PENERAPAN METODE PERMAINAN SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA PADA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI NO.1 BANJAR TEGAL SINGARAJA

29 12 2009

Oleh : Arifuddin

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa dan juga merupakan sasaran pembelajaran berbahasa Indonesia. Keterampilan berbicara dapat meningkat jika ditunjang oleh keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak, membaca, dan menulis. Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Pentingnya keterampilan berbicara bukan saja bagi guru, tetapi juga bagi siswa sebagai subjek dan objek didik.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dituntut terampil berbicara. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Suyoto (2003:32) bahwa seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di masyarakat. Dia juga cenderung memiliki keberanian untuk tampil menjadi pemimpin pada kelompoknya. Orang yang pandai berbicara umumnya mudah bergaul, memiliki rasa percaya diri, dan dapat memengaruhi orang lain.
Sekolah dasar sebagai sekolah awal untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sudah tentu siswa-siswanya harus diberikan pengetahuan yang lebih, khususnya dalam pembelajaran keterampilan berbicara, sehingga bisa diaplikasikan ke jenjang selanjutnya. Pembelajaran berbicara di sekolah dasar belum memuaskan dan belum memenuhi tuntutan berbicara seperti yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyoto (2003:32) menyebutkan bahwa “Pembelajaran berbicara di sekolah belum dapat memenuhi tuntutan kegiatan berbicara yang dibutuhkan masyarakat. Pembelajaran berbicara di sekolah umumnya kurang mendapatkan simpati dari para siswa”. Jika demikian, wajarlah kalau siswa sekolah dasar belum memiliki bekal yang memadai untuk terampil berbicara. Hal ini sangat memengaruhi keberanian siswa untuk menyampaikan ide, gagasan atau pendapat mereka kepada guru secara lisan. Hal senada juga dikatakan oleh Bukian (2004:1) dalam penelitiannya tentang metode pengajaran berbicara di kelas VI Sekolah Dasar No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, menyebutkan bahwa buku ajar yang digunakan guru sekolah dasar memperlihatkan bahwa pembelajaran keterampilan membaca dan menulis lebih banyak porsinya dibandingkan dengan keterampilan berbicara.
Melihat kondisi sekarang, kegiatan di luar jam pelajaran masih dianggap suatu aktivitas yang menyenangkan oleh sebagian siswa. Sementara dalam proses belajar-mengajar di kelas, sekolah adalah aktivitas yang membebani. Belum ada penelitian khusus yang menyajikan tentang hal tersebut, tetapi sepanjang pengamatan peneliti, jika para siswa berada di dalam kelas, mereka ingin keluar kelas atau pulang. Salah satu penyebabnya adalah pengggunaan metode yang monoton, sehingga siswa merasa tidak betah jika berada di dalam kelas. Ada pepatah Yunani (dalam Somantri, 2002:1) mengatakan bahwa non scolae sed vitae discamus yang bisa diartikan secara bebas bahwa sekolah itu tujuannya bukan mencari skor atau angka-angka, tetapi sekolah itu belajar untuk kehidupan, bahkan hidup itu sendiri. Hal serupa juga sering terjadi pada guru. Peneliti sering mendengar keluhan guru bahwa pergi ke sekolah rasanya bukan lagi sebagai kegiatan yang diidam-idamkan ketika pertama kali melamar menjadi guru, tetapi sudah cenderung menjadi rutinitas.
Apa yang peneliti amati sepertinya cocok dengan karakter guru yang dikemukakan Zamroni, bahwa ada lima karakter kerja guru. Kelima karakter tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, pekerjaan guru bersifat individualistic non collaborative; kedua, dilakukan dalam ruang terisolir dan menyerap seluruh waktu; ketiga, kemungkinan terjadinya kontak akademis antarguru rendah; keempat, tidak pernah mendapatkan umpan balik; dan kelima, pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung kerja di ruang kelas (Zamroni, 2000:76). Jadi, keadaan tersebut memungkinkan kurang maksimalnya penyampaian, dan kurang berhasilnya proses belajar-mengajar.
Senada dengan itu, Paul Suparno mengemukakan alasan tentang kesulitan guru sulit melakukan perubahan. Pertama, guru sering tidak mengerti isi kurikulum baru atau pun perubahan yang diinginkan. Kedua, banyak guru yang meragukan perubahan atau pembaharuan yang ada. Ketiga, banyak guru lama yang bertahun-tahun terbiasa dengan cara mereka yang mapan dan sudah merasa enak. Keempat, moral guru sebagai tukang yang pasif dan menanti. Kelima, penghargaan terhadap guru sangat kecil. Keenam, pendidikan guru yang statis. Ketujuh, tugas guru dipahami sebagai konservatif. Kedelapan, menjadi guru karena terpaksa (Suparno, 2002:4).
Pada sisi lain, peneliti melihat kelemahan atas kondisi kemampuan berbicara siswa sekolah dasar. Umumnya, para siswa mengalami kesukaran ketika diminta untuk bercerita, bercakap-cakap, berpidato, bahkan sekadar bertanya pun banyak di antara siswa yang tidak mampu. Padahal, siswa sekolah dasar sebenarnya memiliki kemampuan dasar berbicara. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh D.Mcneill, salah seorang pengikut Chomsky (dalam Sumarsono, 61) bahwa “Setiap anak normal memiliki perabot yang bersifat bawaan. Perabot ini disebut perabot pemerolehan bahasa atau Language Acquisition Device (LAD) yang dispekulasikan harus menguasai bahasa apa pun.” Bukti nyata kalau anak-anak SD memiliki kamampuan berbicara dapat kita lihat ketika mereka bermain di luar kelas. Di sana, mereka saling berkomunikasi secara lisan dengan lancar tanpa hambatan. Siswa-siswa itu begitu mudah menuturkan isi hati mereka. Ide, gagasan, dan pengalaman dengan mudah disampaikan dengan bahasa lisan. Ini menunjukkan bahwa siswa-siswa SD memiliki kemampuan dasar berbicara.
Berpijak pada fakta di atas, maka pengajaran berbicara harus diupayakan lebih bermakna bagi siswa. Selain memberikan teori tentang berbicara kepada siswa dalam proses belajar-mengajar, perlu juga diberikan pelatihan yang dapat merangsang siswa agar berani berbicara. Hal ini ditegaskan oleh Badudu (dalam Karolina, 2001:2) bahwa pengajaran berbicara sangat penting untuk melatih siswa menggunakan bahasa itu secara aktif. Untuk mengaktifkan itulah, guru perlu memberikan pelatihan dan pembinaan. Pelaksanaan pelatihan dan pembinaan keterampilan berbicara dapat dilakukan melalui metode yang dipilih dalam pengajaran bahasa Indonesia.
Metode yang akan diterapkan harus sesuai dengan materi yang akan disajikan dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Begitu pun dengan pengajaran berbicara, pemilihan metode yang akan digunakan dalam pengajaran berbicara tidak sembarangan. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai, materi atau bahan dan keadaan siswa. Pemilihan metode yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan dapat menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran (Furqanal, dkk. 1995:5). Jadi, memilih metode yang tepat dan melaksanakannya dengan benar akan dapat meningkatkan minat serta keantusiasan siswa dalam mengikuti proses belajar-mengajar, sehingga siswa aktif dalam proses belajar-mengajar dan berani berbicara dalam mengikuti pelajaran apa pun.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti, proses belajar-mengajar yang berlangsung di kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya dalam pembelajaran berbicara belum mencapai hasil yang maksimal. Hal ini sejalan dengan informasi guru bahasa Indonesia di SD tersebut yang mengatakan bahwa siswa malas mengemukakan pendapat atau pertanyaan, dan siswa sering takut atau malu berbicara pada saat belajar di kelas. Jika disuruh berbicara, siswa tidak mampu menyampaikan ide dengan benar, grogi, berdialek, dan tidak lancar. Kondisi tersebut juga didukung oleh latar belakang sebagian besar bahasa keseharian siswa adalah bahasa Bali. Praktis, siswa mengalami kesulitan jika disuruh menggunakan bahasa Indonesia pada saat kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Proses belajar yang kurang efektif ini menyebabkan rendahnya daya serap siswa terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan aspek berbicara. Ketuntasan belajar siswa belum tercapai. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 bahwa nilai rata-rata kelas untuk keterampilan berbicara adalah 65, daya serap siswa 65%, dan ketuntasan belajar 60%. Selain itu, motivasi siswa rendah, akhirnya, hal ini berujung pada rendahnya hasil belajar siswa itu sendiri dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Di dalam proses belajar-mengajar, siswa terlihat kurang aktif. Hanya sebagian kecil siswa yang merespons pertanyaan guru. Keadaan ini sungguh kontras manakala siswa berada di luar kelas. Di luar kelas, siswa bermain dan berekspresi secara bebas. Pembicaraan mereka mengalir apa adanya. Terlebih lagi ketika mereka berinteraksi antarsesama siswa dalam bermain. Dalam sebuah permainan inilah, siswa mengejahwantahkan kemampuan berbicaranya yang tak terbatas. Keadaan ini menyebabkan peneliti mencoba menerapkan sebuah metode yang memungkinkan siswa bermain dan berperan seperti berada dalam dunia nyata. Apa pun yang dilakukan anak cenderung mengandung nilai edukatif, baik dalam kelas maupun ketika sedang bermain. Artinya, secara tidak sadar dalam diri anak sedang berlangsung proses pembelajaran. Anak-anak adalah manusia pembelajar sejati (Somantri, 2003:2). Tugas guru dan orang tua menjadi fasilitator agar proses pendidikan alamiah tersebut memiliki tujuan jelas dan berlangsung efektif. Dengan pemahaman semacam ini, proses pembelajaran bisa menjadi luas dan terbuka, tidak sebatas ruang kelas dan ceramah guru.
Metode permainan adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai permainan (Depdikbud, 1994:53). Permainan yang ditawarkan adalah berupa simulasi yang dapat dibuat oleh guru. Subana (tt:208) menyatakan bahwa “Permainan adalah suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan.” Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah. Metode ini dapat bermanfaat karena dapat mengembangkan motivasi intrinsik, memberikan kesempatan untuk berlatih mengambil keputusan, dan mengembangkan pengendalian emosi bila menang atau kalah, serta lebih menarik dan menyenangkan sehingga memudahkan siswa untuk memahami bahan pelajaran yang disajikan.
Kondisi siswa di tempat lain juga menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda melalui hasil penelitian-penelitian mahasiswa, di antaranya Ketut Disna (1998) dalam penelitiannya mengenai penguasaan keterampilan berbicara siswa kelas III SLTP N 2 Bangli untuk meningkatkan efektivitas diskusi; Putu Ariana (1998) yang meneliti mengenai penceritaan pemahaman feature oleh siswa untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas III SLTP Negeri Sidemen Karangasem; Yoca Carolina (2001) dalam penelitiannya tentang strategi guru dalam mengajarkan keterampilan berbicara; dan Bukian (2004) melakukan penelitian di kelas VI SD No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng tentang metode pengajaran berbicara. Bahkan, kemampuan berbicara pada tingkat mahasiswa pun masih rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud (2005) dalam tesisnya yang berjudul, “Penerapan Pendekatan Komunikatif-Integratif dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara II: Suatu Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara (Mahasiswa Semester II Program Studi PBSID STKIP Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2003/2004).” Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa kualitas keterampilan berbicara siswa pada tingkat SD, SMP, SMA maupun mahasiswa masih rendah. Keadaan seperti ini dialami juga oleh siswa yang ada di SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.
Untuk mencapai keberhasilan pembelajaran berbicara dan menghilangkan ketakutan siswa dalam berbicara di kelas, guru perlu menerapkan metode pembelajaran secara selektif, sehingga keempat keterampilan berbahasa bisa terpadu dalam satu pembelajaran. Keberhasilan siswa dalam menguasai keterampilan kebahasaan khususnya keterampilan berbicara sangat bergantung kepada kemampuan guru itu sendiri dalam membelajarkan siswa melalui metode yang digunakan.
Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, peneliti mencoba membantu meningkatkan aktivitas berbicara siswa kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara melalui penerapan model pembelajaran simulasi. Dalam permainan simulasi, peneliti membuat media bantu yang murah. Media bantu tersebut adalah berbentuk papan simulasi yang sederhana yang bisa dibuat secara manual atau dengan komputer, dari karton, atau papan. Selain itu, dibutuhkan dadu dan beberapa asesoris sebagai identitas, dan yang lebih penting adalah kumpulan pertanyaan atau instruksi yang sesuai dengan tema yang dibawakan di kelas. Media tersebut tidak hanya bisa difokuskan pada berbicara, tetapi juga bisa digabungkan dengan bermain peran dalam bentuk instruksi. Bermain peran bisa juga dalam bentuk hukuman yang ditentukan oleh kelompok. Pembelajaran ini menitikberatkan tindakan yang sifatnya langsung. Tindakan atau mengerjakan adalah belajar yang lebih bermakna. Hal ini sejalan dengan pepatah Cina yang berbunyi “saya dengar dan saya lupa, saya lihat dan saya ingat, saya kerjakan dan saya mengerti” (dalam Somantri, 2002:2).
Model pembelajaran permainan simulasi merupakan salah satu model pembelajaran yang memperhatikan pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi untuk keterampilan berbicara, model ini dapat menyesuaikan permasalahan dengan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa model ini belum pernah diterapkan di kelas V SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja. Siswa kurang dapat menghubungkan pelajaran yang mereka dapat di kelas dengan dunia nyata. Hal ini menyebabkan mereka tidak mengerti dan kurang aktif dalam berbicara yang mengakibatkan rendahnya prestasi belajar mereka.
Model pembelajaran permainan simulasi ini merupakan model yang tepat dipilih dan dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Dalam model pembelajaran ini, siswa permainan simulasi seperti yang dialami dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga dengan penerapan model pembelajaran permainan simulasi ini siswa lebih aktif dalam mengikuti pelajaran.
Berdasarkan pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Penerapan Metode Permainan Simulasi untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah berikut ini.
1. Apakah penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas V SD No. 1 Banjar Tegal Singaraja pada pembelajaran keterampilan berbicara?
2. Apakah penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja pada pembelajaran keterampilan berbicara?
3. Bagaimana respons siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja terhadap penerapan metode permainan simulasi pada pembelajaran keterampilan berbicara?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah berikut ini.
1. Mengetahui dapat tidaknya meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
2. Mengetahui dapat tidaknya meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara.
3. Mengetahui respons siswa terhadap penerapan metode permainan simulasi pada pembelajaran keterampilan berbicara.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah berikut ini.
1. Bagi siswa, sebagai alternatif dalam belajar untuk meningkatkan keterampilan berbicara.
2. Bagi guru, sebagai masukan dalam menemukan alternatif pembelajaran untuk memperoleh prestasi belajar yang lebih baik.
3. Bagi sekolah, penerapan metode permainan simulasi dapat memperkaya model pembelajaran yang ada di sekolah dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi atau bahan perbandingan untuk melakukan penelitian yang lain berkaitan dengan keterampilan berbicara.

BAB II
LANDASAN TEORETIS

2.1 Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Sejak lama telah diketahui bahwa tujuan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah agar para siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baik lisan maupun tertulis (Diknas, 2003:11). Hal ini terkait dengan fungsi utama bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Dengan demikian, setiap warga negara dituntut untuk terampil berbahasa. Bila setiap warga negara sudah terampil berbahasa, komunikasi antarwarga pun akan berlangsung dengan baik.
Ilmu bahasa seperti layaknya ilmu pengetahuan lainnya, merupakan ilmu yang memiliki disiplin tersendiri dan diajarkan di sekolah-sekolah. Pengajaran bahasa secara umum dilaksanakan di sekolah-sekolah berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa. Dalam pengajaran, keempat keterampilan berbahasa itu berhubungan erat satu sama lain. Keempat keterampilan itu meliputi: keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Komunikasi yang dimaksudkan di sini adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang lain dengan menggunakan saluran tertentu. Kaswanti Purwo mengemukakan bahwa “Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang lebih mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan mengenai bahasa sebagai sistem yang melekat pada otak manusia.” Sementara Richard, dkk. (dalam Slamet, 2003:41) mengatakan bahwa pendekatan komunikatif merupakan pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang mengarahkan siswa tidak semata-mata kepada penguasaan struktur, tetapi justru lebih mengarahkan siswa kepada penguasaan kompetensi komunikatif, sehingga siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi secara efektif. Kompetensi komunikatif yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan keseluruhan aspek komunikasi dalam konteks komunikasi nyata.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan komunikatif merupakan salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang lebih menekankan kebermaknaan fungsi bahasa dalam arti lebih mementingkan penggunaan bahasa daripada pemilikan pengetahuan tentang bahasa untuk mencapai kelancaran komunikasi melalui pembelajaran komunikatif, yaitu pembelajaran yang lebih berfokus pada komponen komunikatif dengan melibatkan secara langsung para siswa ke dalam situasi bahasa yang pragmatis, otentik, dan fungsional atau situasi bahasa sebenarnya.
Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk SD (Sekolah Dasar) dan MI (Madrasah Ibtidaiyah) yang terkait dengan keterampilan berbicara yaitu mengungkapkan gagasan dan perasaan, menyampaikan sambutan, berdialog, menyampaikan pesan, mendeskripsikan, dan bermain peran (Diknas, 2003:32).
Adapun materi berbicara yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di antaranya, yaitu:
a. menyapa orang
b. memperkenalkan diri
c. menjelaskan isi gambar
d. menceritakan pengalaman
e. mendeskripsikan benda; tumbuhan; binatang; tempat
f. melakukan percakapan sederhana
g. bertanya
h. melakukan percakapan melalui telepon
i. menjelaskan urutan
j. menjelaskan petunjuk
k. menceritakan kembali isi dongeng
l. berwawancara dengan nara sumber

(Suyoto, 2003:32)

Di muka telah diuraikan bahwa fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat untuk berkomunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan agar siswa terampil berkomunikasi. Siswa dilatih lebih banyak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, bukan dituntut lebih banyak untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa.
Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia ini merupakan kerangka tentang standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia yang harus diketahui, dilakukan, dan dimahirkan oleh siswa pada setiap tingkatan. Kerangka ini disajikan dalam lima komponen utama, yaitu (1) standar kompetensi, (2) kompetensi dasar, (3) hasil belajar, (4) indikator, dan (5) materi pokok. Standar kompetensi mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Aspek-aspek tersebut dalam pembelajarannya dilaksanakan secara integratif.
Integratif artinya bersifat memadukan (KBBI, 2002:437). Dalam kaitannya dengan pendekatan pengajaran bahasa Indonesia, keterapaduan itu sangat penting. Dalam GBPP kurikulum 2004 dinyatakan bahwa pembelajaran berbahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sebaiknya mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu (Diknas, 2004:13).
Contoh:

Kompetensi ini disajikan secara terpadu dengan kompetensi dasar yang lainnya dengan menggunakan tema yang sama (Diknas, 2004:13). Pendekatan komunikatif bersifat tematis, kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari tema-tema yang ada pada program pembelajaran. Setiap materi yang diberikan selalu berpatokan pada tema. Jadi, pengajaran bahasa Indonesia, termasuk di sekolah dasar menggunakan pendekatan komunikatif tematis integratif. Pendekatan komunikatif melatih siswa untuk berkomunikasi secara praktis dan wajar baik lisan maupun tulisan. Pendekatan tematis mengarahkan pembelajaran pada suatu titik pokok materi yang dipelajari yang berada dalam lingkup tema tertentu, sedangkan pendekatan integratif merupakan upaya pembelajaran yang memadukan antara aspek keterampilan berbahasa dari keempat keterampilan berbahasa.

2.2 Pengertian Berbicara
Berbicara merupakan kegiatan berbahasa lisan yang dilakukan oleh manusia. Tarigan (1983:15) menjelaskan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pada tempat lain, Tarigan (1984:15) menyatakan bahwa berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, semantik, dan lingkungan sedemikian ekstensif secara luas sehingga dapat dikatakan sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Laksono (1982:25), bahwa berbicara atau bertutur adalah perbuatan menghasilkan bahasa untuk berkomunikasi sebagai salah satu keterampilan dasar dalam berbahasa. Berbicara adalah proses berpikir dan bernalar. Pembelajaran berbicara dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar. Pendapat lain mengemukakan, “Berbicara adalah keterampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasaan, dan keinginan pada orang lain” (Mukhsin dalam Carolina, 2001:18).
Sabarti dkk. (dalam Bukian, 2004:15) menyatakan, “Berbicara adalah peristiwa atau proses penyampaian gagasan secara lisan.” Sejalan dengan itu, Tarigan (1991:132) menegaskan, “Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasan lisan.”
Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat ekspresif dan produktif lisan. Dikatakan produktif karena orang yang berbicara (pewicara) dituntut untuk menghasilkan paparan secara lisan yang merupakan cermin dari gagasan, perasaan, dan pikiran yang disampaikan kepada orang lain.

2.3 Ciri-ciri Berbicara
Kegiatan berbicara (wicara) mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak sama dengan kegiatan berbahasa yang lain. Ciri-ciri tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Aminuddin (dalam Mas’ud, 2005:62-64), yaitu: (1) ciri-ciri manusia dalam berbicara, (2) ciri-ciri konvensional dalam berbicara, (3) ciri-ciri prosedural dalam berbicara, (4) c iri-ciri vitalitas dalam berbicara, dan (5) ciri-ciri penalaran dalam berbicara.

(1) Ciri-ciri manusia dalam berbicara
Yang dimaksud dengan ciri-ciri manusia dalam berbicara adalah keterlibatan unsur atau sifat yang hanya dimiliki manusia, baik berupa rasa cinta, perhatian maupun persahabatan. Tiga unsur yang terdapat dalam ciri-ciri manusia meliputi (1) perhatian, (2) keramah-tamahan, (3) rasa cinta yang akan melahirkan sifat keterbukaan, kerendahan hati, dan sifat sopan santun.
Perhatian merupakan perwujudan rasa cinta yang tercermin dalam perilaku pembicara yang berusaha memahami minat, situasi, kondisi maupun responssi pendengar serta berusaha menyesuaikan diri dengannya. Ramah tamah merupakan perwujudan sifat pembicara terhadap pendengar dengan penampilan yang ramah.

(2) Ciri-ciri konvensional dalam berbicara
Ciri-ciri konvensional dalam berbicara yaitu pembicara menggunakan bunyi-bunyi ujaran lingual dan lisan sebagai alatnya untuk menyampaikan gagasan dengan diperkaya aspek gerak dan mimik, baik dalam berkomunikasi searah maupun dua arah. Unsur-unsur konvensional dalam berbicara, yaitu (1) alat ucapan, (2) pita suara, (3) saluran pernapasan, (4) arus udara yang keluar masuk, dan (5) tubuh dengan segala unsurnya yang berfungsi dalam kegiatan berbicara.

(3) Ciri-ciri prosedural dalam berbicara
Ciri prosedural sebagai salah satu ciri berbicara adalah tahapan kegiatan yang merupakan persiapan seorang sebagai calon pembicara untuk melaksanakan kegiatan berbicara. Unsur-unsur dalam kegiatan berbicara sebagai salah satu tahapan dalam kegiatan berbicara meliputi (1) perumusan atau perencanaan tujuan dengan memperhatikan beberapa faktor, (2) pemilihan dan penentuan bahan pembicaraan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, (3) pemaparan atau penguraian bahan yang telah ditetapkan secara langkap dan utuh, (4) penentuan garis besar isi gagasan yang akan disampaikan, dan (5) penyusunan bahan pembicaraan yang akan disampaikan pada saat mengawali dan mengakhiri bahan pembicaraan.

(4) Ciri-ciri vitalitas dalam berbicara
Vitalitas adalah semangat seseorang pembicara dalam menyampaikan suatu gagasan sebagai salah satu kekuatan yang tumbuh dari suatu keterlibatan pembicara dengan gagasan yang ditampilkan maupun pendangannya serta dari kedalaman emosi pembicara itu sendiri sehingga dapat lebih menarik minat pendengarnya. Unsur-unsur yang membangkitkan vitalitas pembicara meliputi (1) keterlibatan seseorang pembicara dengan gagasan yang disampaikan, (2) keterlibatan pembicara dengan pendengar, (3) pengaturan dan penguasaan emosi yang baik, (4) kekuatan dan kedalaman emosi pembicara, (5) kemauan atau karsa, (6) keikhlasan, dan (7) sikap positif pembicara terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Vitalitas ini akan memberikan peranan yang sangat besar dalam proses berbicara.

(5) Ciri-ciri penalaran dalam berbicara
Penalaran dalam berbicara adalah bentuk proses penjelasan suatu gagasan kepada pendengar, baik melalui kemampuan emosional maupun intelektual sesuai dengan tingkat kemampuan pendengarnya. Bentuk penalaran dalam berbicara meliputi (1) bentuk deduktif, yaitu penalaran yang berangkat dari suatu penalaran yang bersifat umum menuju ke penalaran yang khusus, (2) penalaran bentuk induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari penalaran yang bersifat khusus ke penalaran yang bersifat umum, (3) klasifikasi penghubung, yaitu penalaran yang dilaksanakan dengan cara memilah-milahkah kenyataan atau konsep dan berusaha menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menumbuhkan konsep atau gagasan yang baru, (4) jalinan sebab akibat, yaitu model penalaran yakni pembicara menjelaskan suatu gagasan secara runtut berdasarkan hubungan sebab akibat, (5) analisis perbandingan, yaitu bentuk proses penilaian yang berusaha membandingkan dua fakta yang bersifat kontradiktif, mengembangkan ciri-cirinya dan membentuk gagasan, konsep atau simpulan (Aminuddin, dalam Mas’ud, 2005:62-64).

2.4 Tujuan Berbicara
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi (Tarigan, 1990:15). Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikannya; dia harus mampu mengevaluasi efek dari komunikasinya terhadap para pendengarnya; dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Pada dasarnya, berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu (1) memberitahukan, melaporkan (to inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade). Gabungan dari maksud-maksud itu pun mungkin saja terjadi. Dalam hal ini, Ocha dan Winker (dalam Mas’ud, 2005:65) mengemukakan bahwa suatu pembicaraan mungkin saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu. Begitu pula, mungkin saja sekaligus menghibur dan meyakinkan.
Menurut Jeffrey (dalam Mas’ud, 2005:65), manusia melakukan wicara dengan tujuan, yaitu (1) bersifat primer dan (2) bersifat sekunder. Tujuan yang bersifat sekunder dibedakan menjadi dua berdasarkan sudut pandangan yang berbeda: (a) sudut pandang psikologi, dan (b) sudut pandangan perspektif. Sedangkan tujuan primer adalah (a) menyampaikan pikiran, perasaan, pengalaman kepada orang lain, (b) memengaruhi orang lain, dan (c) sekadar mengekspresikan perasaannya yang bersifat individual.
Berdasarkan sudut pandangan psikologis, dengan berbicara seseorang dapat memperoleh dukungan (gaining acceptace), dan dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat (adjusting to society). Sementara tujuan sekunder dari sudut pandang perspektif yang lebih luas tampak bahwa dengan berbicara manusia (a) dapat mentransmisikan nilai-nilai kultural, (b) memelihara kohesi sosial, (c) mengestafetkan suatu generasi ke generasi lain, dan sebagainya.

2.5 Karakteristik Berbicara
Jeffery (dalam Mas’ud, 2005:66-68) mengatakan bahwa berbicara memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk komunikasi yang lain. Karakteristik berbicara tersebut adalah (1) berbicara bersifat purposif, (2) berbicara bersifat interaktif, (3) berbicara bersifat fana, (4) berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu, (5) berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman, (6) berbicara alpa tanda baca, dan (7) berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif.
(1) Berbicara bersifat purposif
Dengan pemahaman yang baik tentang karakteristik ini, pembicara diharapkan tahu pasti bahwa bercerita dilakukan seseorang dengan tujuan tertentu, misalnya (a) memberi tahu, (b) meyakinkan orang lain, (c) memengaruhi orang lain, (d) menghibur, (e) memberikan inspirasi, (f) mendamaikan atau melerai, dan sebagainya.

(2) Berbicara bersifat interaktif
Pembicara sadar bahwa berbicara dilakukan karana ingin berhubungan dengan orang lain. Kita tiak perlu berbicara bila tidak ada lawan bicara (reicever).

(3) Berbicara bersifat fana
Berbicara memiliki sifat mudah berubah, cepat berlalu dan hilang. Sekali kata-kata yang mengandung pesan tertentu diucapkan, sekali itu pula ia berlalu. Berbicara secara alami tidak bisa didengar ulang. Ini berarti bahwa pada detik pesan disampaikan dengan simbol-simbol fonetis, pada detik itu pula pendengar harus memahaminya. Hal ini menyarankan kepada pembicara agar memaksimalkan kecerdasannya alam berbicara, mulai dari persiapan hingga pelaksanaannya. Kecermatan dan ketepatan sangat diperlukan mulai dari ucapan, pemilihan kata, penyusunan kelompok kata, struktur kalimat, paraton sampai dengan persendian, tekanan, dan intonasinya.

(4) Berbicara selalu terjadi pada bingkai tertentu
Berbicara tidak pernah terjadi dalam kevakuman. Berbicara selalu terjadi dalam tempat, waktu, situasi, dan kondisi tertentu. Berbicara yang efektif memperhitungkan and menyesuaikan diri dengan waktu, tempat, situasi, dan kondisi. Tipe dan tindak komunikasinya sangat ditentukan oleh keempat faktor tersebut.

(5) Berbicara diwarnai perbendaharaan pengalaman
Pengalaman membuktikan bahwa kita sering mengalami kesulitan melakukan komunikasi berbicara dengan orang yang memiliki latar pengalaman yang berbeda. Sebuah kata yang sama bisa ditafsirkan berbeda oleh kedua belah pihak yang sedang berkomunikasi karana mereka memiliki latar pengalaman dan kehidupan yang berbeda.

(6) Berbicara alpa tanda baca
Dalam komunikasi tertulis, pemahaman dapat dibantu dengan penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital, dan indentasi. Dalam komunikasi berbicara, hal itu tidak didapatkan. Oleh karena itu, ketepatan dan kejelasan ucapan, persendian, intonasi, dan gerak-gerik fisik merupakan faktor penting dalam rangka memahami pesan yang disampaikan.

(7) Berbicara memiliki kosakata yang lebih terbatas dan distingtif
Pada umumnya, orang lebih banyak menangkap kosakata dari apa yang dibaca daripada yang didengarkan. Menyadari keadaan seperti ini, pembicara cenderung menyederhanakan kosakata yang dipakainya, baik secara kualitas maupun kuantitas.

2.6 Permainan Simulasi
2.6.1 Pengertian Permainan
Bermain atau permainan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak (Sudono, 2000:1). Jika pengertian bermain dipahami dan sangat dikuasai, kemampuan itu akan berdampak positif pada cara kita dalam membantu proses belajar anak.
Montessori (dalam Sudono, 2000:3), seorang tokoh pendidikan menekankan bahwa ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Untuk itu, perencanaan dan persiapan lingkungan belajar anak harus dirancang dengan saksama sehingga segala sesuatu merupakan kesempatan belajar yang sangat menyenangkan bagi anak itu sendiri. Mayke (dalam Sudono, 1995) dalam bukunya “Bermain dan Permainan” menyatakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, mengeksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Di sinilah proses pembelajaran terjadi. Mereka mengambil keputusan, memilih, menentukan, mencipta, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat dan memecahkan masalah, mengerjakan secara tuntas, bekerja sama dengan teman, dan mengalami berbagai macam perasaan.
Bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif (Hughes dalam Sudono, 1995). Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas adalah kelancaran, fleksibel, pilihan, orisinal, elaborasi dengan latihan menjawab, luwes dalam menerima beragam jawaban, mampu memilih jawaban yang paling tepat, jawaban yang tidak menyontek. Untuk itu, perlu adanya kerja keras. Hal itu juga akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Proses ini bisa disebut dengan 4P, yaitu Pribadi, Pendorong, Proses, dan Produk (Utami Munandar dalam Sudono, 1991). Pengalaman-pengalaman itulah yang merupakan dasar dari berbagai tingkat perkembangan dan sangat membantu meningkatkan kemampuan anak.

2.6.2 Pengertian Permainan Simulasi
Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya pura-pura atau berbuat seolah-olah. Kata simulation artinya tiruan atau perbuatan yang pura-pura. Dengan demikian, simulasi dalam metode mengajar dimaksudkan sebagai cara untuk menjelaskan sesuatu (bahan pelajaran) melalui perbuatan yang bersifat pura-pura atau melalui proses tingkah laku imitasi, atau bermain peranan mengenai suatu tingkah laku yang dilakukan seolah-olah dalam keadaan yang sebenarnya.
Dalam kamus Bahasa Inggris karangan Echols dan Shadily (1992:527) bahwa simulasi berarti pekerjaan tiruan/meniru. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2002:1068) bahwa simulasi merupakan metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya.
Pengertian model permainan simulasi (simulation game model) menurut Richard Kindsvatter (1996:269) adalah berikut ini.
A simulation is a dynamic model illustrating a physical (nonhuman) or social (human) system that is abstracted from reality and simplified for study purposes.
(Permainan simulasi adalah sebuah model penggambaran yang dinamis tentang suatu sistem sosial (manusia) atau fisik (bukan manusia) yang diabstraksi dari realita dan disederhanakan untuk alasan studi).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur pada model permainan simulasi adalah: sistem sosial atau fisik (physical or social system), abstraksi (abstracted), realitas (reality) dan penyederhanaan (simplified) dan alasan studi (study purposes).
Jadi, permainan simulasi adalah model yang mengilustrasikan atau menggambarkan baik sistem sosial maupun sistem fisik yang diabstraksi dari realitas dan disederhanakan. Berdasarkan peristiwa yang sebenarnya, dilakukan abstraksi (pemindahan) terhadap kondisi-kondisi yang mendukung terjadinya peristiwa tersebut, ditambah dengan penyederhanaan-penyederhanaan, kemudian menyusun ulang peristiwa tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi yang telah disederhanakan. Di samping itu, metode permainan simulasi cocok diterapkan pada semua tingkatan siswa, dari siswa taman kanak-kanak, sampai siswa pada tingkatan yang lebih tinggi. Pernyataan ini didukung oleh Richard Kindsvatter (1996:273).
The range of simulation available to teachers at all grade levels in all subject areas is impressive. Simulations have been used in classroom kindergaden through adult levels.
(Area simulasi yang diterapkan oleh guru pada semua tingkatan siswa. Simulasi sudah pernah diterapkan dari taman kanak-kanak sampai pada tingkatan yang lebih tinggi).
Simulasi adalah tiruan dinamis sebuah model nyata. Prinsip-prinsip simulasi: simulasi dilakukan oleh kelompok siswa; tiap kelompok mendapatkan kesempatan melaksanakan simulasi yang sama atau dapat juga berbeda; semua siswa harus terlibat langsung menurut peranan masing-masing; penentuan topik disesuaikan dengan tingkat kemampuan kelas; dibicarakan oleh siswa dan guru; petunjuk simulasi diberikan terlebih dahulu; dalam simulasi hendaknya digambarkan situasi yang lengkap; hendaknya diusahakan terintegrasi dengan beberapa ilmu (Hasibuan dan Moedjiono, 1993:27).
Model permainan simulasi didesain untuk membantu siswa mempelajari dan menganalisis dunia nyata secara aktif. Siswa yang terlibat dalam simulasi mempunyai peranan masing-masing dan berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Siswa mengambil keputusan sendiri dan menanggung konsekuensi dari keputusannya. Metode pembelajaran yang seperti ini, tentunya memudahkan siswa memahamai konsep-konsep pelajaran, karena objek yang dipelajari siswa dapat mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

2.6.3 Pola Dasar Permainan Simulasi
Permainan simulasi merupakan gabungan antara bermain dan berdiskusi. Bermain dan diskusi di sini dilaksanakan dalam kelompok. Oleh karena itu, permainan merupakan suatu kegiatan kelompok. Sebagai suatu metode, maka pola dasar permainan simulasi adalah berikut ini.
a) Ada kelompok belajar atau kelompok siswa yang akan melaksanakan kegiatan permainan simulasi yang terdiri atas 10-15 orang. Jika dalam keadaan terpaksa, bisa dilaksanakan kurang atau lebih dari jumlah tersebut.
b) Setiap warga belajar (siswa) yang mengikuti permainan simulasi tersebut dinamakan peserta. Dari seluruh peserta ini, dapat dibagi-bagi penamaannya dalam kelompok itu, yakni ada yang dinamakan fasilitator, pemain, peneliti, pemegang peran, dan penonton.
c) Permainan simulasi mempunyai alat permainan yang disebut beberan lengkap dengan gaco dan alat penentu langkah, kartu berwarna, buku pegangan fasilitator, buku catatan fasilitator. Beberan berupa kertas manila yang dibentangkan sebagai media permainan.
Pesan-pesan permainan dituliskan pada beberan dan pada katu berwarna.
d) Bermain dan berdiskusi dilaksanakan berdasarkan aturan main dan menurut pesan-pesan yang ada dalam beberan atau kartu berwarna. Pada akhir permainan dibuatkan simpulan oleh fasilitator sebagai hasil simpulan diskusi.
(Tim BP7 Pusat, 1985:12-13)
2.6.4 Tujuan Permainan Simulasi
Simulasi sebagai metode mengajar bertujuan:
1) melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari,
2) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip,
3) melatih memecahkan masalah,
4) meningkatkan keaktifan belajar dengan melibatkan siswa dalam memelajari situasi yang hampir serupa dengan kejadian yang sebenarnya,
5) memberikan motivasi belajar kepada siswa,
6) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok,
7) menumbuhkan daya kreatif siswa,
8) melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
(Sudjana, 1989: 89-90)
2.6.5 Peranan Guru dalam Permainan Simulasi
Dalam pembelajaran menggunakan model yang menuntut siswa berpartisipasi secara aktif, peranan guru sangat minimal. Guru tidak lagi menjadi sumber pengetahuan bagi siswa, yang sepanjang jam pelajaran berceramah menumpahkan pengetahuan untuk siswanya. Guru hanyalah menjadi fasilitator yang mengatur dan menjaga agar pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan apa yang diharapkan dan mencapai tujuan pembelajaran.
Sehubungan dengan model pembelajaran simulasi, peranan guru dalam pembelajaran dibagi atas empat bagian (Bruce Joyce dalam Sukmadewi, 2003:13). Keempat peranan dimaksud yaitu: (1) memberikan penjelasan (explaining), (2) pengawasan (controlling), (3) pembinaan (coaching), dan (4) diskusi (discussion). Keempat peranan guru tersebut dijelaskan di bawah ini.
(1) Memberikan Penjelasan
Memberikan penjelasan yang dimaksud di sini, bukanlah menjelaskan materi pelajaran, tetapi penjelasan yang dimaksud adalah memberikan siswa penjelasan tentang aturan-aturan permainan yang akan digunakan siswa dalam permainan simulasi. Dalam belajar simulasi, siswa memerlukan pengertian terhadap aturan-aturan yang digunakan dalam simulasi.
(2) Pengawasan
Sebelum pelaksanaan simulasi, guru perlu menyiapkan siswa, apakah perlu pengelompokan atau tidak, alat dan bahan pelajaran apa saja yang diperlukan. Dalam pelaksanaan simulasi, guru mempunyai tugas mengontrol jalannya simulasi agar berjalan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disiapkan. Guru mengawasi bagaimana aturan-aturan dalam permainan simulasi diikuti oleh siswa.

(3) Pembinaan
Guru berperanan sebagai pembina dalam permainan simulasi, memberikan beberapa saran jika diperlukan agar simulasi dapat berjalan dengan lebih baik. Mengeksploitasi seoptimal mungkin pembelajaran menggunakan model permainan simulasi agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi siswa.
(4) Diskusi
Setelah proses pembelajaran yang menggunakan model permainan simulasi, diperlukan adanya suatu diskusi tentang permainan simulasi dan hubungannya dengan dunia nyata. Termasuk juga kesulitan-kesulitan yang dialami siswa selama pelaksanaan simulasi.
Dengan melihat keempat peranan guru dalam permainan simulasi di atas, maka dapat dikatakan guru mempunyai fungsi manajerial. Seperti yang dikatakana Bruce Joyce (dalam Sukmadewi, 2003:13):
the teacher has an important role to play in raising student’s consciousness about the concepts and principles underpinning the simulation and their own reactions. In addition, the teacher has important managerial functions.
(Guru memiliki peranan yang penting dalam meluruskan ketidakpahaman siswa tentang konsep-konsep dan dasar-dasar simulasi dan reaksi mereka sendiri, dan guru mempunyai fungsi pengaturan yang penting).

2.6.6 Fase-fase dalam Permainan Simulasi
Fase-fase dalam model pembelajaran permainan simulasi telah dikembangkan oleh Bruce Joyce et al (Richard Kindsvatter dalam Sukmadewi, 2003:18). Fase-fase dalam model pembelajaran permainan simulasi dibagi atas empat bagian, yaitu: (1) orientasi (orientations), (2) penyiapan peserta, dalam hal ini siswa (participant preparations), (3) pelaksanaan simulasi (simulation/enactment operations), (4) diskusi hasil-hasil simulasi (debriefing discussion).
Paparan tentang fase-fase model pembelajaran permainan simulasi akan memberikan pedoman dalam operasional permainan.
(1) Orientasi
Fase ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. menjelaskan aturan permainan simulasi,
b. pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan,
c. penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Siswa memerlukan orientasi terhadap permainan simulasi yang akan diikuti. Fase ini bermanfaat bagi siswa jika sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan pembelajaran yang menggunakan simulasi. Perlu dijelaskan kepada siswa mengenai permasalahan yang akan disimulasikan, termasuk juga mengapa digunakan metode ini dalam pembelajaran.
Bagian terpenting dalam fase ini adalah penjelasan terhadap situasi simulasi. Siswa diberikan bayangan-bayangan dalam pelaksanaan simulasi. Hal lain yang perlu dijelaskan kepada siswa adalah tentang tujuan yang akan dicapai setelah permainan simulasi selesai. Penjelasan terhadap situasi permainan dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman dalam melakukan pembahasan terhadap hasil-hasil simulasi.
(2) Penyiapan peserta
Bagian-bagian dari fase ini adalah:
a. menyusun skenario simulasi
b. menetapkan prosedur
c. mengorganisasikan peserta
Pada fase ini, guru menyusun dan menjelaskan kepada siswa skenario simulasi, yaitu tentang apa saja yang akan dilakukan oleh peserta simulasi. Termasuk di dalamnya adalah aturan-aturan yang harus diikuti siswa, prosedur dan keputusan-keputusan yang harus dilakukan siswa dalam simulasi.
Langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan peserta. Jika siswa perlu dikelompokkan, maka guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Berikutnya adalah pembagian peranan dalam permainan simulasi. Siapa atau kelompok mana yang mempunyai suatu peranan perlu dijelaskan kepada siswa. Juga, apa yang dilakukan oleh masing-masing pemegang peran.
(3) Pelaksanaan simulasi
Bagian-bagian fase ini terdiri atas simulasi, dan penutup simulasi. Fase pelaksanaan simulasi adalah bagian utama dari metode ini. Pada fase ini, semua komponen berinteraksi untuk memperoleh pengalaman-pengalaman yang disimulasikan, selanjutnya hal itu dipahami sebagai bagian dari pelajaran. Siswa menerapkan permainan, sementara guru memfasilitasi pelaksanaan simulasi. Fasilitasi yang dilakukan oleh guru sangat penting, karena guru menginginkan siswa mempunyai cukup kebebasan untuk menganalisis situasi, menyelesaikan permasalahan, dan membuat keputusan tanpa terlalu banyak campur tangan dari guru. Siswa akan mempunyai pengertian di dalam dirinya bahwa mereka telah melakukan sesuatu untuk memperoleh pengetahuan bagi mereka sendiri. Singkatnya, guru hanya mengarahkan jika perlu, khususnya menjaga siswa agar berada dalam perannya masing-masing. Akhirnya, guru menutup simulasi, jika permainan tersebut sudah berakhir.
(4) Diskusi
Bagian dari fase diskusi adalah berikut ini.
a. Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi,
b. Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata
Permainan simulasi bukanlah pengalaman belajar, tetapi pembelajaran yang sebenarnya baru ditentukan setelah diskusi. Setalah diskusi berakhir, barulah siswa memperoleh pelajaran yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa. Menurut Stadsklev, pada fase ini terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: pengalaman, identifikasi, analisis, dan generalisasi.
Pada fase ini, semua pengalaman yang diperoleh selama simulasi perlu direview agar nantinya dihubungkan dengan pelajaran dan dunia nyata. Identifikasi bermakna mendeskripsikan pengalaman dalam data-data yang terkumpul. Analisis dilakukan untuk melihat simulasi secara lebih mendalam dan bermakna, sehingga diperoleh pemahaman yang lebih baik. Terakhir adalah generalisasi, yaitu membuat generalisasi dari hasil-hasil yang diperoleh selama simulasi untuk memperoleh pengetahuan yang dituntut untuk dikuasai oleh siswa.
Fase-fase dalam model permainan simulasi di atas dapat diringkas dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1: Fase-fase permainan simulasi
FASE I FASE II
a) Menjelaskan aturan permainan simulasi.
b) Pandangan terhadap permasalahan yang akan disimulasikan.
c) Penjelasan terhadap tujuan yang ingin dicapai. a) Menyusun skenario simulasi.
b) Menetapkan prosedur
c) Mengorganisasikan peserta
FASE III FASE IV
a) Simulasi
b) Penutup simulasi a) Refleksi terhadap pelaksanaan simulasi.
b) Menghubungkan simulasi dengan dunia nyata.

2.7 Metode Permainan Simulasi dalam Meningkatkan Aktivitas Belajar dan Hasil Belajar Siswa
Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan (Diknas, 2003:11). Hal itu dapat dirujuk dari fungsi bahasa itu sendiri sebagai alat untuk berkomunikasi. Dalam kurikulum (baik di SD, SMP, maupun SMA), bahasa Indonesia mendapatkan alokasi waktu mengajar tiga kali dalam seminggu. Hal ini tidak lepas dari kompleksnya materi bahasa Indonesia yang meliputi keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis), apresiasi sastra, serta komponen kebahasaan yang lain. Keterampilan maupun pengetahuan bahasa ini menuntut penguasaan siswa. Kompleksnya materi serta banyaknya alokasi waktu mengajar menyebabkan motivasi siswa menurun. Rendahnya motivasi siswa dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa. Kondisi ini terbukti dari data hasil observasi awal bahwa prestasi belajar siswa pada semester ganjil tahun ajaran 2005/2006 diperoleh bahwa nilai rata-rata kelas untuk keterampilan berbicara siswa adalah 65. Kondisi ini makin diperburuk oleh adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa sendiri, sehingga tidak terlalu penting untuk dipelajari.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemilihan metode yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan dapat menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran (Furqanal. Dkk., 1995:5). Penerapan metode permainan simulasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan hasil dan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara. Metode bermain esensinya adalah suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan. Metode ini dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa dalam memahami konsep, menguatkan konsep yang dipahami, atau memecahkan masalah.
Bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif (Hughes, dalam Sudono, 1995). Unsur-unsur yang merupakan daya kreativitas akan muncul ketika anak bermain. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Belajar dan bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Sejatinya, di sinilah proses pembelajaran (Mayke, dalam Sudono, 1995).
Permainan yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah simulasi. Model permainan simulasi merupakan sebuah metode pembelajaran yang memperhatikan pengetahuan awal siswa yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam permainan ini, siswa yang terlibat memiliki peranan masing-masing dan berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Model pembelajaran permainan simulasi merupakan model yang tepat dipergunakan untuk melatih sekaligus meningkatkan kemampuan berbicara siswa, karena model ini dapat menyesuaikan permasalahan dengan pengetahuan yang diperoleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa. Penelitian itu di antaranya adalah: 1) Soemanti (2003) tentang penerapan metode permainan simulasi tematis untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris siswa menunjukkan bahwa metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa; 2) Sukmadewi (2003) menunjukkan hasil yang sama bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa pada pelajaran Matematika pokok bahasan Aritmatika; dan 3) Reni (2004) tentang penerapan metode permainan simulasi dalam pembelajaran Fisika untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa juga menunjukkan hasil yang sama. Hasil penelitian tersebut sekaligus memberikan penguatan bahwa penerapan metode pembelajaran permainan simulasi cocok diterapkan pada berbagai bidang ilmu, dan dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan teori, kemudian diperkuat oleh beberapa hasil penelitian di atas, peneliti mencoba menerapkan metode perminan simulasi dalam pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara. Pada hakikatnya, berbicara dan bermain, khususnya permainan simulasi berpotensi menumbuhkan motivasi siswa dalam berbicara, karena permainan memungkinkan siswa bebas berekspresi dan melakukan aktivitas apa pun Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan metode yang tepat (simulasi) akan menuntun guru dan siswa ke arah kesuksesan pembelajaran. Metode permainan simulasi jika diterapkan dengan baik dan tepat mampu meningkatkan keterampilan berbicara siswa.

2.8 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Tindakan
Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dituntut dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang terampil berbicara cenderung berani tampil di masyarakat. Keterampilan berbicara ini sangat penting posisinya dalam kegiatan belajar-mengajar. Pentingnya keterampilan ini bukan saja bagi guru, tetapi juga penting dikuasai oleh siswa sebagai subjek didik.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, guru sudah tentu menggunakan beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran ialah dengan menerapkan metode permainan simulasi. Pada hakikatnya, bermain adalah kegiatan yang sangat disukai oleh anak-anak. Permainan pada umumnya menghadirkan suasana yang menyenangkan dan dapat menghilangkan rasa jenuh. Kegiatan belajar sambil bermain banyak diterapkan di sekolah-sekolah dengan tujuan agar materi yang diajarkan dapat ditangkap dengan lebih baik oleh anak-anak tanpa rasa jenuh. Materi yang disajikan dikondisikan sedemikian rupa dalam permainan, sehingga materi menjadi menyenangkan untuk dipelajari. Bermain sambil belajar dapat memberikan rasa nyaman pada anak-anak karena mereka dengan leluasa berinteraksi dengan teman-temannya.
Model pembelajaran permainan simulasi merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok diterapkan pada siswa sekolah dasar. Kita ketahui, sekolah dasar merupakan masa yang didominasi oleh aktivitas bermain. Permainan merupakan suatu bentuk rekreasi yang memberikan kesenangan dan memberikan pengalaman yang menarik bagi siswa. Metode simulasi dihadirkan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk bermain dalam konteks belajar. Pada permainan simulasi, siswa bebas berbicara, berimajinasi, berpendapat, dan berekspresi sesuai dengan keinginannya. Ketika berlangsung proses permainan, siswa dilibatkan secara langsung untuk berpikir bagaimana menanggapi, menyikapi, dan memecahkan masalah yang ditawarkan. Permasalahan yang dihadirkan adalah peristiwa faktual yang lekat dengan kehidupan mereka, maupun peristiwa yang terjadi sehari-hari. Model pembelajaran permainan simulasi sangat cocok diterapkan untuk keterampilan berbicara. Dalam metode ini, siswa turut berpartisipasi dan terlibat dan berani memberikan kontribusi, bukan sekadar dijejali informasi.
Berdasarkan teori dan kerangka berpikir sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat diajukan hipotesis tindakan yang dirumuskan berikut ini.
Penerapan metode permainan simulasi dengan tepat dapat meningkatkan pembelajaran keterampilan berbicara siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan penelitian secara efektif, perlu adanya tahapan kerja yang sistematis. Dalam hal ini, perlu adanya pegangan metodologis mengenai tahapan kerja yang harus ditempuh. Metode penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting, karena berhasil tidaknya, demikian juga tinggi rendahnya kualitas hasil penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan peneliti dalam memilih metode penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas (Purwadi, dalam Sukidin, 2002). Tujuan PTK secara umum adalah memperbaiki pelaksanaan KBM.
Priyono (dalam Sukidin. dkk, 2002) menyatakan bahwa PTK adalah strategi pengembangan profesi guru, karena: (a) menempatkan guru sebagai peneliti, bukan sebagai informan pasif, (b) menempatkan guru sebagai agen perubahan, dan (c) mengutamakan kerja kelompok antara guru, siswa, dan staf pimpinan sekolah lainnya dalam membangun kinerja sekolah yang baik. Dalam penelitian ini, tindakan yang diberikan adalah penggunaan metode simulasi pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kemampuan berbicara.
Dalam penelitian ini dipergunakan beberapa metode sesuai dengan tahapan kerja yang ditempuh. Metode-metode yang dimaksud berkaitan dengan (1) rancangan penelitian, (2) subjek penelitian, (3) instrumen penelitian, (4) pengumpulan data, dan (5) analisis data.

3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus.
3.1.1 Latar penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan di kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja.
3.1.2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2006/2007. Jadwal penelitian sesuai dengan kalender pendidikan dan jadwal mata pelajaran. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan mulai tanggal 20 Desember 2006 hingga 24 Januari 2007. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus.
3.1.3 Definisi Operasional
 Permainan simulasi dalam penelitian ini adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh siswa dengan cara memerankan atau menggambarkan, baik sistem sosial maupun sistem fisik yang abstraksi dari realitas dan disederhanakan.
 Keterampilan berbicara adalah: suatu keterampilan kebahasaan yang bersifat produktif yang dimiliki seseorang untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, gagasan dengan menggunakan media bahasa berbentuk lisan.
 Hasil belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan berbicara siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran, berupa skor yang dicapai sesudah diadakan tes atau evaluasi.
 Aktivitas belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk terlibat secara optimal dalam proses pembelajaran, sehingga termotivasi, bergairah, dan berkonsentrasi dalam proses belajar mengajar.
3.1.4 Prosedur penelitian tindakan kelas
Prosedur kegiatan dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini mengacu pada teori Kemmis dan Tanggart. Kemmis dan Tanggart (1988:94) mengatakan bahwa action research adalah: “…a form of self-reflective inquiry undertaken by participant in a social (including educational) situation in order to improve the rationality and justice: (1) their own social or educational practices, (2) their understanding of these practices, dan (3) the situations in which practices are carried out.” PTK merupakan suatu bentuk kajian reflektif oleh pelaku tindakan. PTK dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, dan memperbaiki kondisi praktik pembelajaran yang dilakukan.
Penelitian tindakan kelas ini dilakukan secara siklikal, karena harus diuji beberapa kali sampai ditemukan tindakan terbaik untuk memperoleh kavalidan data. Pelaksanaan tindakan kelas pada penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap-tiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu: persiapan tindakan, implementasi tindakan, obervasi dan evaluasi, dan refleksi.
Siklus pertama dilakukan untuk mengidentifikasi masalah pada pembelajaran bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara pada siswa kelas V Sekolah Dasar No.1 Banjar Tegal Singaraja. Masalah yang timbul akan diberikan usaha pemecahan dengan menerapkan model pembelajaran pemainan simulasi.
Siklus kedua merupakan revisi dari tindakan siklus I. Pada dasarnya, prosedur atau langkah-langkah pada siklus II sama dengan pada siklus satu dan model pembelajaran dilakukan masih tetap model pembelajaran permainan simulasi. Segala macam kendala yang dialami pada siklus I diupayakan pemecahan dan perbaikannya pada siklus II. Revisi ini dilakukan pada perbaikan metode simulasi dan partisipasi pada individu siswa. Revisi dilakukan pada metode yang dianggap negatif, sementara yang positif tetap dipertahankan. Pelaksanaan observasi dan refleksi pada siklus II juga sama dengan siklus I.
Siklus penelitian tersebut digambar berikut ini.

Gambar 3.1: Siklus Penelitian Tindakan Kelas

3.1.5 Rincian Prosedur Tindakan
3.1.5.1 Persiapan Tindakan
Sebelum melakukan tindakan, peneliti melakukan persiapan demi kelancaran pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini. Permasalahan yang diidentifikasi pada pembelajaran bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara pada siswa SD Negeri No.1 Banjar Tegal Singaraja, diusahakan pemecahan dengan menerapkan model pembelajaran permainan simulasi. Sesuai dengan model pembelajaran yang dipilih, maka dilakukan persiapan-persiapan oleh peneliti bersama guru seperti berikut ini.
1. Menyusun persiapan mengajar (skenario pembelajaran) sesuai dengan pokok bahasan yang akan diajarkan pada setiap pertemuan. Setiap siklus terdiri atas 3-4 kali pertemuan.
2. Memberi penjelasan dan melatih guru mengenai penerapan metode permainan simulasi .
3. Mengadakan media bantu yang dibutuhkan, yaitu: papan ular tangga; sebuah dadu untuk masing-masing kelompok; dan daftar pertanyaan atau instruksi yang berkaitan dengan tema/sub tema tema.
4. Menyediakan identitas pemain
5. Menyediakan kartu kendali simulasi untuk mengecek apa yang terjadi di dalam kelompok apakah pertanyaan/instruksi dilakukan dengan tepat atau tidak.
6. Aturan permainan yang berisi langkah-langkah yang harus dilakukan selama permainan simulasi berlangsung.
7. Membuat tes hasil belajar untuk evaluasi siklus I.
8. Membuat lembar observasi
3.1.5.2 Implementasi tindakan
Urutan pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini adalah:
1) Guru membuka pelajaran, dengan mengabsensi kehadiran siswa, dan memberikan apersepsi terhadap materi yang akan disampaikan.
2) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran permainan simulasi.
3) Guru menjelaskan aturan-aturan dalam permainan simulasi.
4) Guru mengarahkan siswa pada tema yang akan dibahas.
5) Guru membagi siswa menjadi 4 kelompok (setiap kelompok terdiri atas 5-6 orang siswa).
6) Guru memilih organizer atau pengatur dan pembagian kelompok berisi 5-6 siswa termasuk pengatur.
7) Organizer disuruh ke depan untuk menerima penjelasan lebih rinci.
8) Organizer tersebut akan menerima 1 papan simulasi dan perlengkapan lainnya seperti beberan dan dadu.
9) Setiap kelompok bermain simulasi dalam kelompoknya.
10) Guru dan peneliti memonitor jalannya simulasi.
11) Guru dan peneliti bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain guna melihat apakah simulasi berjalan sesuai prosedur atau tidak.
12) Observer lain (rekan peneliti) memantau aktivitas guru, peneliti, maupun siswa.
13) Guru melaksanakan tes hasil berbicara. Tes ini bersifat individual.
3.1.5.3 Observasi dan Evaluasi
Observasi dilakukan selama berlangsungnya pelaksanaan tindakan. Observasi terhadap aktivitas siswa dilakukan dengan daftar cek sedangkan hal-hal lain yang terjadi selama berlangsungnya proses pembelajaran dicatat pada jurnal.
Pada akhir siklus I siswa diberikan tes hasil belajar mengenai materi yang dipelajari. Tes ini dilakukan secara individual oleh siswa selama 1 jam pelajaran (1X40 menit). Siswa satu per satu disuruh berbicara di depan kelas dengan tema yang sudah ditentukan oleh guru. Kriteria evaluasi berbicara dimodifikasi dari Jakobovits dan Gardan (dalam Ariana, 1998:16). Yang dinilai pada tes berbicara sesuai dengan kriteria berikut ini.
Tabel 3.1: Kriteria tes keterampilan berbicara
No Aspek yang Dinilai Tingkatan Skala

1

2

3

4

5

6

7 Keberanian

Keakuratan informasi
(sangat buruk…….akurat sepenuhnya)

Hubungan antar informasi
(sangat sedikit…….berhubungan sepenuhnya)

Ketepatan struktur, kosakata
(tidak tepat…….tepat sekali)

Kelancaran
(terbata-bata…….lancar sekali)

Kewajaran urutan wacana
(tidak normal…….normal)

Gaya pengucapan
(kaku…….wajar) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nilai (N) yang diperoleh siswa dihitung dengan rumus:
Jumlah skor yang diperoleh
Nilai (N) = ———————————- X 10
Jumlah skor maksimal

Jumlah nilai seluruh siswa
Nilai Rata-rata (Mean) = ———————————-
Jumlah siswa

Kriteria penilaian hasil belajar berbicara siswa (Depdikbud dalam Ariana, 1998:17) adalah berikut ini.
Tabel 3.2: Kriteria penilaian hasil belajar keterampilan berbicara
No Rentangan Nilai
(Kuantitatif)
Rentangan Mutu
(Kualitatif)
1 2 3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 9,5 – 10
8,5 – 9,4
7,5 – 8,4
6,5 – 7,4
5,5 – 6,4
4,5 – 5,4
3,5 – 4,4
2,5 – 3,4
1,5 – 2,4
0 – 1,4 Istimewa (I)
Baik Sekali (BS)
Baik (B)
Lebih dari Cukup (LC)
Cukup (C)
Hampir Cukup (HC)
Kurang (K)
Kurang Sekali (KS)
Buruk (B)
Buruk Sekali (BS)

3.1.5.4 Refleksi
Mengadakan refleksi terhadap tindakan yang telah dilakukan berdasarkan hasil observasi dan tes. Refleksi ini dilakukan untuk menganalisis hambatan-hambatan yang muncul serta alternatif pemecahan yang terbaik. Kriteria yang digunakan untuk menentukan keberhasilan pelaksanaan tindakan adalah berikut ini.
1) Adanya peningkatan aktivitas berbicara siswa yang ditunjukkan dengan peningkatan skor,dan
2) Adanya peningkatan keterampilan berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dari siklus ke siklus.
3) Adanya respons positif siswa yang ditandai dengan pernyataan setuju dari sebagian besar siswa.
Bila hasil-hasil yang diperoleh pada tindakan siklus seperti yang tersebut di atas, peneliti mengambil keputusan bahwa penggunaan metode permainanan simulasi dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal dan tindakan dapat dihentikan.

3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sasaran yang akan dikenai dalam penelitian. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah seluruh siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri No.1 Banjar Tegal yang berjumlah 22 orang beserta guru yang mengajar. Adapun aspek-apek yang diteliti meliputi aktivitas belajar, hasil belajar, dan respons siswa terhadap penerapan metode pembelajaran permainan simulasi.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data (Arikunto, 1990:177). Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen yang disesuaikan dengan sifat data yang diambil, seperti: lembar observasi (check list), tes hasil belajar, jurnal atau catatan harian, dan angket respons siswa.

3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Arikunto, 1990:135). Dalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui metode, seperti berikut ini.
1) Metode Observasi
“Metode observasi adalah suatu cara memperoleh atau mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang suatu objek tertentu” (Agung, 1996:68).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipertegas bahwa metode observasi pada prinsipnya merupakan cara memperoleh data yang lebih dominan menggunakan indera penglihatan (mata) dalam proses pengukuran terhadap suatu objek atau variabel tertentu sesuai dengan tujuan penelitian.
Dalam penelitian ini, metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data aktivitas belajar siswa yang disusun oleh peneliti dan praktisi sebelum pembelajaran berlangsung. Lembar observasi tersebut memuat aktivitas belajar siswa yang perlu diamati dari siswa.
2) Metode Tes
Metode tes digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada siklus I dan siklus II. Bukhari dalam Arikunto (1992:29) mengemukakan bahwa metode tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil belajar tertentu pada seseorang atau kelompok siswa. Dalam penelitian ini, metode tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam setiap siklusnya.
3) Metode Angket
Angket adalah kumpulan dari pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada seseorang (yang dalam hal ini disebut responsden), dan cara menjawab juga dilakukan secara tertulis (Arikunto, 1990:135). Angket merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain dengan maksud agar orang yang diberi angket tersebut bersedia memberikan responss sesuai dengan permintaan pengguna. Orang yang diharapkan memberikan responss ini disebut responsden.
Angket digunakan untuk mendapatkan data mengenai tanggapan atau responss siswa terhadap model pembelajaran permainan simulasi. Angket menggunakan model skala Lirchet dengan lima pilihan yang bersifat gradasi. Angket respons siswa akan diberikan pada akhir siklus II. Angket tidak disebarkan pada akhir siklus I, seperti halnya observasi dan tes. Hal ini didasari, bahwa angket disebarkan sebatas mengetahui responss siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan. Kajian refleksi hanya didasarkan pada hasil observasi dan hasil tes. Angket Pendapat siswa terhadap penerapan model pembelajaran permainan simulasi pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang terkait dengan keterampilan berbicara dijaring dengan angket model skala Lirchet dengan pilihan sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Masing-masing pilihan pada tiap item diberi skor. Untuk pernyataan positif: SS = 5; S = 4; R = 3; TS = 2; dan STS = 1, sedangkan untuk pernyataaan negatif: SS = 1; S = 2; R = 3; TS = 4; dan STS = 5. Skor pendapat siswa diperoleh dengan menjumlah skor yang didapatkan siswa tersebut untuk tiap item.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dirangkum pada tabel di bawah ini.
Tabel. 3.3: Teknik pengumpulan data
No Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data
Waktu
1 Aktivitas Belajar Siswa Siswa Observasi Selama pembelajaran berlangsung.

2 Hasil Belajar Siswa Siswa Tes Setelah pembelajaran berlangsung pada masing-masing siklus.

3 Responss Siswa Siswa Angket Pada akhir siklus II (sesudah pelaksanaan tindakan).

3.5 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik berikut ini.
a) Data Aktivitas Belajar Siswa
Data tentang aktivitas belajar siswa dianalisis untuk memperoleh gambaran secara klasikal. Data tersebut dianalisis dengan cara deskriptif kuantitatif. Analisis didasarkan pada rata-rata skor aktivitas siswa (X) mean ideal dan (MI) dan standar deviasi ideal (SDI), yaitu:
Mi = ½ (skor tertinggi + skor terendah ideal)
Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal – skor terendah ideal)
(Nurkancana, dalam Sukmadewi, 2003:24)
Selanjutnya, untuk menggolongkan aktivitas siswa digunakan pedoman yang disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.4: Kriteria penggolongan aktivitas belajar siswa
Rentang skor Kategori
≥ Mi + 1,5 Sdi
Sangat aktif
Mi + 0,5 Sdi ≤ < Mi + 1,5 Sdi
Aktif
Mi – 0,5 Sdi ≤ < Mi + 0,5 Sdi
Cukup aktif
Mi – 1,5 Sdi ≤ < Mi – 0,5 Sdi
Kurang aktif
< Mi – 1,5 Sdi
Sangat kurang aktif
(Subaryati, 1997:20)
Untuk aktivitas siswa, skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal adalah 24 dan 0 dengan demikian dapat dihitung mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (Sdi), yaitu:
Mi = ½ (24 + 0) = 12 dan Sdi = 1/6 (24-0) =4
Dengan demikian, penggolongan aktivitas siswa di atas menjadi:
Tabel 3.5: Kriteria penggolongan aktivitas siswa berdasarkan Mi dan Sdi
Rentang Skor Kategori
≥ 18
Sangat aktif
14 ≤ < 18
Aktif
10 ≤ < 14
Cukup aktif
6 ≤ < 10
Kurang aktif
< 6
Sangat kurang aktif

Data aktivitas siswa yang terkumpul dihitung untuk memperoleh rata-rata aktivitas siswa ( ), yang selanjutnya dicocokkan dengan kriteria penggolongan di atas. Dengan demikian, dapat ditentukan aktivitas siswa selama proses pembelajaran yang diterapkan. Aktivitas yang ditargetkan dalam penelitian ini tergolong aktif.

b) Data Hasil Belajar Siswa
Data hasil belajar siswa dianalisis dengan cara deskriptif kuantitatif. Rumusnya adalah berikut ini.
 Menentukan rata-rata

Jumlah nilai siswa
X = ————————
Jumlah siswa

 Menentukan ketuntasan individu
Nilai yang dicapai siswa
KI = —————————–
Nilai maksimum
 Menentukan ketuntasan klasikal
Jumlah siswa yang tuntas
KK = ——————————— X 100%
Jumlah seluruh siswa

Dari kriteria keberhasilan, kelas dianggap tuntas jika  85% siswa mendapatkan nilai 7,5 hingga 8,4 ke atas secara individual. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa penguasaan keterampilan berbiara siswa dianggap tuntas.
(Arikunto, 1990)
c) Data Respons Siswa
Data yang menyangkut respons siswa dianalisis untuk memperoleh respons siswa secara klasikal. Analisis ini didasarkan pada data rata-rata ( ) dari skor respons siswa, mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi).
Mi = ½ (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)
Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal – skor terendah ideal)
(Nurkancana dalam Sukmadewi, 2003:25)
Rata-rata kelas ( ) dari respons siswa kemudian dikategorikan dengan pedoman berikut ini.

Tabel 3.6: Kriteria penggolongan respons siswa
Rentang skor Kategori
≥ Mi + 1,5 Sdi
Sangat setuju
Mi + 0,5 Sdi ≤ < Mi + 1,5 Sdi
Setuju
Mi – 0,5 Sdi ≤ < Mi + 0,5 Sdi
Cukup setuju
Mi – 1,5 Sdi ≤ < Mi – 0,5 Sdi
Kurang setuju
< Mi – 1,5 Sdi
Sangat kurang setuju
(Subariyati, 1997:20)
Angket yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 item. Tiap item mempunyai skor maksimal 5 dan minimal 1. Dengan demikian, skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal adalah 30 dan 6, sehingga dapat ditentukan mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi), yaitu:
Mi = ½ (30+6) = 18
Sdi = 1/6 (30-6) = 4
Berdasarkan Mi dan Sdi dari skor respons siswa, maka kriteria penggolongan pendapat siswa di atas menjadi:

Tabel 3.7: Kriteria penggolongan respons siswa berdasarkan Mi dan Sdi
Rentang skor Kategori
≥ 27
Sangat setuju
23 ≤ < 27
Setuju
19 ≤ < 23
Cukup setuju
15 ≤ < 19
Kurang setuju
< 15
Sangat kurang setuju
Rata-rata kelas ( ) dari skor respons siswa yang diperoleh selanjutnya dicocokkan dengan kriteria penggolongan di atas. Dengan demikian, dapat ditentukan respons siswa terhadap pembelajaran yang diterapkan. Respons siswa yang ditargetkan dalam penelitian ini tergolong setuju.
Secara keseluruhan, penelitian ini dikatakan berhasil apabila hasil belajar siswa mengalami peningkatan, baik dari refleksi awal maupun dari siklus awal sebelumnya. Penelitian ini diselenggarakan dalam dua siklus, dan siklus penelitian akan dihentikan jika 85% siswa mendapatkan nilai 7,5 hingga 8,4 ke atas secara individual. Rentangan ini berada pada kategori baik. Skor ini sesuai dengan target kurikulum yang ditetapkan. Demikian pula dengan aktivitas belajar siswa minimal berkategori aktif dan respons siswa terhadap proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran permainan simulasi minimal berkategori setuju.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian sebagaimana tertera pada tujuan penelitian, diperlukan dua siklus. Siklus I memerlukan dua kali pertemuan dengan alokasi waktu dua jam pelajaran. Usai pertemuan kedua, guru menyelenggarakan tes berbicara untuk mengukur perkembangan kemampuan berbicara siswa. Siklus II juga memerlukan dua kali pertemuan dengan alokasi waktu dua jam pelajaran. Evaluasi kemampuan berbicara dilaksanakan pada akhir pertemuan kedua. Perkembangan hasil dari siklus ke siklus hingga diperoleh hasil akhir seperti diuraikan berikut ini.
4.1.1 Siklus I
Penelitian tindakan kelas ini melibatkan siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja yang berjumlah 22 orang sebagai subjek penelitian. Data yang dicari adalah data tentang aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan. Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Sebelum pelaksanaan penelitian, peneliti mendatangi sekolah bersangkutan untuk menjelaskan tujuan kedatangan peneliti. Dengan senang hati, para pengajar di sekolah dasar tersebut menerima kehadiran peneliti. Bersamaan dengan itu, peneliti menjelaskan bahwa tujuan kedatangan peneliti untuk menerapkan sebuah metode. Metode tersebut adalah permainan simulasi. Spontan guru bahasa Indonesia merespons, “Apakah metode permainan simulasi itu?” Peneliti menjawab bahwa metode permainan simulasi adalah semacam metode bermain peran dengan menggunakan media bantu berupa beberan yang berisi pertanyaan. Ada pula sebuah dadu sebagai penentu langkah dalam permainan. Permainan ini semacam ular tangga, hanya saja dalam permainan ular tangga tidak berisi pertanyaan. Sementara dalam permainan simulasi terdapat pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa sesuai dengan instruksi yang ada pada beberan. Simulasi adalah sebuah metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk semua tema, dan dapat dimulai pada tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar. Penentuan materi pada permainan simulasi bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku. Namun, peneliti mencoba menyatukannya dengan kurikulum dan menyesuaikannya dengan kemampuan siswa kelas V SD. Metode ini akan diterapkan di kelas V untuk meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Guru mengangguk dan menawarkan kepada peneliti tentang kapan penelitian akan dimulai. Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa penelitian akan dilaksanakan hari Senin, pukul 07.10—08.30; hari Selasa, pukul 11.30—12.50; dan hari Rabu, pukul 09.45—11.05. Sesaat, guru kelihatan belum puas dengan jawaban peneliti. Dia menegaskan kembali apakah guru atau peneliti yang akan menerapkan metode tersebut. Jika guru yang akan menerapkan, tentu akan mengalami kesulitan karena metode tersebut belum akrab dalam pengajaran dan tidak pernah diterapkan sama sekali. Akhirnya peneliti mengatakan bahwa metode tersebut akan disosialisasikan terlebih dahulu. Sebelum guru mengajar dengan metode permainan simulasi, guru diberikan pelatihan bagaimana cara menerapkannya di dalam kelas. Guru terlihat antusias dan siap untuk menerapkannya. Selama setengah jam, dialog mengenai seluk-beluk permainan simulasi terhenti, karena guru harus melanjutkan pengajaran. Peneliti mohon diri, dan kembali memastikan bahwa penelitian akan mulai dilaksanakan pada hari Rabu, 10 Januari 2007.
Pada pertemuan pertama, peneliti ke sekolah tujuan penelitian berbekal lembar observasi untuk memantau aktivitas siswa selama proses belajar-mengajar belangsung dengan menerapkan metode permainan simulasi. Ketika peneliti mulai memasuki kelas, situasi kelas agak gaduh karena ulah siswa yang belum terpenuhi oleh rasa ingin tahunya terhadap kehadiran peneliti. Ada yang bertanya, “Bapak mengajar di sini?” Ada pula yang berceloteh sambil lalu, “Apa yang ada dalam bungkusan itu, Pak!” Peneliti hanya tersenyum dan menjawab singkat, “Nanti kalian akan melihat sendiri.” Guru menyuruh siswa agar segera kembali ke tempat duduk agar bersiap menerima pelajaran. Sebelum memulai pelajaran, guru memperkenalkan peneliti kepada siswa.
Pertemuan pertama, guru mengajarkan tema perhubungan, dengan kompetensi dasar memberikan pendapat tentang persoalan faktual. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit. Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran akan dilaksanakan dengan menggunakan metode permainan simulasi. Ketika guru menjelaskan dan membahas tentang metode permainan simulasi, konsentrasi siswa tercurah penuh pada guru. Mereka tampak serius memperhatikan guru, tetapi tidak terdapat siswa yang menyela untuk bertanya tentang simulasi maupun langkah permainan simulasi itu sendiri yang belum dipahami. Pada konteks ini, guru lebih banyak berbicara untuk menjelaskan prosedur permainan simulasi yang akan diterapkan. Guru membutuhkan waktu lebih kurang 15 menit untuk menjelaskan tentang seluk-beluk permainan. Usai menjelaskan metode permainan simulasi, guru menjelaskan materi yang akan diajarkan. Mengawali pelajaran guru bertanya, “Siapa yang tahu, apa arti kata faktual?” Tidak ada satu pun yang merespons pertanyaan guru. Pertanyan guru tidak terhenti sampai di situ. Guru kembali bertanya, “Siapa yang tahu, apa itu faktual.” Salah seorang siswa menjawab sekenanya bahwa faktual adalah berita yang sering terdengar di televisi. Guru terus menggali keberanian siswa agar mau mengemukakan pendapat dengan cara meminta siswa yang lain untuk menanggapi atau memberikan pendapat versi lain. Siswa tetap apatis dan tutup mulut sambil melihat teman di sekitarnya. Akhirnya, guru menjawab sendiri tentang arti kata faktual. Selanjutnya, pertanyaan guru kembali bergema, “Apa saja yang termasuk dalam persoalan faktual?” Pertanyaan ini membuat siswa kelihatan berpikir keras untuk menemukan arti kata faktual. Ada yang berbisik pada teman sebelahnya. Entah apa yang sedang dibisikkan. Ada pula yang terus mengumpulkan ingatan untuk memecahkan pertanyaan tersebut. Suasana tetap tenang. Tidak ada seorang pun yang berpendapat. Merasa tidak direspons oleh siswa, akhirnya guru menjelaskan dan menjawab sendiri tentang persoalan faktual tersebut. Tampak siswa manggut-manggut seolah ikut mengiakan. Beberapa orang mencatat arti kata faktual yang disampaikan oleh guru.
Memasuki kegiatan inti pelajaran, guru membagi siswa ke dalam empat kelompok berdasarkan keanekaragaman gender dan perbedaan kemampuan akademik. Setiap kelompok berjumlah 5 hingga 6 orang siswa. Pada saat pengorganisasian kelompok belajar, siswa tampak ramai dan ribut. Ada siswa yang berlari ke sana ke mari menari anggota kelompoknya. Ada yang saling memperebutkan tempat duduk, dan ada pula siswa yang mendekati guru dan peneliti sekadar mananyakan tentang metode permainan simulasi yang diterapkan. Mereka sungguh antusias dan menyambut dengan riang gembira. Tanpa disadari, efek samping dari penerapan metode ini memungkinkan siswa berbicara walaupun terlepas dari topik yang diajarkan. Peranan guru dalam hal ini sungguh berarti untuk membimbing siswa pada pemahaman, terutama tentang permainan yang hendak dilaksanakan. Proses pengorganisasian kelompok cukup menyita waktu.
Setelah siswa berada dalam kelompok masing-masing, guru membagikan media permainan simulasi beserta perlengkapan permainan lainnya. Sebelum memulai permainan, guru memanggil dua orang siswa sebagai model untuk mendemonstrasikan permainan simulasi. Siswa begitu cermat memperhatikan cara bermain maupun instruksi yang dilontarkan oleh guru.
Usai pemodelan yang dilakukan oleh dua orang siswa, guru memerintahkan siswa agar segera bermain simulasi dalam kelompok masing-masing. Guru dan peneliti yang berperan sebagai fasilitator berkeliling untuk memantau situasi permainan yang dilakukan siswa. Guru dan peneliti mendatangi kelompok demi kelompok untuk menanyakan kesulitan yang dialami siswa. Jika ditemukan kesulitan dan ketidakpahaman siswa, maka guru maupun peneliti segera memberikan penjelasan terhadap masalah yang dialami siswa.
Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa mulai bermain simulasi. Salah seorang yang bertindak sebagai organizer mengocok lempengan yang berisi angka 1 sampai 15. Kemudian angka tersebut dicocokkan dengan daftar pertanyaan yang ada pada beberan yang tersedia. Siswa secara bergiliran mendapatkan pertanyaan. Guru dan peneliti tetap melanjutkan pemantauan terhadap situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. Belum genap sejam pembelajaran berlangsung, konsentrasi siswa terpecah oleh kehadiran siswa kelas lain. Mereka datang mengerumuni kelas V yang sedang belajar. Ada yang mendatangi dari arah belakang di balik gerawang, dan ada pula yang melihat situasi pembelajaran dari arah depan, yakni di pintu masuk. Siswa yang awalnya serius dan berkonsentrasi dalam permainan tiba-tiba menyahut untuk memberikan respons terhadap stimulus yang datang dari luar kelas. Suasana pembelajaran terganggu oleh kehadiran siswa-siswa tersebut. Guru dan peneliti berusaha mengembalikan konsentrasi siswa dengan cara menyuruh siswa yang dominan dari kelas rendah tersebut untuk meninggalkan ruangan kelas V. Sebagaian ada yang langsung angkat kaki meninggalkan ruangan, namun ada juga yang betah menonton proses pembelajaran. Rombongan anak-anak kelas lain terus-menerus mengalir. Akhirnya peneliti ke luar ruangan untuk mengajak mereka masuk ke kelasnya masing-masing.
Suasana kembali tenang. Permainan simulasi terus berlanjut dan berlangsung alot dan seru. Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa bermain simulasi. Beragam ekspresi yang ditunjukkan oleh siswa pada saat permainan simulasi. Ada siswa yang kelihatannya berpikir keras untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ada pada beberan. Ada siswa yang menyela jawaban pertanyaan temannya diiringi dengan komentar yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Ada pula siswa yang ketika ditanya oleh temannya tentang sesuatu yang belum dipahami tidak dijawab sama sekali. Sementara pada kelompok yang lain terlihat bahwa siswa sungguh-sungguh bermain simulasi. Ada pula yang mengobrol sambil bermain. Tidak sedikit yang tertawa ngakak sambil bermain. Guru dan peneliti terus-menerus mengawasi siswa yang sedang bermain simulasi.
Aktivitas siswa begitu beragam ketika bermain simulasi. Berdasarkan data yang dianalisis melalui observasi didapatkan bahwa rata-rata aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada siklus I observasi I berada pada kategori cukup aktif, yaitu sebesar 11,8. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam pembelajaran belum memenuhi harapan ideal penelitian, sebab aktivitas siswa yang diharapkan dalam penelitian ini minimal berkategori aktif, yakni berada pada kategori 14 ≤ < 18.
Jam pelajaran akan segera berakhir. Begitu pula dengan permainan simulasi akan segera diakhiri. Siswa kembali pada tempat duduknya semula. Sebelum guru mengakhiri pembelajaran, terlebih dahulu guru meminta siswa untuk menyimpulkan matari yang telah selesai diajarkan. Guru memberikan kebebasan pada siswa untuk menyimpulkannya. Tidak tampak satu pun siswa yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Siswa kembali terpaku dan saling menunggu siapa yang lebih dahulu menyimpulkan materi pelajaran. Bel berdering hingga akhirnya guru yang menyimpulkan sendiri materi pelajaran tersebut. Proses pembelajaran yang berlangsung pada siklus I pertemuan I berakhir sesuai dengan perencanaan. Peneliti sengaja merancang pertemuan I hanya memfokuskan pada permainan simulasi, karena didasari oleh pemikiran bahwa waktu akan banyak digabiskan untuk menyosialisasikan metode tersebut kepada siswa.
Hari berikutnya peneliti melanjutkan siklus I pertemuan II. Peneliti melaksanakan pertemuan kedua pada hari Senin, 15 Januari 2007. Pertemuan ini membahas tema kesehatan, dengan kompetensi dasar menanggapi suatu persoalan atau peristiwa. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit.
Pada pertemuan kedua, peneliti merancang media permainan simulasi dengan tema yang lain, yakni kesehatan. Tema ini sesuai dengan petunjuk yang termuat dalam silabus. Kompetensi dasar pada pertemuan ini hampir sama dengan petemuan I. Jika pada pertemuan I memberikan pendapat tentang persoalan faktual, pada pertemuan II siswa menangapi suatu persoalan atau peristiwa. Sebelum mengawali pembelajaran, guru menjelaskan kembali tentang permainan simulasi. Permainan simulasi pada pertemuan II siklus I tetap mengacu pada prosedur permainan sebagaimana yang diterapkan dalam pertemuan I siklus I tanpa ada pemodifikasian. Guru kembali membentuk kelompok tanpa ada perubahan terhadap anggota kelompok.
Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran masih menggunakan metode permainan simulasi. Mengawali pelajaran, guru bertanya, “Apa saja persoalan yang pernah kalian alami dalam kehidupan sehari-hari?” Ketika guru bertanya tentang ini, banyak siswa yang tertarik untuk menjawab. Ada yang menjawab, “Kemarin, saya dikejar anjing tetangga.” Ada juga yang menjawab bahwa semalam diajak oleh bapak ke Hardy’s.
Memasuki kegiatan inti pelajaran, guru membagi siswa ke dalam empat kelompok berdasarkan format aggota kelompok sebelumnya. Setiap kelompok berjumlah 5 hingga 6 orang siswa. Pada saat pengorganisasian kelompok belajar, siswa tetap ribut walaupun mereka sudah tahu anggota kelompoknya masing-masing. Masih juga ditemukan siswa yang belari ke sana ke mari mencari, kemudian menarik tangan anggota kelompoknya agar segera melingkar dalam kelompok.
Di dalam kelompoknya masing-masing, siswa mulai bermain simulasi dengan tema baru yang ditawarkan peneliti. Salah seorang yang bertindak sebagai organizer mengocok lempengan yang berisi angka 1-15. Kemudian angka tersebut dicocokkan dengan daftar pertanyaan yang ada pada beberan. Siswa secara bergiliran mendapatkan pertanyaan. Guru dan peneliti tetap melanjutkan pemantauan terhadap situasi pembelajaran yang sedang berlangsung. Anak-anak kelas rendah masih saja mendatangi kelas V untuk menyaksikan proses permainan simulasi. Namun jumlah mereka tidak sebanyak waktu pertama kali peneliti memasuki ruangan kelas V. Walaupun jumlah mereka tidak seramai sebelumnya, tetap saja kehadiran mereka memecah konsentrasi siswa kelas V yang sedang belajar.
Aktivitas siswa yang masih menonjol pada pertemuan II siklus I adalah kurang pedulinya siswa terhadap pertanyaan atau pun tanggapan yang dilontarkan oleh temannya. Mereka kelihatan sibuk dengan dirinya sendiri, dan merasa dongkol jika ada temannya berpendapat.
Aktivitas siswa begitu beragam ketika bermain simulasi. Ada siswa yang berpikir keras untuk mengeluarkan pendapat. Ada juga yang berdiskusi sambil becanda dalam kelompok. Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa tidak jauh berbeda dengan aktivitas pertemuan pertama. Rata-rata skor hasil belajar yang dicapai siswa pada siklus I pertemuan II adalah 6,85, sementara ketuntasan klasikal mencapai 72,7%. Skor ini belum memenuhi tuntutan kurikulum, karena rata-rata kelas yang diharapkan dalam penelitian ini minimal 7,5 dan ketuntasan klasikal minimal 85%. Berdasarkan skor tersebut, ketuntasan klasikal yang dicapai siswa pada siklus I belum memenuhi tuntatan kurikulum.
Guru mengalokasikan pertemuan ini satu jam untuk permainan simulasi, sementara satu jam berikutnya untuk mengetes kemampuan berbicara siswa. Menjelang sejam pertama akan berakhir, guru segera mengakhiri permainan simulasi. Selanjutnya guru mengadakan evaluasi hasil belajar berupa pengetesan keterampilan berbicara secara individual di depan kelas. Guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk berbicara tentang peristiwa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Ketika guru menjelaskan tentang topik yang akan dibicarakan secara individual, seorang siswa menyahut, “Bolehkah saya bercerita tentang berbelanja pemainan di Hardy’s?. Guru menyerahkan sepenuhnya kepada siswa asalkan masih dalam konteks bercerita tentang peristiwa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika guru memanggil siswa satu per satu di depan kelas, beragam reaksi ditunjukkan oleh siswa. Ada siswa yang tanpa tedeng aling-aling langsung menuju ke depan kelas untuk bercerita. Sesampai di depan dia lupa tentang apa yang hendak dibicarakan. Kelakuan spontanitas siswa yang seperti ini mengudang derai tawa siswa lain. Ada siswa yang semangatnya berkobar-kobar seperti hendak berperang. Ada pula siswa yang menunggu berkai-kali dipanggil baru beranjak maju ke depan.
Pada sisi lain, ada siswa yang sibuk mengumpulkan kekuatan mental untuk tampil ke depan. Siswa yang menunggu giliran dipanggil memanfaatkan jeda waktu untuk menghafal apa yang ingin dibicarakan. Keadaan ini peneliti amati ketika mulut siswa terlihat berkomat-kamit seperti sedang menghafal konsep yang akan dibicarakan. Hanya beberapa orang yang kelihatan santai tanpa tekanan. Ada juga yang gugup ketika dipanggil. Reaksi siswa sekaligus menunjukkan betapa berbicara adalah sebuah aktivitas yang mencemaskan dan menakutkan. Evaluasi keterampilan berbicara pada siklus I menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kurang lancar berbicara. Kendati lancar berbicara, siswa kadang-kadang berdialek dan terkesan sepotong-potong. Bahkan banyak di antara siswa yang berbicara sambil tertawa. Satu hal yang dominan terjadi ketika siswa berbicara adalah kurang jelasnya suara siswa ketika berbicara. Berkali-kali guru melontarkan pertanyaan kepada siswa, “Apakah kalian bisa mendengar apa yang diceritakan oleh siswa tadi?” Teguran tersebut membuat siswa berbubah sikap. Mereka akhirnya bersuara nyaring walaupun dipaksakan.
Yang menarik adalah salah seorang siswa perempuan ketika berbicara seperti air mengalir. Ia bercerita tentang konflik yang terjadi antara dia dengan temannya. Dia berbicara melibatkan emosi, dan sungguh ekspresif. Peneliti bertepuk tangan, kemudian disusul oleh siswa untuk memberikan hal serupa. Evaluasi berbicara dihimpun dalam sebuah pedoman yang telah disusun sebelumnya. Hasil kemampuan berbicara pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Data hasil belajar siswa siklus I
Nama
Siswa Aspek yang Dinilai Jumlah
Nilai Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
1 8 8 6 7 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
2 8 8 7 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
3 8 7 4 6 6 6 5 6,0 Cukup
4 7 9 5 7 5 7 7 6,8 Lebih dari cukup
5 8 7 5 7 6 6 6 6,6 Lebih dari cukup
6 7 6 6 6 7 7 6 6,4 Cukup
7 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
8 9 8 6 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
9 8 7 4 6 6 5 6 6,0 Cukup
10 8 8 7 7 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
11 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
12 9 8 8 9 9 8 8 8,4 Baik
13 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
14 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
15 9 8 6 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
16 7 8 5 5 6 6 5 6,0 Cukup
17 8 9 7 6 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
18 9 8 6 7 7 6 6 7,0 Lebih dari cukup
19 7 4 4 7 5 4 4 5,0 Hampir cukup
20 7 8 5 5 6 6 5 6,0 Cukup
21 9 8 6 8 6 6 6 7,0 Lebih dari cukup
22 8 8 8 8 7 7 7 7,5 Baik
Jumlah 177 170 134 149 151 140 135 150,9
Rata-rata = 6,9

Keterangan:

1 = Keberanian
2 = Keakuratan informasi
3 = Hubungan antar informasi
4 = Ketepatan struktur dan kosakata
5 = Kelancaran
6 = Kewajaran uratan wacana
7 = Gaya pengucapan

Adapun persentase hasil belajar siswa siklus I sesuai data hasil belajar tersebut adalah berikut ini.
Banyaknya siswa yang memperoleh nilai baik sebanyak 4 orang (18,18%), yang mendapatkan nilai lebih dari cukup sebanyak 13 orang (59,09%), dan yang mendapatkan nilai cukup sebanyak 5 orang (22,72%). Secara klasikal, skor yang diperoleh siswa dominan berada pada ketegori lebih dari cukup.
Sementara kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa pada kriteria tes keterampilan berbicara berada pada rentangan cukup hingga baik. Adapun persentase kesalahan siswa dalam kriteria keterampilan berbicara adalah berikut ini.
Tabel 4.2: Persentase kesalahan siswa sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara siklus I
No Aspek yang Dinilai Persentase Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Keberanian
Keakuratan informasi
Hubungan antar informasi
Ketepatan struktur dan kosakata
Kelancaran
Kewajaran urutan wacana
Gaya pengucapan 80,45%
77,27%
60,90%
67,72%
68,63%
63,63%
61,36% Baik
Baik
Cukup
Lebih dari cukup
Lebih dari cukup
Cukup
Cukup

Berdasarkan persentase hasil kriteria penilaian keterampilan berbicara siswa di atas, kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa, yakni pada kategori hubungan antar informasi (60,90%), ketepatan struktur dan kosakata (67,72%), kelancaran (686,3%), kewajaran urutan wacana (63,63%), dan gaya pengucapan (61,36%). Secara umum, keberhasilan belajar siswa berada pada kategori cukup.

4.1.2 Refleksi Siklus I
Peneliti mengadakan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan siklus I. Berdasarkan temuan analisis hasil observasi dan tes, maka tindakan siklus I didaur ulang dan dimodifikasi karena tujuan penelitian ini belum tercapai. Tindakan yang dipandang positif pada siklus I dipertahankan, sementara tindakan yang perlu pemodifikasian dilakukan penyempurnaan. Pemodifikasian tindakan yang dilakukan pada siklus II difokuskan pada implementasi tindakan. Refleksi ini dilakukan agar hasil maupun aktivitas belajar siswa meningkat. Langkah-langkah yang dilakukan adalah berikut ini.
a) Guru harus memastikan bahwa kelas dalam keadaan aman dari gangguan kelas lain. Langkah yang diambil adalah segera menyuruh siswa kelas lain membubarkan diri jika sudah mulai berkerumunan di depan dan di belakang kelas untuk menghindari pecahnya konsentrasi siswa yang sedang belajar.
b) Membangkitkan semangat siswa untuk mengajukan pertanyaan lebih dari sekali dengan memberikan motivasi dan penguatan terhadap jawaban yang diberikan siswa.
c) Secara umum, respons siswa terhadap pertanyaan dari anggota kalompok sendiri maupun terhadap kelompok lain masih rendah. Guru mengadakan pendekatan yang lebih baik kepada siswa, dan menegaskan agar melayani jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami. Alternatif lain, guru menyuruh siswa segara bertanya jika menemui kendala atau masalah dalam belajar.
d) Merangsang siswa agar berani berbicara dalam konteks apapun, baik dalam menjawab pertanyaan, mengemukakan pertanyaan, mengajukan pendapat, maupun menyimpulkan. Di samping itu, guru menegaskan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan tes satu-per satu di depan kelas, tetapi juga aktivitas belajar siswa selama terjadinya proses belajar-mengajar.
e) Berkaitan dengan permasalahan dalam kelompok, guru mengingatkan kepada siswa supaya duduk dalam kelompoknya masing-masing menjelang proses pembelajaran atau ketika pelaksanaan permainan simulasi. Ketika guru memasuki ruangan kelas langsung mengarahkan permainan, tidak lagi mengurusi siswa di dalam kelompok.
f) Meningkatkan frekuensi monitoring terhadap kelompok bermain simulasi. Pemantauan yang intensif memungkinkan guru segera mengetahui dan segera memerbaiki jika terdapat kesalahan atau ketidakpahaman siswa terhadap materi atau pun permainan simulasi. Guru dan peneliti mengunjungi kelompok demi kelompok untuk memastikan bahwa permainan berjalan sesuai prosedur atau tidak.
g) Memotivasi siswa untuk berbicara dengan memperhatikan tepat tidaknya penggunaan kosakata, kelancaran, kewajaran urutan wacana, maupun gaya pengucapan. Caranya, ketika siwa berbicara, guru berdiri di sebelah siswa untuk memberikan pengutan, mengarahkan, dan memberikan semacam tanda atau ucapan-ucapan yang membantu siswa untuk menghubungkan dan menggali informasi yang disampaikan, serta mengomentari atau mengoreksi jika terdapat kesalahan. Pengoreksian diberikan secara langsung supaya siswa mengetahui letak kelamahannya dalam berbicara.
Berdasarkan langkah-langkah tersebut diharapkan dalam siklus II, aktivitas dan hasil belajar siswa meningkat.

4.1.3 Rencana Tindakan Siklus II
Rencana perbaikan tindakan yang akan dilakukan pada siklus II adalah berikut ini.
a) Guru mengingatkan siswa supaya duduk dalam kelompok masing-masing menjelang proses belajar-mengajar agar proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien.
b) Guru mengajukan pertanyaan lebih dari sekali kepada siswa, serta memberikan penguatan terhadap jawaban siswa untuk membangkitkan motivasi siswa dalam berbicara.
c) Guru mengadakan pendekatan yang lebih baik kepada siswa, dan menegaskan agar siswa mau melayani jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami.
d) Guru memotivasi siswa dengan mengemukakan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan tes satu per satu di depan kelas, tetapi juga aktivitas siswa selama proses belajar-mengajar.
e) Guru meningkatkan frekuensi monitoring pada saat permainan simulasi dengan cara mendatangi kelompok demi kelompok.
f) Guru berdiri di dekat siswa pada saat evaluasi berbicara untuk memberikan motivasi, penguatan, membantu siswa menghubungkan informasi, dan mengoreksi kesalahan siswa ketika berbicara di depan kelas.

4.1.4 Siklus II
Pada dasarnya, perencanaan hingga pelaksanaan penelitian sama dengan siklus I, yakni masih menggunakan metode permainan simulasi. Hanya saja, siklus II merupakan revisi dari pelaksanaan siklus I dengan mengacu pada pertimbangan hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Pertemuan pertama, guru mengajarkan tema transportasi. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit.
Ketika memasuki rungan kelas, guru tidak lagi menghabiskan waktu untuk mengatur siswa dalam kelompoknya. Siswa sudah berada dalam kelompok dan bersiap menerima pelajaran. Pada saat memasuki inti pelajaran, guru mengemukakan pertanyaan ringan untuk membangkitkan keberanian siswa untuk menjawab. Selanjutnya, guru melontarkan pertanyaan yang agak sukar hingga ke pertanyaan yang sukar. Mengawali pertanyaan yang agak sukar hingga pada pertanyaan yang sukar, guru secara simultan melontarkan semacam pernyataan untuk menghilangkan ketakutan siswa menjawab pertanyaan. Tampak bahwa siswa mulai aktif berbicara, khususnya menanggapi setiap pertanyaan guru. Pertanyaan tersebut berbunyi begini, “Siapa yang pernah melihat orang yang melakukan wawancara?” Beragam jawaban siswa terlontar. Ada yang menjawab bahwa pernah melihat orang yang sedang melakukan wawancara. Ada juga yang menjawab sering menyaksikan orang yang berwawancara. Peneliti tidak melihat adanya siswa yang diam ketika bertanya tentang persoalan seputar wawancara. Mereka lebih sering menjawab seretak. Ada beberapa siswa pria yang memanfaatkannya untuk berteriak sambil menjawab pertanyaan.
Melihat situasi yang mulai ribut, akhirnya guru mengelola kelas dengan menyuruh siswa agar mengangkat tangan jika hendak menjawab. Guru mengingatkan siswa agar tidak menjawab serampangan, kecuali siswa yang sudah ditunjuk langsung oleh guru. Situasi kembali hening. Selanjutnya guru bertanya tentang apa itu wawancara. Salah seorang yang ditunjuk oleh guru menjawab bahwa wawancara adalah pembicaraan yang dilakukan oleh dua orang di dalam televisi. Guru menawarkan pertanyaan sejenis kepada siswa yang lain tentang pengertian wawancara. Yang ditunjuk menjawab, “Wawancara adalah saling bertanya antara laki-laki dan perempuan untuk membicarakan sesuatu.” Guru memberikan penguatan kepada siswa tersebut tentang jawaban yang dikemukakan. Kembali guru melanjutkan, “Ada lagi yang lain?” Tidak ada seorang siswa pun yang berani berpendapat. Mereka ikut menyetujui terhadap dua jawaban rekannya tadi. Guru terus memotivasi siswa agar terus mengeluarkan gagasan. Reaksi siswa tetap nihil. Akhirnya guru melanjutkan pertanyaan, “Siapa yang bisa menyimpulkan pengertian berbicara sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh teman kalian tadi.” Salah seorang siswa memberanikan diri bahwa wawancara adalah kegiatan yang dilakukan oleh dua untuk membicarakan sesuatu. Guru mengatakan, “Bagus”. “Siapa yang memiliki pendapatan lain, atau yang ingin melengkapi jawaban teman kalian tadi?”, guru melanjutkan. Seorang siswa mengangkat tangan kemudian menjawab bahwa wawancara adalah pembicaraan yang dilakukan oleh dua orang tentang sesuatu, baik itu persoalan atau pun tentang prestasi yang diraih oleh seseorang. Guru terlihat puas mendengar jawaban salah seroang siswa tadi. Guru kembali bertanyan, “Siapakah dua orang yang melakukan wawancara tersebut?” Sebagian besar siswa menyahut, “Satu orang sebagai pewawancara, dan seorang lagi sebagai narasumber.” Bersamaan dengan jawaban tersebut ada juga siswa yang menjawab bahwa yang melakukan wawancara adalah manusia. Jawaban tersebut menghilang tanpa ada yang merespons.
Pertemuan pertama pada siklus II terlihat hampir semua siswa terlibat aktif dalam mengikuti pelajaran yang disampaikan. Selanjutnya, guru menggunakan metode permainan simulasi dalam proses pembelajaran dengan kompetensi dasar “Berwawancara dengan Narasumber.” Metode permainan simulasi mengalami sedikit pemodifikasian disesuaikan dengan tujuan dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Guru mengklasifikasikan siswa ke dalam beragam profesi (polisi, petani, pedagang, guru, dan sebagainya). Kemudian, siswa disuruh bermain peran sesuai dengan profesinya, tetapi masih dalam konteks berwawancara. Salah seorang siswa bertindak sebagai narasumber, sementara siswa yang lain bertindak sebagai pewawancara. Kegiatan ini berlangsung dalam kelompok masing-masing.
Siswa begitu antusias belajar dengan penerapan metode permainan simulasi. Pembicaraan mereka mengalir apa adanya ketika berperan, entah sebagai guru, polisi, pedagang, dan sebagainya. Keunikan siswa siswa seabgai individu tampak di sini. Hampir semunya kelihatan aktif dan kreatif bertanya maupun menjawab. Peneliti tertarik dengan wawancara yang dilakukan oleh siswa yang mendapatkan peran menjadi guru dan polisi. Ketika salah seorang siswa yang berperan sebagai pewawancara beranya kepada rekannya yang berperan sebagai guru, “Apa yang anda lakukan jika anda menjadi guru.” Ia menjawab dengan bangga, “Jika aku menjadi guru, aku akan membangun sekolah, dan membuat siswa menjadi pintar.” Sementara siswa yang mewawancarai rekannya yang berperan menjadi polisi bertanya, “Jika bertemu penjahat, apa yang anda lakukan!” Dia menjawab dengan lantang, “Saya akan mengikatnya dengan tali, kemudian membawanya ke penjara”. Peneliti melihat siswa all out memerankan seperti apa yang guru tawarkan. Aktivitas siswa semakin menunjukkan hasil yang signifikan dalam proses belajar-mengajar. Pada siklus II observasi I terlihat bahwa rata-rata aktivitas belajar siswa berada pada tataran 14,09. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas berbicara siswa berada pada kategori aktif. Skor ini tentu saja sudah memenuhi target penelitian. Guru dan peneliti pusat melihat aktivitas perkembangan siswa. Tidak terasa waktu bergulir mendekati pukul 08.30. Artinya, waktu pembelajaran akan segera berakhir. Guru segera mengakhiri pembelajaran, dan menyuruh siswa kembali kembali ke tempat duduk masing-masing.
Sebelum jam pelajaran berakhir, guru meminta siswa untuk menyimpulkan pelajaran. Banyak di antara siswa yang mengangkat tangan untuk menyimpulkan pelajaran. Terakhir, guru menyimpulkan pelajaran. Siswa serantak menuliskan simpulan yang dilontarkan oleh guru. Bel berdering, pelajaran pun berakhir.
Hari berikutnya peneliti melanjutkan siklus II pertemuan II. Peneliti melaksanakan pertemuan kedua pada hari Rabu, 24 Januari 2007. Pertemuan ini membahas tema kehidupan di laut, dengan kompetensi dasar mendeskripsikan benda atau alat. Tema ini diajarkan dalam sekali pertemuan dengan alokasi waktu 2X40 menit. Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar masih menerapkan metode permainan simulasi.

Pada awal kegiatan pembelajaran, guru terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Kemudian, guru menyampaikan bahwa kegiatan pembelajaran masih menggunakan metode permainan simulasi yang telah dirancang. Guru menegaskan jika ada teman yang bertanya tentang sesuatu yang belum dipahami agar menjelaskan semampunya. Siswa harus melayani dan membantu teman jika menuai kendala.
Aktvitas siswa sudah menunjukkan perubahan yang signifikan. Ketika guru memasuki ruangan kelas, siswa tidak lagi ribut dan bergerak ke sana ke mari untuk mencari anggota kelompoknya. Sebelum guru memasuki kelas, siswa sudah siap dalam kelompoknya masing-masing untuk menerima pelajaran. Guru membagikan media permainan simulasi kepada setiap kelompok. Siswa pun mulai bermain simulasi sesuai instruksi dari guru. Pembelajaran berjalan lancar dan efektif.
Pada saat pelaksanaan permainan simulasi, kemampuan berbicara dan kemampuan mengembangkan ide sudah memadai. Siswa tidak lagi acuh tak acuh dan peduli terhadap permasalahan yang dihadapi oleh teman yang lain. Mereka terlihat menikmati bermain simulasi. Mereka tidak lagi membuat diskusi di atas diskusi. Permainan simulasi berlangsung selama sejam. Menjelang berakhirnya permainan simulasi, guru menyuruh siswa agar kembali ke bangku masing-masing.
Pada pertemuan kedua, aktivitas siswa mengalami peningkatan pesat dibandingkan siklus sebelumnya. Hampir semua siswa aktif bertanya, berkomentar, maupun menanggapi. Semua indikator yang menjadi patokan dalam observasi menunjukkan keaktifan siswa di dalam proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas yang dilakukan oleh siswa pada siklus II observasi ke II adalah sebesar 15,81. Skor ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa berada pada kategori aktif. Skor ini sekaligus menunjukkan bahwa target penelitan sudah tercapai
Sisa waktu sejam dimanfaatkan guru untuk mengevalusi perkembangan kemampuan berbicara siswa secara individual di depan kelas. Guru menawarkan topik mendeskripsikan tentang ruangan kelas, alat transportasi/permainan, dan mendeskripsikan teman. Tidak seperti siklus sebelumnya, siswa tidak lagi gugup dan takut jika dipanggil untuk berbicara di depan kelas. Mereka siap dengan apa yang hendak dibicarakan. Ketika siswa berbicara, guru berada di sebelah siswa untuk membantu siswa mengumpulkan informasi jika terjadi kemacematan dalam berbicara. Di samping itu, guru memberikan komentar jika terjadi kesalahan siswa, baik itu menyangkut kosakata, kewajaran urutan wacana, maupun gaya pengucapan. Data hasil belajar siswa dalam siklus II dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3: Data hasil belajar siswa siklus II
Nama
Siswa Aspek yang Dinilai Jumlah
Nilai Keterangan
1 2 3 4 5 6 7
1 9 9 8 9 8 8 8 8,5 Baik sekali
2 10 9 8 9 8 8 9 8,8 Baik sekali
3 9 8 7 8 7 7 7 7,5 Baik
4 8 8 8 8 7 7 7 7,5 Baik
5 8 8 7 6 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
6 9 9 8 9 8 8 8 8,5 Baik sekal
7 9 9 8 9 9 8 8 8,6 Baik sekali
8 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
9 7 6 6 6 7 7 6 6,4 Cukup
10 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
11 10 10 10 10 10 10 9 9,8 Istimewa
12 10 10 10 10 10 10 9 9,8 Istimewa
13 9 9 9 9 8 8 8 8,8 Baik sekali
14 10 9 9 9 9 9 8 9,0 Baik sekali
15 8 8 7 7 7 7 7 7,2 Lebih dari cukup
16 8 7 4 6 6 6 5 6,0 Cukup
17 8 9 8 7 7 8 7 7,8 Baik
18 8 8 6 7 8 6 6 7,0 Lebih dari cukup
19 8 6 6 7 7 7 6 6,4 Cukup
20 9 8 7 8 7 7 7 7,5 Baik
21 8 8 8 9 8 7 8 8,0 Baik
22 9 8 7 9 8 8 7 8,0 Baik
Jumlah 191 183 166 178 189 168 160 173,9
Rata-rata = 7,90

Keterangan:

1 = Keberanian
2 = Keakuratan informasi
3 = Hubungan antar informasi
4 = Ketepatan struktur dan kosakata
5 = Kelancaran
6 = Kewajaran uratan wacana
7 = Gaya pengucapan

Rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 7,90, sementara ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa pada siklus II mencapai 86,3%. Skor ini sudah memenuhi tuntutan kurikulum yang menetapkan bahwa keberhasilan belajar-mengajar diukur dari hasil rata-rata kelas minimal 6,5, dan ketuntasan klasikal minimal 85%.
Adapun persentase hasil belajar siswa siklus II sesuai data hasil belajar tersebut adalah berikut ini.
Siswa yang memperoleh nilai istimewa sebanyak 2 orang (9,09%), yang mendapatkan nilai baik sekali sebanyak 6 orang (27,3%), yang mendapatkan nilai baik sebanyak 8 orang (36,3%), yang mendapatkan nilai lebih dari cukup sebanyak 3 orang (13,6%), dan yang memperoleh nilai cukup sebanyak 3 orang (13,6%). Secara klasikal, skor yang diperoleh siswa dominan berada pada ketegori baik.
Sementara kesalahan yang dominan dilakukan oleh siswa pada kriteria tes keterampilan berbicara berada pada rentangan cukup hingga baik. Adapun persentase kesalahan siswa dalam kriteria keterampilan berbicara adalah berikut ini.

Tabel 4.4: Persentase kesalahan siswa sesuai dengan kriteria keterampilan berbicara siklus II
No Aspek yang Dinilai Persentase Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Keberanian
Keakuratan informasi
Hubungan antar informasi
Ketepatan struktur dan kosakata
Kelancaran
Kewajaran urutan wacana
Gaya pengucapan 86,81%
83,18%
75,45%
80,90%
85,90%
76,36%
72,72% Baik sekali
Baik
Baik
Baik
Baik sekali
Baik
Lebih dari cukup

Berdasarkan persentase hasil kriteria penilaian keterampilan berbicara siswa di atas, hasil belajar siswa dominan berada pada kategori baik, kecuali gaya pengucapan siswa yang masih berada pada kategori lebih dari cukup, yakni (72,72). Sementara keberanian (86,81%), dan kelancaran (85,90%) berada pada kategori baik sekali. Secara umum, keberhasilan belajar siswa berada pada kategori baik.
Di bawah ini akan disajikan perbandingan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II.

Tabel 4.5: Perbandingan aktivitas belajar dan hasil belajar siswa pada siklus I dan siklus II
JENIS DATA SIKLUS I SIKLUS II
Skor aktivitas belajar siswa 13,5
(Cukup Aktif)
15,81
(Aktif)
Skor rata-rata hasil belajar 6,85 7,90
Ketuntasan klasikal 72,7%
(Belum Tuntas)
90,9%
(Tuntas)

Berdasarkan perbandingan hasil analisis data terhadap hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II dapat diketahui bahwa persentase banyaknya siswa yang mengalami peningkatan hasil belajar adalah 90,9%, yang mengalami penurunan hasil belajar 0%, sementara yang prestasi belajarnya tetap adalah 9,09%. Ini berarti, dengan menerapkan metode pembelajaran pemainan simulasi, maka akivitas belajar maupun hasil belajar siswa dalam keterampilan berbicara meningkat.
Angket respons siswa diberikan pada akhir sikus II setelah pelaksanaan tindakan. Data respons siswa mengenai pembelajaran yang diterapkan, yaitu model pembelajaran permainan simulasi disajikan pada lampiran 17. Berdasarkan skor siswa pada lampiran tersebut, maka rata-rata respons siswa adalah 25. Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, maka skor tersebut menunjukkan bahwa secara klasikal siswa setuju terhadap pembelajaran permainan simulasi. Siswa merasa senang mengikuti pembelajaran permainan simulasi, karena metode ini memungkinkan siswa belajar sambil bermain.

4.1.5 Refleksi Siklus II
Berdasarkan data yang terkumpul melalui observasi, tes, dan angket pada akhir tindakan, terlihat peningkatan aktivitas belajar, hasil belajar, dan respons siswa terhadap penerapan metode permainan simulasi. Pada siklus I diperoleh rata-rata aktivitas belajar siswa aalah 13,5 mengalami peningkatan sebesar 15,81 pada siklus II. Dengan kata lain, aktivitas belajar siswa yang semula berkategori cukup aktif menjadi aktif. Begitu pula dengan raa-rata hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 6,85 mengalami peningkatan sebesar 7.90 pada siklus II. Dengan kata lain, ketuntasan klasikal yang diperoleh siswa pada siklus I sebesar 72,7% belum memenuhi target kurikulum, kemudian mengalami peningkatan sebesar 86,3% sudah memenuhi target kurikulum. Sementara respons siswa berada pada kategori setuju. Berdasarkan data tersebut terbukti bahwa penerapan metode simulasi dapat meningkatkan aktivitas dan hail belajar siswa. Adanya peningkatan tersebut, maka siklus selanjutnya tidak perlu dilaksanakan lagi.
Dalam pelaksanaan pembelajaran permainan simulasi, guru terlihat sangat senang dalam melaksanakannya. Secara tidak langsung, penerapan model pembelajaran permainan simulasi memberikan masukan terhadap model pembelajaran yang sudah dilaksanakan guru sebelumnya, sehingga dapat dijadikan pilihan dalam melaksanakan pembelajaran pada materi lain yang relevan.
Penerapan model pembelajaran permainan simulasi ternyata menghasilkan beberapa keuntungan, di antaranya dideskripsikan berikut ini.
 Metode simulasi dapat digunakan untuk semua tema, dan dapat dimulai dari tingkat kemampuan siswa yang sudah memiliki kemampuan komunikasi dasar, karena metode ini bersifat fleksibel. Menurut Adi (dalam Somantri, 2002:60) bahwa metode simulasi sifatnya non-formal, sehingga penentuan materi pembelajaran bisa bersifat longgar, tanpa harus mengacu pada kurikulum yang berlaku.
 Meningkatkan rasa keakraban di antara siswa sehingga tumbuh rasa persatuan di antara mereka.
 Membuat suasana kelas terlihat lebih hidup, dan siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
 Mengurangi dominasi guru dalam proses pembelajaran. Dalam permainan ini, guru hanya sebagai fasilitator dan pengarah. Siswa berperan dan berekspresi sendiri.
 Siswa bebas berbicara apa adanya dan berekspresi sesuai keinginannya.
 Tumbuhnya motivasi siswa dalam belajar, karena model pembelajaran permainan simulasi memungkinkan mereka seolah-olah sedang bermain.
Walaupun penelitian ini dikatakan berhasil dan banyak keuntungannya, yaitu meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa, namun selama berlangsungnya penelitian ini juga dirasakan adanya kelemahan. Kelemahan metode ini antara lain: (1) Membuat kelas menjadi ramai, sehingga kadang-kadang sulit membedakan apakah keramaian itu memberikan suatu proses pembelajaran atau tidak; (2) Memerlukan pengawasan yang lebih daripada proses pembelajaran biasa; dan (3) Metode ini menyita waktu dan membutuhkan adaptasi siswa. Tersitanya waktu disebabkan oleh proses menjelaskan alur permainan, sementara adaptasi siswa dibutuhkan karena metode ini tergolong asing bagi siswa maupun guru. Hal tersebut menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Namun, seiring dengan pelaksanaan metode dari siklus ke siklus, kendala tersebut dapat diatasi.

4.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia yang berkaitan dengan keterampilan berbicara. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hughes dalam Sudono (1995) bahwa bermain pada hakikatnya adalah meningkatkan daya kreativitas dan citra diri anak yang positif. Belajar sambil bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, berekspresi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Belajar sambil bermain memberikan peluang kepada siswa untuk terlibat aktif secara fisik maupun mental. Peluang ini memberikan kontribusi pada tumbuhnya motivasi dan keinginan untuk bekerja dengan baik, sehingga akan terjadi proses belajar sampai menghasilkan produk. Konsekuensi logisnya sudah tentu dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Somantri (2002:50) juga menegaskan bahwa dalam pembelajaran dengan menggunakan metode permainan simulasi terjadi perubahan sikap pada diri siswa. Perubahan sikap ini khususnya terletak pada tumbuhnya motivasi siswa. Di samping itu, siswa belajar keterampilan emosional. Siswa berlatih untuk menahan diri, belajar bersabar mendengarkan pendapat orang lain, tidak mudah menyalahkan orang lain, dan bekerja sama dengan orang lain untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Hal tersebut sangat mendukung siswa mengembangkan kecerdasan emosional yang juga penting selain kecerdasan kognitif (Goleman, 2000:397-406).
Salah satu langkah dalam penerapan pembelajaran yang memberikan kontribusi terhadap hasil penelitian adalah pembentukan kelompok kecil sebagai wadah berdiskusi. Seorang dosen Akaba 17 Semarang, Suwandi, mengatakan bahwa siswa yang pasif dapat dibantu dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok-kelompok kecil. Diskusi kelompok kecil memudahkan guru mengetahui siswa mana yang aktif berbicara, dan siswa mana yang pasif. Diskusi kelompok kecil dilakukanoleh siswa dengan pengawasan dan bimbingan guru. Jika setiap kelompok memiliki seorang pembicara yang aktif, ia tentu akan mnengajak anggota lain dalam kelompoknya turut aktif dalam berbicara atau percakapan. Pengelompokkan merupakan cara yang efektif, dengan memilih pengatur yang dianggap lebih mampu dalam kelompoknya yang akan mendorong mereka untuk berbicara. Diskusi kelompok kecil diprediksikan akan membuat suasana kelas menjadi ramai (Tillit dan Bruder, dalam Somantri, 2002:76). Secara tidak langsung, keramaian tersebut memancing siswa untuk berbicara walaupun terlepas dari konteks atau topik yang dibicarakan. Kesuksesan permainan simulasi terletak pada pundak pengatur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas belajar dan hasil belajar siswa meningkat dengan menerapkan metode permainan simulasi. Siswa merespons setuju dan senang terhadap pembelajaran dengan menerapkan metode permainan simulasi. Pembelajaran ini berpusat pada siswa (student oriented). Siswa dalam proses pembelajaran berpeluang untuk aktif, baik secara fisik maupun mental. Melalui peluang ini, siswa merasa mendapatkan perlakuan istimewa sebagai sosok pelajar. Hal inilah yang membawa konsekuensi logis tumbuhnya keaktifan, meningkatnya hasil belajar, rasa senang, dan respons setuju terhadap pembelajaran. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soemantri (2002:82) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa penggunaan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan skor hasil belajar, aktivitas belajar, pemahaman terhadap konsep atau materi, dan perubahan sikap ke arah yang positif.
Yang menarik dalam metode permainan simulasi, bahwa metode ini mampu menghilangkan rasa nervous (gugup), dan membangkitkan keberanian terhadap siswa yang rendah rasa percaya dirinya. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang langsung secara teoretis, produktif, dan ekspresif. Apabila itu dirangsang oleh seorang guru, bagi siswa tertentu barangkali malah menghambat kelancaran berbicaranya. Lain halnya apabila stimulus tersebut diberikan oleh teman sebaya. Stimulus yang diberikan oleh teman sebaya juga mengembangkan kemampuan menyimak yang sifatnya juga langsung, apresiatif, reseptif, dan fisikal. Tidak semua stimulus yang bersumber dari teman sebaya dapat menghilangkan rasa gugup. Untuk itu diperlukan bantuan berupa alat peraga. Berbicara dengan bantuan alat peraga diyakini akan menghasilkan tangkapan informasi yang lebih baik pada pihak penyimak (Tarigan, 1983:5).

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat ditarik dari penelitian tersebut adalah berikut ini.
a) Penerapan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini terlihat dari skor aktivitas belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi diterapkan. Siklus I rata-rata skor aktivitas belajar siswa sebesar 13,5 meningkat menjadi 15,81 pada siklus II. Pada siklus I aktivitas belajar siswa masih tergolong cukup aktif. Sementara pada siklus II aktivitas belajar siswa meningkat dengan kategori aktif.
b) Penerapan model pembelajaran permainan simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja dalam pembelajaran keterampilan berbicara. Hal ini terbukti dari skor hasil belajar siswa dari siklus ke siklus selama metode simulasi diterapkan. Siklus I rata-rata skor hasil belajar siswa adalah 6,85 meningkat menjadi 7,90 pada siklus II. Dari siklus I ke siklus II terjadi peningkatan sebesar 15,32%. Ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar 72,7% (belum memenuhi tuntutan kurikulum) meningkat menjadi 90,9% pada siklus II. Pada siklus II ini ketuntasan belajar klasikal yang dicapai sudah memenuhi tuntutan kurikulum.
c) Respons siswa kelas V SD No.1 Banjar Tegal Singaraja terhadap penerapan metode pembelajaran permainan simulasi dalam pembelajaran keterampilan berbicara mencapai skor 25. Angka ini mengindikasikan bahwa secara klasikal siswa setuju terhadap metode pembelajaran yang diterapkan peneliti.

5.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan oleh peneliti adalah berikut ini.
a) Diharapkan kepada guru bahasa Indonesia agar menerapkan model pembelajaran permainan simulasi sebagai salah satu alternatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan rancangan tindakan yang telah dipaparkan dan dilaksanakan oleh peneliti.
b) Penerapan metode permainan simulasi sudah terbukti dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Diharapkan kepada peneliti lain agar mengadakan penelitian lebih lanjut tentang metode pembelajaran permainan simulasi bidang atau keterampilan yang lain.
c) Penerapan metode permainan simulasi dalam penelitian ini masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Diharapkan kepada peneliti lain agar penelitian dilanjutkan pada tingkat yang lebih tinggi, seperti SMP dan SMA. Merujuk pada pernyataan Kindsvatter bahwa permainan simulasi cocok diterapkan pada semua tingkatan, dari taman kanak-kanak hingga pada tingkatan yang lebih tinggi.
d) Pemanfaatan media dan teman sebaya dalam pembelajaran sudah terbukti mampu meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Diharapkan kepada guru agar memanfaatkan alat peraga dan teman sebaya dalam proses belajar-mengajar terutama dalam pembelajaran berbicara. Berbicara dengan bantuan alat peraga akan menghasilkan penangkapan informasi yang baik pada pihak penyimak. Sementara stimulus yang diberikan oleh teman sebaya dapat membangkitkan motivasi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A.A.Gede. 1998. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Singaraja. STKIP Singaraja

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang. YA3.

Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bukian, Putu Ardana. 2004. Metode Pengajaran Berbicara di Kelas VI Sekolah Dasar No.6 Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Skripsi. (Tidak diterabitkan). Singaraja: IKIP Negeri Singaraja

Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK, dan SLB.

——-. 1994a. Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP Kelas I SD. Jakarta: Dirjendikdasmen

Diknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas

——-. 2004. Kurikulum 2004, Kerangka Dasar. Jakarta: Depdiknas

——-. 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD dan MI. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.

Furqanal. Dkk. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Goleman, Daniel. 2000. Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hadiatmadja, Musman. 1982. Analisa Transaksional dalam Proses Belajar Mengajar dalam Kumpulan Pikiran-pikiran dalam Pendidikan. Jakarta: Rajawali.
Hasibuan dan Moedjiono. 1993. Proses Belajar-Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Karolina, Yoca. 2001. Strategi Guru dalam Mengajarkan Keterampilan Berbicara pada Siswa SLTP di Singaraja. Skripsi. (Tidak diterbitkan). IKIP N Singaraja.

Kemmis, Stephen dan Rubin Mc. Tanggart. 1988. The Action Research Planner. Victoria: Deakin University.

Kindvatter, Richard et.al. 1996. Dynamics of Effective Teaching, Third Edition. New York. Longman Publisher.

Mas’ud, Lalu. 2005. Penerapan Pendekatan Komunikatif-Integratif dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara II Suatu Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara. (Mahasiswa Semester II Program Studi PBSID STKIP Hamzanwadi Selong Tahun Akademik 2003/2004). Thesis. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja. Program Pasca Sarjana.

Parera, J.D. 1996. Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Tindakan. Surabaya: SIC

Slamet. 2003. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada Uji Coba di SMU Negeri 4 Denpasar. Thesis. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja. Program Pasca Sarjana.

Somantri, Nurdin. 2003. Penerapan Metode Simulasi Tematis untuk Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris Siswa. http://www.Pendidikan.Com.

Subana, M dan Sunarti tt. Strategi Belajar-Mengajar Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Subariyati, Ary. 1997. Pemantapan Konsep Prasyarat Setiap Pokok Bahasa dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Kalkulus sebagai Mata Kuliah Program Bersama (Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika). Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Singaraja. STKIP Singaraja.

Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan (untuk Pendidikan Usia Dini). Jakarta: Grasindo

Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendekia

Sukmadewi, I.G.A.N. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Permainan Simulasi pada Pokok Bahasan Aritmatika Sosial sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar dan Aktivitas Siswa Kelas IC SLTPN 1 Rendang. Skripsi. (Tidak diterbitkan) Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Suparno, Paul. 2002. Kumpulan Artikel Pendidikan. http://www.Pendidikan.Com

Suryantini, Ni Wayan Sri. 2004. Penggunaan Metode Demonstrasi Langsung untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Puisi pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri No.4 Singaraja. Singaraja. IKIP Negeri Singaraja.

Tarigan. Djago. 1991. Materi Pokok Pendidikan Bahasa Indonesia I. Buku Modul. Jakarta: Depdikbud.

Tarigan, Hendry Guntur. 1983. Berbicara sebagai Suatu keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tim BP-7 Pusat. 1985 Petunjuk Pelaksanaan Permainan Simulasi P-4 untuk Perguruan Tinggi. Jakarta

Trisuyoto, Imanuel. 2003. Melatih Siswa SD Terampil Berbicara. Fasilitator, Edisi V (hlm. 32-33).

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.