimal dari kegiatan belajar, hal senada diungkapkan oleh Woodworth dan Marquis (dalam Supartha, 2004 : 33) bahwa prestasi belajar adalah kemampuan aktual yang dapat diukur secara langsung dengan menggunakan tes. Bloom (dalam Nurman, 2006 : 37) mengatakan bahwa prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah yaitu: kognitif, afektif dan psikomotor.

Menurut Wirawan seperti dikutip Supartha  (2004 : 34) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam usaha belajar yang dilakukan dalam periode tertentu. Prestasi belajar dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengetahui materi pelajaran yang telah diajarkan atau  dipelajari. Sehubungan dengan itu, Masrun dan Martaniah (dalam Supartha, 2004 : 34) menyatakan bahwa kegunaan prestasi belajar diantaranya adalah : (1) untuk mengetahui efisiensi hasil belajar yang dalam hal ini diharapkan mendorong siswa untuk belajar lebih giat, (2) untuk menyadarkan siswa terhadap tingkat kemampuannya; dengan melihat hasil tes atau hasil ujiannya siswa dapat menyadari kelemahan dan kelebihannya sehingga dapat mengevaluasi dan bagaimana caranya belajar selama ini, (3) untuk petunjuk usaha belajar siswa, dan (4) untuk dijadikan dasar untuk memberikan penghargaan.

Melihat dari pengertian prestasi atau hasil belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku yang berwujud perubahan ilmu pengetahuan, keterampilan motorik, sikap dan nilai yang dapat diukur secara aktual sebagai hasil dari proses belajar. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, prestasi belajar dalam penelitian ini secara konseptual diartikan sebagai hasil kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka yang mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak baik berupa kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor yang dapat diukur dari tes atau hasil ujian siswa.

2.1.2.4 Prestasi Belajar Geografi

Geografi merupakan ilmu untuk menunjang kehidupan dalam segala perwujudan makna: hidup sepanjang hayat, dan dorongan peningkatan kehidupan. Lingkup bidang kajiannya memungkinkan manusia memperoleh jawaban atas pertanyaan dunia sekelilingnya yang menekankan pada aspek-aspek spasial eksistensi manusia, agar manusia memahami karakteristik dunianya dan tempat hidupnya. Bidang kajian geografi meliputi muka bumi dan proses-proses yang membentuknya, hubungan antara manusia dengan lingkungan, serta pertalian antara manusia dengan tempat-tempat. Sebagai suatu disiplin integratif, geografi memadukan dimensi-dimensi alam dan manusia di dunia, dalam menelaah manusia, tempat-tempat, dan lingkungannya. Mata pelajaran Geografi mengembangkan pemahaman siswa tentang organisasi spasial, masyarakat, tempat-tempat, dan lingkungan pada muka bumi. Siswa didorong untuk memahami proses-proses fisik yang membentuk pola-pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di muka bumi, sehingga diharapkan siswa dapat memahami bahwa manusia menciptakan wilayah (region) untuk menyederhanakan kompleksitas muka bumi. Selain itu, siswa dimotivasi secara aktif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat-tempat dan wilayah. Dengan demikian siswa diharapkan bangga akan warisan budaya dengan memiliki kepedulian kepada keadilan sosial, proses-proses demokratis dan kelestarian ekologis, yang pada gilirannya dapat mendorong siswa untuk meningkatkan kualitas kehidupan di lingkungannya pada masa kini dan masa depan.

Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi, diharapkan membentuk siswa yang mampu mengembangkan darma baktinya untuk menjalin kerjasama dan mengurangi konflik, sehingga siswa dapat bertindak secara sosial, spasial dan ekologis serta bertanggung jawab, sebagai bekal hidupnya di masyarakat dalam menghadapi fenomena lingkungan yang makin terancam dan perekonomian global yang semakin kompetitif serta saling bertautan.

Geografi mengkaji tentang aspek ruang dan tempat pada berbagai skala di muka bumi. Penekanan bahan kajiannya adalah gejala-gejala alam dan kehidupan yang membentuk lingkungan dunia dan tempat-tempat. Gejala alam dan kehidupan itu dapat dipandang sebagai hasil dari proses alam yang terjadi di bumi, atau sebagai kegiatan yang dapat member dampak kepada mahluk hidup yang tinggal di atas permukaan bumi. Untuk menjelaskan pola-pola gejala geografis yang terbentuk, dan mempertajam maknanya, disajikan dalam bentuk deskripsi, peta dan tampilan geografis lainnya. (depdiknas, 2003 : 5-6)

Terkait dengan hasil (prestasi) belajar geografi siswa, dapat di ukur dari segi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan) siswa yang tampak pada : (a) adanya kesadaran untuk membangun dan mengembangkan pemahaman tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka bumi. (b). Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis. Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka untuk mengukur hasil (prestasi) belajar geografi siswa, digunakan analisis hasil belajar siswa yang terdapat pada nilai hasil dari jawaban siswa terhadap sejumlah pertanyaan yang diberikan oleh peneliti untuk mengukur prestasi belajar siswa.

Adapun yang menjadi acuan dalam pembuatan tes prestasi belajar siswa adalah berdasarkan materi yang di bahas pada semester yang tengah berlangsung dimana tes prestasi belajar siswa dilaksanakan. Terkait dengan hal tersebut untuk lebih memperjelasnya dapat dilihat pada tabel standar kompetensi dan kompetensi dasar kelas XI IPS semester 1 berikut :

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Menganalisis fenomena biosfer dan antroposfer 1.1.   Menjelaskan pengertian fenomena biosfer

1.2.   Menganalisis sebaran flora dan fauna

1.3.   Menjelaskan pengertian fenomena antroposfer

1.4.   Menganalisis aspek kependudukan

Memahami sumber daya alam 2.1. Menjelaskan pengertian sumber daya alam

2.2. Mengidentifikasi jenis-jenis sumber daya alam

2.3  Menjelaskan pemanfaatan sumber daya alam secara  arif

(Depdiknas, 2007)

2.1.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Perubahan tingkah laku sebagai hasil yang dicapai yang berwujud prestasi belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat berupa : (1) faktor belajar yang berasal dari luar diri si pelajar yaitu lingkungan (lingkungan alami dan lingkungan sosial), instrumental (kurikulum, program, sarana dan guru), (2) faktor yang berasal dari dalam diri si pelajar faktor fisiologis (kondisi fisik secara umum, kondisi panca indera dan faktor psikologis  (minat, kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitif), (Suryabrata, 1987: 233), dan Purwanto (2000) membagi kondisi belajar atas kondisi belajar interen dan kondisi belajar eksteren.

Sardiman AM (1999) ; ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar yaitu : faktor yang berasal dari dalam siswa (internal), faktor internal ini biasanya berupa minat, motivasi, kondisi fisik sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa (eksternal), biasanya berupa : hadiah, guru/dosen, keluarga.

Dari pengertian di atas  jelaslah bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi belajar yang mempengaruhi perbuatan belajar berasal dari diri anak itu sendiri Natawijaya, 1979 : 30) , yang antara lain adalah: motif, kematangan, kondisi jasmani, keadaan alat indera, minat dan kemampuan. Faktor eksternal dalam belajar adalah faktor yang berasal dari luar diri pelajar seperti penghargaan, hadiah, maupun hukuman. Belajar akan lebih berhasil bila individu yang belajar diberikan hadiah yang dapat memperkuat stimulus dan respon. Soeitoe (1987 :105) mengatakan suatu tingkah laku dalam situasi tertentu memberikan kepuasan selalu akan diasosiasikan. Suasana dan tempat belajar juga mempengaruhi individu dalam berlajar baik di sekolah dan di luar sekolah. Keadaan udara, cuaca, dan tempat belajar perlu diatur jangan terlalu dingin dan jangan terlalu panas. Disamping itu cahaya juga penting sekali bagi anak-anak yang berjam-jam lamanya harus menulis dan membaca dengan penuh konsentrasi. Ruangan yang tenang memberikan suasana yang gembira dari pada ruangan yang gelap.  Cahaya dapat diperoleh baik dari sebelah kiri maupun sebelah kanan (Nasution, 1974 : 87).

Muhammad Surya (1979), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain dari sudut si pembelajar,  proses belajar dan dapat pula dari sudut situasi belajar.

Dari sudut si pembelajar (siswa), prestasi belajar seseorang dipengaruhi antara lain oleh kondisi kesehatan jasmani siswa, kecerdasan, bakat, minat dan motivasi, penyesuaian diri serta kemampuan berinteraksi siswa.

Sedangkan yang bersumber dari proses belajar, maka kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran sangat menentukan prestasi belajar siswa. Guru yang menguasai materi pelajaran dengan baik, menggunakan metode dan media pembelajaran yang tepat, mampu mengelola kelas dengan baik dan memiliki kemampuan untuk menumbuh kembangkan motivasi belajar siswa untuk belajar, akan memberi pengaruh yang positif terhadap prestasi belajar siswa untuk belajar. Sedangkan situasi belajar siswa, meliputi situasi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sekitar.

Secara skematis, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber : Djamarah, 2002 : 143

Dari skema tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor internal (minat, motivasi, kecerdasan, kondisi fisik, dan lain-lain) dan faktor eksternal (hadiah, guru/dosen, keluarga, sarana, kurikulum, lingkungan, dan lain-lain).

2.1.2.6    Penilaian Prestasi Belajar

Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar perlu dilakukan penilaian (evaluasi). Dengan penilaian dapat diketahui kemampuan, kesanggupan, penguasaan seseorang tentang pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai. Penilaian pendidikan adalah penilaian tentang perkembangan dan kemajuan siswa yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum, (Harahap dalam Supartha, 2004:36). Tujuan penilaian adalah untuk mengetahui dan mengumpulkan informasi terhadap perkembangan dan kemajuan, dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum. Fungsi penilaian dapat dikatakan sebagai suatu evaluasi yang dilakukan sekolah mempunyai tiga fungsi pokok yang penting, yaitu: (1) untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan, dalam rangka waktu tertentu, (2) untuk mengetahui sampai di mana perbaikan suatu metode yang digunakan guru dalam mendidik dan mengajar, dan (3) dengan mengetahui kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam evaluasi selanjutnya dapat diusahakan perbaikan, Purwanto (2000 : 10).

Pendapat lain menyatakan bahwa fungsi penilaian dalam proses belajar mengajar antara lain: (1) untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar serta memperbaiki belajar bagi murid, (2) untuk memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar dari murid, (3) untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh murid, dan (4) untuk mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan belajar yang dapat digunakan sebagai dasar untuk memecahkan kesulitan itu, (Harahap dalam Supartha, 2004:37).

Penilaian dalam pendidikan ada beberapa jenis, yaitu penilaian formatif, sumatif, penempatan, dan diagnostik, (Harahap dalam Supartha, 2004:37). Di samping itu, dapat juga dikatakan bahwa jenis-jenis penilaian sebagai berikut: (1) ulangan harian mencakup bahan kajian satu pokok bahasan atau beberapa pokok bahasan untuk memperoleh umpan balik bagi guru, (2) ulangan umum merupakan ulangan yang mencakup seluruh pokok bahasan, konsep, tema, atau unit dalam catur wulan atau semester yang bersangkutan dalam kelas yang sama. Hasil ulangan umum selain untuk mengetahui pencapain siswa juga digunakan untuk keperluan laporan kepada orang tua siswa dan keperluan administrasi lain, bentuk alat penilaiannya adalah berupa pilihan ganda dan sering dilakukan secara bersama-sama pada suatu wilayah maupun wilayah tingkat I, (3) ujian akhir, ujian akhir ada yang bersifat nasional, ada yang bersifat regional, dan ada yang bersifat lokal. Hasil penilaian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan kelulusan siswa dan digunakan untuk pemberian surat tanda tamat belajar (Depdikbud, 1997 : 7).

Teknik dan alat penilaian yang sering digunakan kepala sekolah adalah: (1) teknik tes, terdiri dari tes tertulis, yaitu: tes objektif dan tes uraian, tes lisan, dan tes perbuatan, (2) teknik non tes yang dilaksanakan melalui observasi maupun pengamatan (Depdiknas, 2000 : 4).

2.2 Penelitian Yang Relevan, Kerangka Berpikir dan Hipotesis Tindakan

2.2.1 Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah.

1)          Penelitian yang dilakukan oleh Yuyun (2008), skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dengan judul “Pengaruh Status Sosial Ekonomi Keluarga Dan Kemandirian Siswa Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Jenis Kelamin Siswa”. Menunjukkan bahwa variabel status sosial ekonomi keluarga dan jenis kelamin menunjukkan nilai signifikansi 0,93 dan 0,697 > 0,05 atau H0 diterima yang berarti tidak ada pengaruh yang signifikan, variabel kemandirian siswa menunjukan nilai signifikansi 0,013 < 0,05 atau H0 ditolak yang berarti ada pengaruh yang signifikan. Namun ketika dikomparasikan status sosial ekonomi keluarga dengan kemandirian siswa, status sosial ekonomi keluarga dengan jenis kelamin, dan kemandirian siswa dengan jenis kelamin menunjukan nilai signifikansi 0,00 < 0,05 atau H0 ditolak yang berarti ada pengaruh yang signifikan. Dan jika ketiga variabel tersebut dikomparasikan menunjukan nilai signifikansi 0,999 > 0,05 atau H0 diterima yang berarti tidak ada pengaruh yang signifikan, 2) hasil komparasi ganda antar status sosial ekonomi keluarga rendah dengan sedang, rendah dengan tinggi, sedang dengan rendah, tinggi dengan rendah menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,009; 0,003; 0,009; 0,003 < taraf signifikansi 0,05 yang berarti ada perbedaan yang signifikan terhadap prestasi belajar matematika, namun untuk status sosial ekonomi sedang dengan tinggi, tinggi dengan sedang menunjukan nilai signifikasi sebesar 0,401 > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan. Dan untuk hasil komparasi ganda antar kemandirian siswa menunjukkan nilai signifikansi 0,000 < 0,05 yang berarti nampak ada perbedaan yang signifikan terhadap prestasi belajar matematika.

2)          penelitian yang dilakukan oleh Maftukhah. 2007. dengan judul “Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Geografi Siswa Kelas VIII SMP N 1 Randudongkal Kabupaten Pemalang Tahun 2006/2007”.Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimakah gambaran tentang keadaan sosial ekonomi orang tua siswa kelas VIII SMP N 1 Randudongkal Kabupaten Pemalang, bagaimanakah pengaruhnya kondisi sosial ekonomi orang tua siswa yang berbeda terhadap prestasi belajar Geografi dan seberapa besar pengaruh kondisi sosial ekonomi siswa terhadap prestasi belajar Geografi. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui bagaimanakah kondisi sosial ekonomi orang tua siswa kelas VIII SMP N 1 Randudongkal dan pengaruhnya terhadap prestasi belajar Geografi dan untuk mengetahui besarnya pengaruh latar belakang sosial ekonomi orang tua
siswa yang berbeda terhadap prestasi belajar Geografi.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua siswa kelas VIII
SMP N 1 Randudongkal tahun pelajaran 2006/2007 yang terdiri dari dari 6 kelas dengan jumlah 240 orang tua siswa. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 48 siswa dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan Proportional Random Sampling, yaitu diambil 20% untuk masing-masing kelas. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel bebas (kondisi sosial ekonomi orang tua) dan satu variabel terikat (Prestasi belajar geografi). Metode pengambilan data digunakan metode angket dan metode dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 54% responden memiliki kondisi sosial ekonomi orang tua yang tergolong tinggi (baik). Pengaruh antara kondisi sosial ekonomi orang tua siswa SMP N 1 Randudongkal terhadap prestasi belajar geografi sebesar sebesar 55,066.

3)          Penelitian yang dilakukan oleh Kristian, Eka Yudha. Dengan judul “Pengaruh Faktor Internal dan Sosial Ekonomi Orang tua Terhadap Prestasi Belajar Mata Pelajaran Ekonomi Pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Negeri 1 Turen”. Jurusan Ekonomi Pembangunan, Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang. Hasil penelitian di SMA Negeri 1 Turen menunjukkan bahwa analisis penagruh faktor internal terhadap prestasi belajar ekonomi diperoleh thitung 7,364 dan ttabel 1,991. Nilai thitung (7,364) > ttabel (1,991) dengan sig 0,000 < 0,05 maka faktor internal berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar ekonomi. Analisis pengaruh sosial ekonomi orang tua terhadap prestasi belajar ekonomi diperoleh thitung 4,711 dan ttabel 1,991. nilai thitung (4,711) > ttabel (1,991) dengan sig 0,000 < 0,05 maka faktor sosial ekonomi orang tua berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar ekonomi. Analisi pengaruh faktor internal dan sosial ekonomi orang tua terhadap prestasi belajar ekonomi diperoleh nilai Fhitung46,171 dan Ftabel 3,119. Nilai Fhitung (46,171)  > Ftabel (3,119) dengan sig 0,000 < 0,05 maka faktor internal dan  sosial ekonomi orang tua secara bersama-sama (simultan) berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar ekonomi.Besar R squareadalah 0,552 ini berarti prestasi belajar ekonomi (Y) dapat dipengaruhi oleh faktor internal (X1) dan sosial ekonomi orang tua (X2) sebesar 55,2% sedangkan sisanya 44,8% disebabkan oleh faktor lain.

2.2.2 Kerangka Berpikir

Hubungan Antara Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Siswa

Motivasi belajar adalah dorongan yang ada pada seseorang untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar sangat penting peranannya bagi siswa dalam usaha mencapai prestasi belajar yang tinggi. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi, cenderung menunjukkan semangat dan kegairahan dalam mengikuti pembelajaran, mereka biasanya kelihatan lebih menaruh perhatian bersungguh-sungguh dalam belajar dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas.

Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan lebih tekun, bersemangat, lebih tahan dan memiliki ambisi yang lebih tinggi dalam mencapai prestasi belajar yang lebih baik, dibandingkan dengan siswa yang kurang atau tidak memiliki motivasi belajar. Mereka yang tidak memiliki motivasi belajar akan kelihatan kurang atau tidak bergairah dalam belajar maupun mengikuti pembelajaran di kelas, tidak menaruh perhatian terhadap pelajaran yang dipelajari, apatis dan tidak berpartisipasi aktif dalam belajar. Kondisi siswa yang kurang memiliki motivasi belajar sudah tentu tidak mampu menghasilkan prestasi yang memuaskan.

Dalam kaitannya dengan materi pelajaran geografi, selama ini siswa cenderung tidak memiliki minat untuk mempelajarinya. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya motivasi yang diberikan oleh pengajar dalam proses belajar mengajar.

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut di atas, maka dapat diduga adanya hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar geografi siswa.

2.2.2 Hipotesis Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang diajukan, maka jawaban sementara yang akan dibuktikan kebenarannya adalah: “ Apakah Terdapat hubungan signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi di kelas IX IPS SMA Negeri  2 Singaraja.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian ex post facto dengan pendekatan korelasional. Metode ini digunakan karena peneliti berusaha mengetahui variable terikat (Prestasi Belajar) pada siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Singaraja.

3.1.1 Rancangan Penelitian

Adapun rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

(Dimodifikasi dari Arikunto, 1996 : 31)

Keterangan :

X         = Motivasi belajar siswa

Y         = Prestasi belajar siswa

= Menyatakan hubungan

3.1.2        Identifikasi Variabel

3.1.2.1  Variabel bebas : motivasi belajar siswa

3.1.2.2  Variabel terikat : prestasi belajar siswa

3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

3.2.1 Motivasi Belajar Siswa

Motivasi dalam penelitian ini merupakan suatu daya atau kekuatan yang timbul dari dalam diri siswa untuk memberikan kesiapan agar tujuan yang telah ditetapkan tercapai. Sedangkan belajar dalam penelitian ini merupakan suatu proses yang dilakukan siswa untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang lebih baik dan sebelumnya sebagai hasil pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka secara operasional motivasi belajar dalam penelitian ini adalah respon siswa Kelas XI IPS SMA Negeri  2 Singaraja tahun pelajaran 2008/2009 terhadap sejumlah pernyataan mengenai keseluruhan usaha yang timbul dari dalam diri siswa agar tumbuh dorongan untuk belajar dan tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai, yang diungkap melalui instrumen angket, yaitu:

1)      Ketekunan dalam belajar, meliputi :

  1. Kehadiran di kelas,
  2. Mengikuti proses belajar mengajar di kelas, dan
  3. Belajar di rumah

2)      Ulet dalam menghadapi kesulitan belajar, meliputi:

a)      Sikap terhadap kesulitan dan

b)      Usaha mengatasi kesulitan;

3)      Minat dan ketajaman perhatian dalam belajar, meliputi:

  1. Kebiasaan dalam mengikuti pelajaran dan
  2. Semangat dalam mengikuti proses belajar mengajar;

4)      Prestasi dalam belajar, meliputi:

  1. Keinginan untuk berprestasi, dan
  2. Kualifikasi hasil;

5)       Mandiri dalam belajar, meliputi :

  1. Penyelesaian tugas-tugas/PR, dan
  2. Menggunakan kesempatan diluar jam pelajaran

3.2.2 Prestasi Belajar Siswa

Prestasi belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, jumlah skor tes hasil belajar  bidang studi geografi yang diperoleh melalui tes (dalam hal ini tes yang disusun oleh peneliti) pada semester I kelas XI IPS SMA Negeri 2 Singaraja.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah himpunan subjek penelitian (Arikunto, 2000 : 125). Populasi dari penelitian ini adalah semua siswa Kelas XI IPS SMA Negeri  2 Singaraja yang tersebar pada 2 kelas dengan rata-rata siswa per kelas = 40 orang, sehingga populasinya berjumlah 80 orang siswa.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini ditentukan sebanyak 80 siswa atau seluruh siswa dari 2 kelas IPS yang ada, dengan alasan karena populasinya di bawah 100, sampel di ambil dari keseluruhan populasi yang ada sehingga disebut  penelitian populasi.

3.4 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode Kuesioner dan tes.

1) Kuesioner

Kuesioner adalah pengambilan data melalui pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan diri informan (responden). Instrument (alat) yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner atau daftar pernyataan yang disusun sendiri oleh peneliti dan sudah barang tentu materi pertanyaan akan disesuaikan dengan kondisi siswa berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan pada bab II.

2) Tes

Metode tes adalah metode pengumpulan data dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan siswa terhadap materi pembelajaran setelah mengalami proses pembelajaran di kelas. Instrumen yang digunakan adalah tes yaitu tes pilihan ganda (multiple choice) dengan 5 (lima) pilihan jawaban. Tes ini disusun oleh peneliti berdasarkan standar isi dan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa pada materi pelajaran Geografi semester ganjil.

Penggunaan kedua teknik tersebut sangat penting, dimana kedua teknik ini dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan data yang akurat dan sarat makna.

3.4.1 Validitas Instrumen Tes dan Non Tes

Uji validitas dilakukan berkenaan dengan ketepatan alat ukur terhadap konsep yang diukur sehingga benar-benar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Untuk menghitung validitas alat ukur dalam penelitian ini digunakan dua rumus matematika yaitu: 1) rumus korelasi point biserial untuk menghitung validitas butir tes dan 2) rumus korelasi product moment untuk menghitung validitas butir non tes.

1) Validitas Butir Tes

Untuk validitas butir soal (tes) digunakan rumus korelasi point biserial, dengan rumusan :

Keterangan:

pbis r = koefisien korelasi point biserial

Mp      = rata-rata skor dari subjek yang menjawab benar

Mt      = rata-rata skor total

SD    = Standar Deviasi

p       = proporsi siswa yang menjawab benar

q       = proporsi jawaban salah (q = 1 – p)

Perhitungan validitas butir soal hasil belajar siswa ini menggunakan bantuan program Mikrosoft Excel. (Langkah perhitungan terlampir)

Tabel 3.1 : Ringkasan Hasil Uji Validitas Butir Tes Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja.

Nomor Butir Jumlah p q Mp Mt SD rpbis rtabel Keterangan
1 56 0.563 0.438 25.607 25.738 10.130 -0.015 0.271 DROP
2 51 0.638 0.363 29.490 0.491 0.271 VALID
3 49 0.613 0.388 27.245 0.187 0.271 DROP
4 53 0.663 0.338 30.151 0.610 0.271 VALID
5 51 0.638 0.363 29.490 0.491 0.271 VALID
6 36 0.450 0.550 30.056 0.386 0.271 VALID
7 35 0.438 0.563 30.143 0.384 0.271 VALID
8 36 0.450 0.550 28.639 0.259 0.271 DROP
9 42 0.525 0.475 26.762 0.106 0.271 DROP
10 53 0.663 0.338 26.226 0.068 0.271 DROP
11 47 0.588 0.413 27.702 0.231 0.271 DROP
12 33 0.413 0.588 28.182 0.202 0.271 DROP
13 39 0.488 0.513 28.436 0.260 0.271 DROP
14 50 0.625 0.375 26.860 0.143 0.271 DROP
15 53 0.663 0.338 30.151 0.610 0.271 VALID
16 51 0.638 0.363 29.490 0.491 0.271 VALID
17 41 0.513 0.488 27.854 0.214 0.271 DROP
18 37 0.463 0.538 28.054 0.212 0.271 DROP
19 34 0.425 0.575 26.059 0.027 0.271 DROP
20 37 0.463 0.538 30.027 0.393 0.271 VALID
21 36 0.450 0.550 29.111 0.301 0.271 VALID
22 29 0.363 0.638 31.172 0.405 0.271 VALID
23 47 0.588 0.413 27.809 0.244 0.271 DROP
24 39 0.488 0.513 29.205 0.334 0.271 VALID
25 46 0.575 0.425 31.609 0.674 0.271 VALID
26 34 0.425 0.575 32.235 0.551 0.271 VALID
27 31 0.388 0.613 34.290 0.672 0.271 VALID
28 28 0.350 0.650 26.179 0.032 0.271 DROP
29 44 0.550 0.450 30.114 0.478 0.271 VALID
30 42 0.525 0.475 27.190 0.151 0.271 DROP
31 46 0.575 0.425 31.609 0.674 0.271 VALID
32 34 0.425 0.575 32.235 0.551 0.271 VALID
33 31 0.388 0.613 34.290 0.672 0.271 VALID
34 33 0.413 0.588 27.636 0.157 0.271 DROP
35 54 0.675 0.325 26.352 0.087 0.271 DROP
36 46 0.575 0.425 31.609 0.674 0.271 VALID
37 27 0.338 0.663 33.370 0.538 0.271 VALID
38 31 0.388 0.613 34.290 0.672 0.271 VALID
39 53 0.663 0.338 30.151 0.610 0.271 VALID
40 51 0.638 0.363 29.490 0.491 0.271 VALID
41 44 0.550 0.450 28.591 0.311 0.271 VALID
42 45 0.563 0.438 27.022 0.144 0.271 DROP
43 43 0.538 0.463 28.953 0.342 0.271 VALID
44 48 0.600 0.400 27.813 0.251 0.271 DROP
45 46 0.575 0.425 31.609 0.674 0.271 VALID
46 34 0.425 0.575 32.235 0.551 0.271 VALID
47 31 0.388 0.613 34.290 0.672 0.271 VALID
48 46 0.575 0.425 31.609 0.674 0.271 VALID
49 25 0.313 0.688 33.520 0.518 0.271 VALID
50 31 0.388 0.613 34.290 0.672 0.271 VALID

Dari tabel 3.1 di atas, dapat diketahui bahwa butir soal yang termasuk ke dalam kategori “Valid” adalah sebanyak 31 butir soal yaitu butir nomor :  2, 4, 5, 6, 7, 15, 16, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 29, 31, 32, 33, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 45, 46, 47, 48, 49, dan 50. Adapun butir soal yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan perbaikan adalah sebanyak 19 butir soal yaitu butir soal yang dikategorikan“Tidak Valid/Drop” seperti butir soal nomor: 1, 3, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 17, 18, 19, 23, 28, 30, 34, 35, 42, dan 44.

2) Validitas Butir Non Tes

Validitas butir kuesioner motivasi belajar siswa dipertimbangkan berdasarkan koefisien korelasi antara skor total dengan skor item. Mengingat kuesioner  motivasi belajar bersifat non tes, maka statistik korelasi yang digunakan adalah statistik korelasi product moment (Guilford, 1973:85) sebagai berikut:

rhitung =

Dimana :

rhitung = Koefisien korelasi

åXi = Jumlah skor item

åYi = Jumlah skor total (seluruh item)

n                = Jumlah responden

Kriteria yang digunakan adalah dengan membandingkan harga rxy ke tabel r product moment, dengan ketentuan rxy dikatakan valid apabila rhit > rtabel pada taraf signifikansi 5%. Kuesioner motivasi belajar siswa ini diujicobakan terhadap 80 orang siswa yaitu SMA Muhammadiyah 2 Singaraja sebanyak 40 orang dan SMAN 2 Singaraja sebanyak 40 orang siswa.

Perhitungannya menggunakan bantuan program Mikrosoft Excel. (Hasil perhitungan terlampir).

Tabel 3.2 : Ringkasan Hasil Uji Validitas Butir Soal Kuesioner Motivasi Belajar Siswa Kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja.

No Butir rhitung rtabel keterangan
1 0.217 0.287 DROP
2 0.466 0.287 VALID
3 0.513 0.287 VALID
4 0.495 0.287 VALID
5 0.179 0.287 DROP
6 0.391 0.287 VALID
7 0.597 0.287 VALID
8 0.479 0.287 VALID
9 0.365 0.287 VALID
10 0.467 0.287 VALID
11 0.574 0.287 VALID
12 0.511 0.287 VALID
13 0.467 0.287 VALID
14 0.554 0.287 VALID
15 0.633 0.287 VALID
16 0.417 0.287 VALID
17 0.604 0.287 VALID
18 0.251 0.287 DROP
19 0.554 0.287 VALID
20 0.605 0.287 VALID
21 0.516 0.287 VALID
22 0.511 0.287 VALID
23 0.621 0.287 VALID
24 0.491 0.287 VALID
25 0.310 0.287 VALID
26 0.390 0.287 VALID
27 0.572 0.287 VALID
28 0.505 0.287 VALID
29 0.285 0.287 DROP
30 0.355 0.287 VALID
31 0.657 0.287 VALID
32 0.702 0.287 VALID
33 0.503 0.287 VALID
34 0.640 0.287 VALID
35 0.310 0.287 VALID
36 0.097 0.287 DROP
37 0.201 0.287 DROP
38 0.609 0.287 VALID
39 0.356 0.287 VALID
40 0.610 0.287 VALID
41 0.230 0.287 DROP
42 0.655 0.287 VALID
43 0.430 0.287 VALID
44 0.636 0.287 VALID
45 0.528 0.287 VALID
46 0.578 0.287 VALID

Dari tabel 3.2 di atas, diperoleh 39 butir soal yang termasuk ke dalam kategori “Valid” adalah yaitu butir nomor :  2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 38, 39, 40, 42, 43, 44, 45, dan 46. Adapun butir soal yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan perbaikan atau termasuk dalam kategori drop adalah sebanyak 7 (tujuh) butir, yaitu butir soal nomor: 1, 5, 18, 29, 36, 37,dan 41.

3.4.2 Reliabilitas Instrumen Tes dan Non Tes

Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan tingkat ketepatan (keterandalan atau keajegan) alat pengumpul data (instrumen) yang digunakan, yakni dengan membuang butir/item yang tidak valid (drop).

1) Reliabilitas Instrumen Tes Hasil Belajar

Untuk menghitung derajat reliabilitas tes hasil belajar siswa digunakan rumus Kuder-Richardson (KR-20) dengan rumus:

Keterangan:

k     = banyak butir soal

p     = proporsi peserta tes yang menjawab benar butir soal.

q     = 1 – p

Vt   = Varian Total

Kriteria derajat reliabilitas alat ukur yang digunakan yaitu: kriteria yang dibuat oleh J. Guilford (1973), sebagai berikut:

r 11 £ 0,20 derajat reliabilitas Sangat Rendah

0,20 ≤ r11 ≤ 0,40 derajat reliabilitas Rendah

0,40  £ r11 £ 0,60 derajat reliabilitas Sedang

0,60 ≤ r11£ 0,80 derajat reliabilitas Tinggi

0,80 £ r11 £ 1,00 derajat reliabilitas Sangat Tinggi

Dari hasil perhitungan terhadap tingkat reliabilitas tes hasil belajar Geografi siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja diperoleh hasil sebagaimana dituangkan dalam table ringkasan berikut:

Tabel 3.3 : Tabel Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Tes Hasil Belajar Geografi Siswa Kelas XI di SMAN 2 Singaraja

k p q pq ∑ pq Vt r11
31 0.638 0.363 0.231 7.390 102.626 0.959
0.663 0.338 0.224
0.638 0.363 0.231
0.450 0.550 0.248
0.438 0.563 0.246
0.663 0.338 0.224
0.638 0.363 0.231
0.463 0.538 0.249
0.450 0.550 0.248
0.363 0.638 0.231
0.488 0.513 0.250
0.575 0.425 0.244
0.425 0.575 0.244
0.388 0.613 0.237
0.550 0.450 0.248
0.575 0.425 0.244
0.425 0.575 0.244
0.388 0.613 0.237
0.575 0.425 0.244
0.338 0.663 0.224
0.388 0.613 0.237
0.663 0.338 0.224
0.638 0.363 0.231
0.550 0.450 0.248
0.538 0.463 0.249
0.575 0.425 0.244
0.425 0.575 0.244
0.388 0.613 0.237
0.575 0.425 0.244
0.313 0.688 0.215
0.388 0.613 0.237

Berdasarkan nilai pada tabel 3.3 di atas, didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:

k   = 31

Vt = 102,626

pq = 7,390

Hasil di atas dimasukkan ke dalam rumus KR-20:

KR-20 = 0,96

Dari hasil perhitungan di atas didapat r11 = 0,96 dengan menggunakan kriteria derajat reliabilitas alat ukur yang digunakan yaitu: kriteria yang dibuat oleh J. Guilford (1973), sebagai berikut:

r 11 £ 0,20 derajat reliabilitas Sangat Rendah

0,20 ≤ r11 ≤ 0,40 derajat reliabilitas Rendah

0,40  £ r11 £ 0,60 derajat reliabilitas Sedang

0,60 ≤ r11£ 0,80 derajat reliabilitas Tinggi

0,80 £ r11 £ 1,00 derajat reliabilitas Sangat Tinggi

Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa tingkat atau derajat reliabilitas tes hasil belajar siswa yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori SANGAT TINGGI

2) Reliabilitas Instrumen Non Tes

Untuk mengetahui tingkat keajegan (reliabilitas) kuesioner motivasi belajar siswa dilakukan dengan membuang item yang tidak valid, selanjutnya ditentukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach (Suharsimi, 1996:104) sebagai berikut:

Keterangan:

k     = banyaknya butir tes

SDt  = Varian skor total

SDi  = Varian skor butir ke-i

Perhitungannya dengan menggunakan bantuan program Mikrosoft Excel. (Hasil perhitungan terlampir)

Dari hasil perhitungan terhadap data penelitian yang diperoleh, dapat dibuat sebuah ringkasan sebagaimana dijabarkan dalam table berikut:

Tabel 3.4: Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Motivasi Belajar Geografi Siswa Kelas XI di SMAN 2 Singaraja.

No Butir k k-1 Varbutir Sigvarbutir Vartotal
2 39 38 0.895 32.024 338.651
3 0.304
4 0.592
6 0.449
7 0.661
8 0.402
9 0.679
10 0.668
11 1.216
12 0.587
13 0.953
14 0.666
15 1.024
16 0.641
17 1.073
19 1.031
20 0.957
21 0.920
22 0.589
23 0.992
24 0.727
25 1.134
26 0.538
27 1.451
28 0.599
30 0.283
31 1.112
32 0.488
33 0.583
34 0.929
35 0.521
38 1.008
39 0.720
40 1.134
42 1.364
43 0.800
44 1.144
45 0.735
46 1.456

Dari table 3.4 di atas diperoleh nilai dimasukkan ke dalam rumus Alpha Cronbach:

r11= 0,93

Dari hasil perhitungan di atas, diperoleh r11= 0,93. dengan menggunakan kriteria derajat reliabilitas alat ukur yang digunakan yaitu: kriteria yang dibuat oleh J. Guilford (1973), sebagai berikut:

r 11 £ 0,20 derajat reliabilitas Sangat Rendah

0,20 ≤ r11 ≤ 0,40 derajat reliabilitas Rendah

0,40  £ r11 £ 0,60 derajat reliabilitas Sedang

0,60 ≤ r11£ 0,80 derajat reliabilitas Tinggi

0,80 £ r11 £ 1,00 derajat reliabilitas Sangat Tinggi

Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa tingkat atau derajat reliabilitas motivasi belajar siswa yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori SANGAT TINGGI

3.5 Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis statistik deskriptif dan analisis korelasi untuk menguji hipotesis penelitian. Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui nilai kecenderungan data hasil penelitian yaitu dengan jalan menguraikan atau menjabarkan data-data variabel penelitian (motivasi dan prestasi belajar) seperti: mean, median, range, dan standar deviasi. Cara permberian skor untuk mengungkap variabel motivasi belajar siswa digunakan skala Likert dengan pemberian skor berdasarkan pernyataan positif dan pernyataan negatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Sangat Setuju                    (SS)     = 5

Setuju                                (S)       = 4

Ragu                                  (R)      = 3

Tidak Setuju                      (TS)    = 2

Sangat Tidak Setuju          (STS)  = 1

Sangat Setuju                    (SS)     = 1

Setuju                                (S)       = 2

Ragu                                  (R)      = 3

Tidak Setuju                      (TS)    = 4

Sangat Tidak Setuju          (STS)  = 5

(Riduwan, 2005 : 87)

Untuk statistik deskriptif masing-masing variabel diukur nilai pemusatannya dengan mencari nilai Skor Maksimal ideal,  Skor Minimal Ideal, Mean Ideal (Mi)  dan Standar Deviasi Ideal (SDi). Rumus yang digunakan untuk mencari rata-rata ideal (Mi) adalah ½ (Skor maksimal ideal + skor minimal ideal) dan untuk mencari Standar Deviasi Ideal digunakan rumus 1/6 (skor maksimal ideal – skor minimal ideal).

Selanjutnya nilai standar deviasi ideal (SDi) dan rata-rata/mean ideal (Mi) dikonversikan ke dalam 5 (lima) kategori nilai kecenderungan dengan kriteria sebagai berikut.

Mi + 1,5 SDi – Mi + 3,0 SDi à Sangat Tinggi

Mi + 0,5 SDi – Mi + 1,5 SDi à Tinggi

Mi – 0,5 SDi – Mi + 0,5 SDi à Sedang

Mi – 1,5 SDi – Mi – 0,5 SDi à Rendah

Mi – 3,0 SDi – Mi – 1,5 SDi à Sangat Rendah

Keterangan:

Mi = Rata-rata ideal

SDi = Standar Deviasi Ideal.

Selanjutnya, analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui kuat lemahnya hubungan antar variabel yang dianalisis. Menjawab rumusan masalah yaitu seberapa besar hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa di SMA Negeri 2 Singaraja yang didesain sebagai berikut:

Gambar 01. Desain Penelitian X dan Y

(Dimodifikasi dari Arikunto, 1996 : 31)

Analisis korelasi yang digunakan adalah (PPM) Pearson Product Moment. Teknik analisis Korelasi PPM termasuk teknik statistik parametrik yang mengunakan data interval dan ratio dengan persyaratan tertentu. Misalnya: data dipilih secara acak (random); datanya berdistribusi normal; data yang dihubungkan berpola linier; dan data yang dihubungkan mempunyai pasangan yang sama sesuai dengan subjek yang sama. Kalau salah satu tidak terpenuhi persyaratan tersebut analisis korelasi tidak dapat dilakukan. Rumus korelasi PPM sebagai berikut:

rXY =

(Arikunto, 2000 : 425-426)

Keterangan :

rXY = koefisien korelasi yang dicari

n          = banyaknya subjek pemilik nilai

X         = nilai variabel X

Y         = nilai variabel Y

Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r  tidak lebih dari harga (-1 < r < + 1). Apabila nilai r = – 1 artinya korelasinya negatif sempurna;      r = 0 artinya tidak ada korelasi; dan r = 1 berarti korelasinya sangat kuat. Sebelum dilakukan analisis data, maka terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yang terdiri dari: 1) Uji normalitas data, dan 2) Uji Linieritas (Candiasa, 2007:1-8)

1) Uji Normalitas Data

Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS10 for Windows. Hasil keluaran SPSS10 for Windows terdiri dari tiga jenis keluaran yaitu: Processing Summary, Descriptives, Tes of Normality, dan Q-Q plots. Untuk tujuan uji normalitas data dalam penelitian ini digunakan teknik uji Kolmogorov-Smirnov. Hipotesis yang diuji adalah:

Ho : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : Sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

Aturan Pengambilan Keputusan:

Normalitas dipenuhi jika hasil uji tidak signifikan untuk suatu taraf signifikansi (α) tertentu (biasanya α=0,05 atau α=0,01). Sebaliknya, jika hasil uji signifikan maka normalitas data tidak terpenuhi. Cara mengetahui signifikan atau tidak signifikan hasil uji normalitas adalah dengan memperhatikan bilangan pada kolom signifikansi (Sig.) untuk menetapkan kenormalan, kriteria yang berlaku adalah sebagai berikut.

  • Tetapkan taraf signifikansi uji misalnya α = 0,05
  • Bandingkan p dengan taraf signifikansi yang diperoleh
  • Jika signifikansi yang diperoleh > α, maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
  • Jika signifikansi yang diperoleh < α, maka sampel bukan berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

(Candiasa, 2007: 16-18)

2) Uji Linieritas

Uji linearitas dilakukan dengan mencari persamaan garis regresi variabel bebas x terhadap variabel terikat y. Berdasarkan garis regresi yang telah dibuat, selanjutnya diuji keterkaitan koefisien garis regresi serta linearitas garis regresi, dengan menggunakan tabel sebagai berikut.

Sumber Variasi Dk JK KT F
Total N
Koefisien (a)

Koefisien (b)

Sisa

1

1

(n-2)

JK (a)

JK (b/a)

JK (S)

JK (a)

=

Tuna Cocok

Galat

k-2

n-k

JK (TC)

JK (G)

s

s

Untuk melakukan uji linieritas data, digunakan bantuan program SPSS10 for Windows.

Aturan pengambilan keputusan:

Jika hasil analisis menunjukkan harga F tuna cocok (penyimpangan regresi) dan signifikansi > α = 0,05. Berarti model regresi linear.

Setelah persyaratan analisis data sebagaimana diuraikan di atas dipenuhi, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data penelitian. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1)      Mencari koefisien korelasi variabel  X  dengan variabel  Y  dengan menggunakan rumus korelasi product moment angka kasar.

rxly =

(Arikunto, 2000 : 425-426)

Keterangan :

Rxly = koefisien korelasi yang dicari

N         = banyaknya subjek pemilik nilai

X         = nilai variabel X

Y         = nilai variabel Y

2)      Melakukan uji signifikansi koefisien korelasi variabel  X  dengan variabel  Y.

Kriteria :

Ha : terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa.
Ho : tidak terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa.

Jika rtab < rhit, maka Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya terdapat hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa.

3.6 Koefisien Diterminan

Selanjutnya untuk menyatakan besar kecilnya sumbangan variabel X terhadap Y dapat ditentukan dengan rumus koefisien diterminan. Koefisien determinasi adalah kuadrat dari koefisien korelasi PPM yang dikalikan dengan 100%. Dilakukan untuk mengetahui seberapa besar variabel X (motivasi) mempunyai kontribusi atau ikut menentukan variabel Y (prestasi belajar siswa). Derajat koefisien determinasi dicari dengan menggunakan rumus :

KP = r 2 x 100%

Dimana: KP          = Koefisien Diterminasi

r            = Nilai Koefisien Korelasi

Kriteria derajat korelasi yang digunakan yaitu: kriteria yang dibuat oleh J. Guilford (1973), sebagai berikut:

r 11 £ 0,20 korelasi Sangat Rendah

0,20 ≤ r11 ≤ 0,40 korelasi Rendah

0,40  £ r11 £ 0,60 korelasi Sedang

0,60 ≤ r11£ 0,80 korelasi Tinggi

0,80 £ r11 £ 1,00 korelasi Sangat Tinggi


BAB IV

HASIL  DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan hasil penelitian yang mencakup penggambaran (deskripsi) tentang karakteristik masing-masing variable penelitian dan deskripsi tentang hasil pengujian hipotesis. Hasil penelitian yang dimaksudkan di atas adalah menyangkut beberapa masalah pokok yang tertuang dalam rumusan masalah yaitu deskripsi tentang motivasi belajar dan prestasi belajar Geografi siswa. Pemaparan dijabarkan dari: 1) Deskripsi data hasil penelitian, 2) Uji persyaratan analisis, 3) Uji hipotesis , dan 4) Pembahasan hasil.

4. 1  Deskripsi Data Hasil Penelitian

4.1.1. Variabel X (Motivasi Belajar Siswa)

Berdasarkan pada hasil angket yang disampaikan kepada 80 orang responden (sampel penelitian) dengan kuesioner yang terdiri atas 39 butir pertanyaan diperoleh skor tertinggi adalah 188 dari skor maksimal yang bisa dicapai oleh siswa yaitu 195, skor terendah adalah 105 dari nilai terendah yang bisa dicapai yaitu 39, nilai rata-rata (mean) sama dengan 144,40, dan standar deviasi sama dengan 15,47. Untuk lebih ringkasnya, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1: Deskripsi data motivasi belajar siswa

Statistic Std. Error
Motivasi Belajar Mean 144.4000 1.73009
95% Confidence Lower Bound 140.9563
Interval for Mean Upper Bound 147.8437
5% Trimmed Mean 144.3889
Median 143.0000
Variance 239.458
Std. Deviation 15.47444
Minimum 105.00
Maximum 188.00
Range 83.00
Interquartile Range 17.00
Skewness 0.101 0.269
Kurtosis 0.123 0.532

Dari tabel di atas, dapat diketahui gambaran data secara umum mengenai nilai maksimum, nilai minimum, range, standar deviasi, standar error, mean, median, varian dan sebagainya. Akan tetapi secara khusus tabel tersebut belum memberikan jawaban terhadap pertanyaan berapa banyak siswa yang memiliki motivasi tinggi, sedang dan rendah. Sebagaimana yang telah dijabarkan pada bab III tentang analisis deskriptif terhadap data penelitian. Dalam artian bahwa data tersebut perlu diurai kembali menjadi bagian yang lebih rinci ke dalam tabel frekuensi dan histogram, sehingga dapat dipahami dengan lebih mudah oleh orang lain. Guna keperluan penyusunan interval dan pembuatan grafik tingkat kecenderungan motivasi belajar siswa dilakukan beberapa langkah yaitu: 1) mengurutkan/merangking skor motivasi belajar dari yang skor terendah sampai kepada skor tertinggi, 2) mencari range dengan mengurangi skor maksimal dengan skor minimal, 3) mencari banyaknya kelas dengan rumus sturgess yaitu BK = 1 + 3,3 Log n, 4) menentukan panjang kelas dengan membagi range dengan banyaknya kelas, dan 5) membuat distribusi frekuensi sebagaimana berikut.

Tabel 4.2: Frekuensi skor Motivasi Belajar Siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja

Interval Batas Bawah Frekuensi Nilai Tengah
105 115 104.5 2 110
116 126 115.5 8 121
127 137 126.5 13 132
138 148 137.5 27 143
149 159 148.5 15 154
160 170 159.5 12 165
171 181 170.5 3 176
JUMLAH 80

Dengan melihat tabel tersebut dapat diketahui skor motivasi siswa terbanyak pada interval 138 – 148 yaitu sebanyak 27 orang atau 33,75%, sebaliknya sebaran skor motivasi belajar siswa yang paling sedikit terdapat pada interval 105 – 115 sebanyak 2 orang (2,5%) dan interval 171 – 181 sebanyak 3 orang (3,75%). Apabila frekuensi skor perolehan motivasi belajar tersebut dimasukkan ke dalam grafik (histogram), maka akan tampak grafik sebagai berikut.

Gambar 4.1: Grafik Tingkat Kecenderungan Motivasi Belajar Siswa

Histogram Frekuensi Motivasi Belajar

Sedangkan untuk mengetahui tingkat kecenderungan skor motivasi belajar siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja, dapat dilakukan dengan mencari mean ideal dan standar deviasi ideal sebagai berikut: 1) skor maksimal ideal 195 dan minimal 39, diperoleh mean ideal (Mi) = ½ (Skor maksimal + skor minimal) sehingga diperoleh Mi = ½ (195 + 39) =117, sedangkan SDi = 1/6 (skor maksimal – skor minimal = 1/6 (195 – 39) = 26. Nilai SDi dan Mi kemudian dikonversikan ke dalam tabel kecenderungan dengan 5 (lima) kategori sebagaimana berikut.

Mi + 1,5 SDi – Mi  + 3,0 SDi

117 + 1,5 (26) – 117 + 3,0 (26)

156 – 195 ———————————  Sangat Tinggi

Mi + 0,5 SDi – Mi + 1,5 SDi

117 + 0,5 (26) – 117 + 1,5 (26)

130 – < 156 ——————————- Tinggi

Mi – 0,5 SDi – Mi + 0,5 SDi

117 – 0,5 (26) – 117 + 0,5 (26)

104 — < 130 ——————————- Sedang

Mi – 1,5 SDi – Mi – 0,5 SDi

117 – 1,5 (26) – 117 – 0,5 (26)

78 – <  104 ——————————– Rendah

Mi – 3,0 SDi – Mi – 1,5 SDi

117 – 3,0 (26) – 117 – 1,5 (26)

39 – < 78 ———————————- Sangat Rendah

Rata-rata (mean) skor motivasi belajar siswa sebesar 144,40 terletak pada rentangan 130 — < 156 yaitu termasuk ke dalam kategori Tinggi.

4.1.2 Variabel Y (Hasil Belajar Siswa)

Dari 31 butir tes hasil belajar yang disampaikan kepada 80 orang responden (sampel penelitian) diperoleh skor tertinggi adalah 88 dari skor maksimal yang bisa dicapai oleh siswa yaitu 100, skor terendah adalah 70 dari nilai terendah yang bisa dicapai yaitu 0, nilai rata-rata (mean) sama dengan 78,51, dan standar deviasi sama dengan 6,86. Untuk lebih ringkasnya, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.3: Deskripsi data prestasi belajar siswa

Statistic Std. Error
Prestasi  Belajar Mean 78.5125 0.76700
95% Confidence Lower Bound 76.9858
Interval for Mean Upper Bound 80.0392
5% Trimmed Mean 78.6250
Median 78.0000
Variance 47.063
Std. Deviation 6.86026
Minimum 60.00
Maximum 94.00
Range 34.00
Interquartile Range 9.00
Skewness -0.104 0.269
Kurtosis -0.015 0.532

Dari tabel di atas, dapat diketahui gambaran data penelitian mengenai prestasi belajar, di mana mean (rata-rata) skor perolehan siswa adalah 78,51. Varian sama dengan 47.063 dengan standar deviasi sama dengan 6.86026. Skor maksimal peroleh siswa adalah 94.00 dan skor minimum sama dengan 60.00. Sama dengan langkah yang dilakukan pada penyusunan interval dan pembuatan grafik motivasi belajar. Penyusunan interval dan pembuatan grafik tingkat kecenderungan prestasi belajar siswa juga dilakukan dengan beberapa langkah yaitu: 1) mengurutkan/merangking skor motivasi belajar dari yang skor terendah sampai kepada skor tertinggi, 2) mencari range dengan mengurangi skor maksimal dengan skor minimal, 3) mencari banyaknya kelas dengan rumus sturgess yaitu BK = 1 + 3,3 Log n, 4) menentukan panjang kelas dengan membagi range dengan banyaknya kelas, dan 5) membuat distribusi frekuensi sebagaimana berikut

Tabel 4.4: Frekuensi skor Prestasi Belajar Siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja

Interval Batas Bawah Frekuensi Nilai Tengah
60 64 59.5 2 62
65 69 64.5 5 67
70 74 69.5 12 72
75 79 74.5 27 77
80 84 79.5 16 82
85 89 84.5 13 87
90 94 89.5 5 92
JUMLAH 80

Dengan melihat tabel tersebut dapat diketahui skor prestasi belajar siswa terbanyak pada interval 75 –79 yaitu sebanyak 27 orang atau 33,75%, sebaliknya sebaran skor prestasi belajar siswa yang paling sedikit terdapat pada interval 60 – 64 sebanyak 2 orang (2,5%), interval 65 – 69 sebanyak 5 orang (6.25%)  dan interval 90 – 94 sebanyak 5 orang (6,25%). Apabila frekuensi skor perolehan prestasi belajar tersebut dimasukkan ke dalam grafik (histogram), maka akan tampak grafik sebagaimana berikut.

Gambar 4.2: Grafik Kecenderungan Prestasi Belajar Siswa

Histogram Frekuensi Prestasi Belajar

Sedangkan untuk mengetahui tingkat kecenderungan skor prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja, dapat dilakukan dengan mencari mean ideal dan standar deviasi ideal sebagai berikut: 1) skor maksimal ideal 100 dan minimal 0, diperoleh mean ideal (Mi) = ½ (Skor maksimal + skor minimal) sehingga diperoleh Mi = ½ (100 + 0) = 50.0, sedangkan SDi = 1/6 (skor maksimal – skor minimal = 1/6 (100 – 0) = 16,67. Nilai SDi dan Mi kemudian dikonversikan ke dalam tabel kecenderungan dengan 5 (lima) kategori sebagaimana berikut.

Mi + 1,5 SDi – Mi  + 3,0 SDi

50 + 1,5 (16,67) – 50 + 3,0 (16,67)

75 – 100 ———————————  Sangat Tinggi

Mi + 0,5 SDi – Mi + 1,5 SDi

50 + 0,5 (16,67) – 50 + 1,5 (16,67)

58,33 – < 75 ——————————- Tinggi

Mi – 0,5 SDi – Mi + 0,5 SDi

50 – 0,5 (16,67) – 50 + 0,5 (16,67)

41,67 — < 58,33 ——————————- Sedang

Mi – 1,5 SDi – Mi – 0,5 SDi

50 – 1,5 (16,67) – 50 – 0,5 (16,67)

25 – <  41,67 ——————————– Rendah

Mi – 3,0 SDi – Mi – 1,5 SDi

50 – 3,0 (16,67) – 50 – 1,5 (16,67)

0 – < 25 ———————————- Sangat Rendah

Rata-rata (mean) skor prestasi belajar siswa sebesar 78,51 terletak pada rentangan 75 –100 yaitu termasuk ke dalam kategori Sangat Tinggi.

4.2 Uji Persyaratan Analisis Statistik

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk menguji hipotesis statistik tentang ada tidaknya hubungan dan seberapa besar pengaruh motivasi terhadap prestasi belajar. Agar dapat melakukan uji statistic terhadap data penelitian, maka sebelumnya harus dilakukan uji persyaratan analisis guna memastikan apakah data penelitian dapat dianalisis dengan menggunakan statistic ataukah tidak.

4.2.1 Uji Normalitas

Normalitas sebaran data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik Kolmogorof-Smirnov. Perhitungannya menggunakan bantuan program SPSS10 for Windows. Ringkasan hasil uji normalitas data dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 4.5    Hasil Uji Normalitas Sebaran Data Motivasi Belajar Siswa dengan teknik Kolmogorof-Smirnov

Dari tabel di atas, nilai signifikansi yang diperoleh dengan teknik Kolmogorof-Smirnov adalah 0,200. Sesuai dengan aturan pengambilan keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu :

  • Jika signifikansi yang diperoleh > α, maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
  • Jika signifikansi yang diperoleh < α, maka sampel bukan berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Ternyata nilai signifikansi yang diperileh > α  atau 0,200 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data motivasi belajar siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja Berdistribusi Normal.

Sedangkan sebaran data prestasi belajar siswa dengan menggunakan teknik yang sama dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 4.6    Hasil Uji Normalitas Sebaran Data Prestasi Belajar Siswa dengan teknik Kolmogorof-Smirnov

Dari tabel di atas, nilai signifikansi yang diperoleh dengan teknik Kolmogorof-Smirnov adalah 0,89. Ternyata nilai signifikansi yang diperoleh > α  atau 0,89 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data prestasi belajar siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja Berdistribusi Normal.

4.2.2 Uji Linieritas

Untuk mengetahui hubungan variable motivasi belajar dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Geografi memiliki hubungan yang linier, dalam penelitian ini digunakan bantuan program SPSS10 for windows. Ringkasan hasil uji linieritas data diberikan pada table berikut.

Tabel 4.7: Ringkasan hasil uji linieritas data motivasi dan prestasi belajar dengan menggunakan table Anova

Berdasarkan tabel Anova di atas, dapat dilihat bahwa nilai F pada Deviation from Linierity adalah 1,409 dengan signifikansi 0,149 > 0,05. Berarti model regresi linear.

4.3 Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi product moment (r). Dengan rumus :

Dimana :

r           = Korelasi X dengan Y

n          = Jumlah responden

X         = Motivasi belajar

Y         = Prestasi belajar siswa

Dari hasil perhitungan dengan program Excel dan SPSS diperoleh hasil koefisien korelasi sebagaiman tercantum pada table berikut.

Tabel 4.8:   Ringkasan hasil analisis korelasi antara variable motivasi (X) dan prestasi belajar (Y)

Dari table di atas diketahui bahwa koefisien korelasi motivasi dan prestasi belajar sebesar 0,796. Selanjutnya dilakukan pengujian keberartian koefisian korelasi, sebagaimana tertera pada table berikut:

Tabel 4.9: Koefisien Korelasi variable motivasi (X) dan prestasi Belajar (Y)

Hipotesis penelitian yang diuji:

Ho :    Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi belajar dan prestasi belajar pada siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja.

Ha :    Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi belajar dan prestasi belajar pada siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja

Dari table 4.9 diatas dapat dilihat bahwa harga koefisien korelasi sebesar 0,796 dan thitung sebesar 11,623 > ttabel = dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Yang berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima atau “Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi (X) dan prestasi belajar (Y) siswa kelas XI IPS SMAN 2 Singaraja.

Selanjutnya, akan diukur besarnya kontribusi variable motivasi (X) terhadap variable (Y) dalam artian dianalisis kemampuan variable predictor (X) dalam memprediksi variable kriteriumnya. Dari hasil penelitian ini diperoleh  koefsien determinasi (r2) sebagaimana diberikan pada table berikut.

Tabel 4.10:    Koefisien Determinasi korelasi motivasi (Y) dengan prestasi belajar (Y)

R Square pada table di atas menunjukkan nilai koefisien determinasi korelasi motivasi dan prestasi belajar sebesar 0,634 atau sebesar 63,40%. Yang berarti bahwa prestasi belajar siswa dapat diprediksi sebesar 63,40% oleh variable motivasi belajar, sisanya sebesar 36,60% merupakan kontribusi factor lain yang tidak diteliti.

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

Motivasi belajar dari hasil penelitian ini telah dibuktikan mampu memprediksi prestasi belajar siswa sebesar 63,40%. Hal ini berarti bahwa motivasi belajar merupakan salah satu factor penentu keberhasilan belajar siswa yang paling menentukan dibandingkan dengan factor lainnya seperti ketersediaan sarana-prasarana, metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Dikarenakan motivasi menjadi penggerak sekaligus pemberi arah kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar dapat tercapai secara maksimal. (Sardiman, 1988: 75).

Walaupun demikian, hasil penelitian ini tentunya bukan berarti bahwa pengaruh faktor lain seperti faktor sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat IQ, dan lain sebagainya dapat diabaikan begitu saja. Karena dari hasil kajian beberapa penelitian tentang prestasi belajar ternyata juga membuktikan bahwa status sosial ekonomi dan jenis kelamin juga sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maftukhah (2007). “Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Orang Tua Terhadap
Prestasi Belajar Geografi Siswa Kelas VIII SMP N 1 Randudongkal Kabupaten
Pemalang Tahun 2006/2007” menunjukkan bahwa dari 54% responden memiliki
kondisi sosial ekonomi orang tua yang tergolong tinggi (baik). Pengaruh antara
kondisi sosial ekonomi orang tua siswa SMP N 1 Randudongkal terhadap prestasi
belajar geografi sebesar sebesar 55,066%.

Ini artinya bahwa, variabel status sosial ekonomi siswa, IQ, jenis kelamin tidak diperhitungkan sehingga nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 63,40%. Secara lebih ringkas, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dengan mengontrol pengaruh variabel di luar variabel penelitian ternyata motivasi belajar dapat mempengaruhi prestasi belajar sebesar 63,40%. Akan tetapi kalau variabel lainnya seperti yang telah diungkap diatas tidak dikontrol maka, pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar tentunya tidak sebesar itu, bisa jadi lebih  rendah dari hasil penelitian ini.

Dari hasil observasi dan kuesioner yang diberikan kepada responden, ternyata motivasi belajar yang berasal dari dalam diri siswa sendiri seperti: ketekunan dalam belajar, ulet dalam menghadapi kesulitan belajar, kemandirian dalam belajar, minat dan perhatian terhadap materi pelajaran lebih berpengaruh dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar diri siswa seperti lingkungan, perhatian orang tua, sarana-prasarana, kurikulum, hadiah dan hukuman, dan sebagainya.

Siswa yang memiliki motivasi yang kuat dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas terlihat penuh semangat, antusias, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, aktif dalam pembelajaran, rajin dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru, sehingga mereka memiliki daya tahan yang cukup lama dalam menyelesaikan studi, dibandingkan dengan siswa yang kurang memiliki motivasi. Siswa yang motivasinya tergolong rendah ini biasanya menunjukkan sikap bermalasan, mengantuk, dan perhatiannya terbagi kemana-mana di saat proses belajar sedang berlangsung.  Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh (Robbins, 1984, Huse dan Bowditch 1973, dalam Depdiknas 2007: 53-54) motivasi merupakan kemauan (willingness) untuk mengerjakan sesuatu. Kemauan tersebut tampak pada usaha seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Seseorang yang memiliki motivasi tinggi akan lebih keras berusaha daripada seseorang yang memiliki motivasi rendah. Tetapi motivasi bukanlah perilaku. Ia merupakan proses internal yang kompleks  yang tidak bisa diamati secara langsung, melainkan bisa dipahami melalui kerasnya usaha seseorang dalam mengerjakan sesuatu.

Menurut Certo (1985 dalam Depdiknas 2007: 55), motivasi merupakan bagian dalam (innerstate) pribadi seseorang yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan tertentu dengan cara tertentu. Para teoritisi psikologi yang telah menganalisis proses motivasional dalam diri seseorang menemukan bahwa motivasi itu memiliki dua unsur, yaitu kebutuhan dan dorongan (Sprinthall dan Sprinthall, 1987). Kebutuhan merupakan kekurangan-kekurangan (deficiency) yang dimiliki oleh seseorang. Kekurangan-kekurangan ini bukan saja dalam aspek fisiologis melainkan juga dalam aspek psikologis (Robbins 1984; Sprinthall dan Sprinthall 1987 dalam Depdiknas 2007: 56-57). Kebutuhan-kebutuhan psikologi antara lain berupa air, makanan, tidur, dan seks. Semuanya didasarkan pada kekurangan fisikal dalam tubuh manusia, sedangkan kebutuhan-kebutuhan psikologis, antara lain berupa harga diri, pengakuan, kasih sayang, dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan psikologis ini seringkali tampak lebih samar (subtle) dan lebih sulit diidentifikasi. Kebutuhan-kebutuhan, baik fisiologis maupun psikologis, menimbulkan dorongan-dorongan (drives) untuk bertindak memenuhinya.

Gambar 4.3 : Proses Motivasional

Secara teknis, proses dasar motivasional seseorang berawal dari adanya kekurangan dalam diri seseorang (innerdeficiencies) atau kebutuhan yang belum terpenuhi (unsatisfied needs). Kekurangan ini akan menimbulkan ketegangan (tension) yang mendorong seseorang untuk bertindak (drive). Selanjutnya dorongan ini membangkitkan seseorang untuk bertindak (behavior) untuk mencapai tujuan tertentu. Apabila tujuan ini tercapai berarti kekurangan atau kebutuhannya terpenuhi (satisfied need) dan sekaligus menghilangkan ketegangan. Sebaliknya, apabila tujuan ini belum tercapai, berarti kebutuhannya belum juga terpenuhi, maka akan timbul perilaku yang tidak tepat (inappropriate) dalam bentuk penyerangan (aggression) atau ketidakhadiran (absenteeism). Gambar 4.4 berikut, secara rinci menjelaskan proses motivasional dalam diri seseorang.


Gambar 4.4 : Proses Motivasional Perilaku Siswa

Sumber: Kolasa, B (1969 dalam Depdiknas 2007). Introduction to Behavioral Science in Bussiness, New York, John Wiley & Sons, halaman 256.

Dengan demikian, sebenarnya motivasi seseorang dalam organisasi, misalnya siswa  dalam sekolah sebagai pelajar, berangkat dari adanya kebutuhan dalam dirinya. Kebutuhan ini membuat orang berperilaku atau bertindak untuk memenuhinya. Dengan perkataan lain, bahwa seseorang itu melakukan aktivitas tertentu selalu didorong oleh motif tertentu, yaitu upaya memenuhi kebutuhan dirinya. Itulah sebabnya, para teoritisi psikologi pendidikan yang membahas tentang motivasi selalu memasukkan teori-teori kebutuhan sebagai salah satu bagian dari pembahasannya.

Namun, sangat keliru jika hasil penelitian ini dianggap sebagai hasil yang mutlak keberterimaannya dalam proses pembelajaran, karena faktor-faktor lain yang tidak diteliti juga memiliki dampak atau pengaruh yang sama besar bahkan mungkin lebih besar dari motivasi belajar. Sehingga diperlukan penelitian lanjutan mengenai hasil penelitian ini, yakni dengan menggabungkan motivasi dengan IQ, status sosial ekonomi, jenis kelamin atau variabel lainnya, sehingga diketahui sumbangan masing-masing variabel secara jelas.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa:

  1. Rata-rata motivasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja adalah sebesar 144,40 dengan nilai tertinggi 188,00 dan nilai terendah yang diperoleh adalah sebesar 105,00. Termasuk kedalam kategori TINGGI.
  2. Rata-rata prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi Kelas XI IPS di SMA Negeri 2 Singaraja adalah sebesar 78,51 dengan nilai tertinggi 94, 00 dan nilai terendahnya adalah 60,00. Termasuk kedalam kategori SANGAT TINGGI.
  3. Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran geografi di Kelas XI IPS SMA Negeri 2 Singaraja dengan koefisien korelasi sebesar 0,796. Termasuk kedalam kategori TINGGI.

5.2 Saran

Dengan memperhatikan pada kesimpulan tersebut di atas maka penulis mengajukan saran sebagai berikut :

Dalam penelitian ini motivasi belajar berperan signifikan dalam meningkatkan hasil belajar siswa, maka:

  1. Pihak sekolah hendaknya menanamkan motivasi belajar kepada siswa.
  2. Dan khusus untuk guru, di samping melaksanakan tugas-tugas mengajarnya hendaknya juga memberikan motivasi belajar terhadap siswa yang diajarnya.
  3. Demikian juga halnya dengan para siswa harus memiliki motivasi tinggi untuk selalu belajar agar menjadi generasi muda yang tangguh dan mampu bersaing dalam menjalani hidupnya kelak di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta

——-. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta

Candiasa. 2007. Statistik Multivariat. Bahan Ajar. DIKSH . Undiksha Singaraja.

Depdikbud. 1997. Bahan Penataran Pengujian Pendidikan. Jakarta : Puslitbang Sisjian Balitbang Depdikbud.

Depdiknas. 2000. Penyusunan Butir Soal dan Instrumen Penilaian. Jakarta

——, 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Geografi SMA/MA. Jakarta

——, 2007. Pendidikan dan Pelatihan Supervisi Akademik dalam Peningkatan Profesionalisme Guru. Jakarta

Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Kependidikan, Dirjen Dikti Depdikbud.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta

Djalal, M.F. 1986. Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa Asing. Malang: P3T IKIP Malang

Guilford. 1973. Pshycological Testing, Allyn Bacon. Inc

Hamalik, Oemar. 2000. Psikologi Belajar dan Manager. Bandung : Sinar Baru Algessindo

——, 1994. Metode Belajar dan kesulitan-Kesulitan Belajar. Surabaya: Usaha Nasional.

http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/27/pengertian-pendidikan/ (online)

di akses tgl 1 Januari 2009

http://sobatbaru.blogspot.com/2008/08/pengertian-pendidikan-agama-islam.html (online) diakses tanggal 1 Januari 2009

http://pakdesofa.blog2.plasa.com/archives/50 (online) di akses tanggal 29 Desember 2009

http://www.infoskripsi.com/Proposal/Proposal-Skripsi-Pengaruh-Cara-Belajar.html (online) di akses tgl 21 desember 2008

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ 2008/02/06/teori-teori-motivasi/ (online) di akses tanggal 22 Oktober 2009

Makmun, Abin Syamsudin. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung : Rosdakarya.

Moeliono, Anton, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka.

Natawijaya, 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta : CV. Mutiara

Natawidjaja, Rahman. 1988. Peranan Guru dalam Bimbingan. Bandung : Abardin.

——-. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Depdikbud.

Nasution, Farid. 2001. Hubungan Metode Mengajar Dosen, Keterampilan Belajar, Sarana Belajar dan Lingkungan Belajar dengan Prestasi Belajar Mahasiswa. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 8. Nomor 1.

Nasution, Noehi. 1974. Psikologi Pedidikan. Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Dan Universitas Terbuka.

Nurman, Muhammad. 2006.”Pengaruh Penggunaan Metode Pembelajaran Inkuiri dan Ekspositori Terhadap Sikap Politik Berdemokrasi dan Prestasi belajar Siswa Pada Pembelajaran PPKn di SMA (Studi Eksperimen tentang Pengaruh Metode Pembelajaran Terhadap Sikap Politik Berdemokrasi dan Prestasi Belajar PPKn Siswa di SMA NW Pancor – Lombok Timur) Tesis (tidak diterbitkan) Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja.

Nurkancana, Wayan dan Sunartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional

Prayitno, Elida. 1989.  Motivasi dalam Belajar. Jakarta : PPLPTK Depdikbud.

Purwanto, M. Ngalim. 2000. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

——. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Riduwan.2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung : Alfabeta.

Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT. Raya Grafindo Persada.

Saifudin Azwar. 1996. Pengantar Psikologi Intelegensi. Jogyakarta : Pustaka Pelajar.

Subagia, I Wayan & Sudiana, I Ketut. 2002. Materi Kuliah Strategi Belajar Mengajar (KIMP 401). Singaraja : IKIP

Suryabrata, S. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta : CV. Rajawali

Surya, Muhammad. 1996. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung : Jurusan PPB FIB IKIP Bandung.

——-. 2001. Guru Sebagai Perekat Bangsa. Majalah Gerbang. Edisi ke 3.

Soeitoe, Samuel. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Sumidjo,Wahjo.1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Surachmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito.

Supartha, I Wayan. 2004.” Validitas Prediktif Nilai Tes Kemampuan Awal Akademik Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SMA Unggulan Se-Kota Denpasar”. Tesis (tidak diterbitkan) Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada

——-. 1996. Psikologi Pendidikan. Bandung : Rosdakarya.

Sri Swastiningsih, Ketut. 2004. “Pengaruh Umpan Balik Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Dalam Pembelajaran Statistik (Suatu Eksperimen di Universitas Warmadewa Denpasar)” Tesis (Tidak diterbitkan) Program Pascasarjana IKIP Negeri Singaraja.

Tirtonegoro, Sutratina. 1984. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya. Jakarta : Bina Aksara.

Winkel, W.S. 1987. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta : Gramedia.

Yusuf, Syamsu. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Kemampuan Proses Belajar Mengajar. Bandung : CV. Andria.

Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bigraf Publising.





DI CARI INVESTOR

16 06 2009

Di cari INVESTOR untuk Menggarap Batu Alam (Lempengan Batu utk Villa dan HOtel), Luas Areal 50 are, Lokasi Buleleng…yang tertarik hub. 081915680497. SERIUS





Arief’s Photo Slide Show

8 08 2008




Hello world!

7 06 2008

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!